SESUATU yang tak saya pahami; tentang satu hal yang tak dapat dijangkau atau dijelaskan oleh kemampuan akal. Beberapa tahun lalu, saya sangat percaya tentang gagasan relativitas—yang membawa saya pada satu pemahaman; “bahwa tidak ada yang menetap dan semua mengalami perubahan.” Keraguan demi keraguan mengalir bersama aliran darah—dan menganggap bahwa segala sesuatu dapat dijelaskan dengan prinsip kausalitas (sebab-akibat).
Hingga suatu keadaan yang terasa sangat kosong, lalu kemudian mengantarkan saya di luar kecenderungan seperti biasanya. Kekosongan itu telah mengantarkan saya pada sebuah Realitas yang tak dapat dipersepsikan oleh akal pikiran atau diungkapkan melalui bahasa. Kesadaran tersebut atas dasar kesadaran—bukan karena dorongan oleh alasan yang dapat dijelaskan melalui hitungan matematika atau sebuah rumus dalam fisika.
Sebagaimana yang saya alami, bahwa apa yang akan saya uraikan dalam tulisan ini merupakan serangkaian “kemungkinan” yang disertai juga dengan “keraguan”. Tentu keraguan yang saya awali dalam membangun kemungkinan-kemungkinan ini, bukanlah menjadi soal. Seperti halnya Descartes yang membolak-balikan skeptisisme Montaigne di dalam kepalanya dan menjadikan pengalaman keraguan sebagai dasar kepastian. “Aku berpikir, maka aku ada.” Dengan kata lain; “Saya berpikir, maka apa yang saya pikirkan menjadi ada”.
Dengan segenap harapan tentang segala kemungkinan yang menjadi ketakutan dan kehawatiran saya, dapat dirangkul dengan hati dan pikiran terbuka—kemudian direfleksikan secara seksama. Meskipun pada akhirnya, keraguan-keraguan itu dapat mengungkapkan ketidaksempurnaan atas pikiran, namun justeru atas keraguan inilah—kita akan sadar betul tentang sesuatu yang hilang dan kemudian kita akan melanjutkan eksplorasi ini dengan mencarinya secara radikal.
Keraguan bukanlah tragedi, namun ia sebuah jembatan emas untuk mencapai suatu keyakinan. Demikian juga al-Ghazali dalam aliran dan filsafatnya—yang memulai segalanya dengan keraguan. Antara Ghazali dengan Descartes, keduanya berangkat dari titik yang sama—dan menyatakan telah memperoleh keyakinan meskipun di antara mereka tetap berada dalam keraguan itu. “Sekarang saya sedang duduk di sini—buku ada di depan saya—pena dan kertas ada di tangan saya—saya sedang melihat angkasa—saya sedang mendengar berbagai suara—sekalipun saya ragu terhadap berbagai hal—tetapi saya tidak dapat ragu dengan keraguan saya—karena hanya satu yang tidak saya ragukan, yaitu keraguan itu sendiri.”
Kesadaran terhadap yang diragukan sebenarnya menunjukkan bahwa keraguan merupakan hakikat yang selama ini kita cari. Keraguan merupakan permulaan dalam proses pencarian manusia. Keraguan tidak membawa kita pada kesedihan—namun justeru akan membimbing kita pada keyakinan. Sebagaimana pertanyaan yang membawa pada kesimpulan dan kegelisahan yang mengantarkan pada ketetapan.
Keraguan merupakan jembatan yang menakjubkan—sekaligus tempat tinggal yang buruk. Maka dalam memperoleh keyakinan seseorang perlu bertafakur untuk menghadirkan kejernihan pikiran. Karena melalui pikiran yang jernih orang dapat mencapai keyakinan dan ketentraman. Dengan kata lain, keraguan yang juga saya alami dulu—pada akhirnya telah mengantarkan saya pada sebuah ketetapan yang sama sekali tak dapat diragukan.
Kenyataan atas ketidaktetapan mengantarkan pada kesadaran atas ketetapan. Demikian prinsip kausalitas yang membuat saya tercengang, ternyata hanya dapat menjelaskan unsur biologis manusia—dan tak mampu menjangkau sesuatu yang lebih dari itu. Sehingga kesadaran tak mungkin tunduk pada hukum kausalitas. Betapapun kausalitas, ia hanya mampu menjelaskan kejadian dan tidak mampu menjelaskan tindakkan. Sebab tindakkan manusia secara fitrahnya—lahir dan (seharusnya) didorong oleh kesadaran terdalam sebagai ciri kebebasan.
Bukan karena sesuatu melahirkan keinginan—namun karena keinginan kemudian melahirkan sesuatu. Bukan karena ada sepotong kue dan segalas kopi yang menyebabkan saya mencicipinya—melainkan karena keinginan saya untuk mencicipinya. Alasannya cukup sederhana; karena saya berbeda dengan seekor kucing—yang ketika didekatkan dengan makanan akan memunculkan respon dan respon tersebut merupakan kejadian biologis yang dapat dijelaskan dengan kerangka stimulus (kausalitas). Sedangkan tindakkan merupakan dorongan batin dari kesadaran (consciousness).
Kesadaran ini kemudian juga membawa saya pada keadaan yang cukup jenuh dan mumuakkan. Semacam penyesalan dengan perasaan duka atas kebebasan yang terjamah hampir sepanjang hayat. Terjamah oleh benda-benda material yang kotor—bahkan oleh manusia dengan segala kepalsuannya. Kita selalu diperbudak secara halus bahkan dieksploitasi secepat kedipan mata. Relasi kuasa dan ekspektasi telah memangkas keintiman fitrah dari hubungan sosial.
Kepentingan-kepentingan materialistik seolah menjadi motivasi utama dalam menjalin hubungan itu sendiri. Seakan semua harus melalui hitung-hitungan—padahal tidak semua dapat dihitung. Kita terlalu mekanis dalam segala hal—sehingga kita terlihat seperti mesin dan robot yang dikontrol melalui remot dengan tombol-tombol kepentingannya. Bahkan Tuhan yang menghendaki kehidupan ini cenderung dijadikan sebagai “mitra dagang”. “Bukan karena Tuhan sebab saya beribidah—namun karena keinginan atas Syurga dan ketakutan pada Neraka”.
“Dunia adalah penjara dan kita semua penghuninya; galilah sebuah lubang dalam penjara dan marilah kita keluar” —Rumi, Terang Benderang
Kepalsuan demi kepalsuan telah mewarnai setiap aspek kehidupan kita. Moralitas telah ditukarkan oleh sesuatu yang bersifat materi—sehingga hilang keintiman dan kedalaman. Akhirnya fitrah dari relasi dan interaksi sosial sesama manusia atau bahkan dengan Tuhan pun telah terpangkas oleh hal-hal yang bersifat materialistik. Pada tahap inilah manusia telah kehilangan kehendak bebasnya, karena tindakannya diatur berdasarkan sesuatu yang di luar dirinya.
Perilaku dan sikap baik saya terhadap bos dan Tuhan, dengan cara mengharapkan imbalan tadi “tak bedanya dengan kejadian biologis yang bisa dijelaskan dengan kerangka stimulus dan respon yang tunduk pada hukum sebab-akibat (kausalitas). Wajar jika ada yang mengatakan bahwa tak ada lagi kemurnian tindakkan atau pengalaman; semua telah terjamah oleh “sesuatu yang di luar diri”. Sebagaimana pengalaman tentang rasa kopi sebelum kita merasakannya langsung. Pengetahuan kita tentang rasa kopi tersebut jesteru sumber utamanya adalah pengalaman-pengalaman dari orang lain yang lebih dahulu mencicipinya.
Meskipun demikian; manusia tetap memiliki kesamaan atas pengalaman Akan Yang Mutlak; yakni pengalaman atas Realitas Abadi dan tidak ada keraguan atas hal itu. Pengalaman Akan Yang Mutlak tidak sama dengan pengalaman tentang rasa kopi. Sebab kecapan indera memiliki keterbatasan yang akan melahirkan persepsi yang berbeda-beda; namun tidak berlaku dengan pengalaman Akan Yang Mutlak.
Ia merupakan “pengetahuan asal” yang menyusup dan kembali hadir mengetuk batin terdalam manusia saat berada di alam materi. Seperti halnya djavu yang dirasakan oleh semua manusia. Sebab ia merupakan pengalaman yang dirasakan langsung secara personal tanpa melalui prantara atau melalui deskripsi terlebih dahulu. Karena sifatnya yang personal, cenderung tidak bisa diungkapkan atau dipersepsikan secara sepenuhnya. Kalaupun mampu; segera ia akan dianggap konyol, abnormal, tidak waras, berbahaya atau bahkan menyesatkan.
Itulah sebabnya perkawinan spiritual yang dialami oleh para mistikus merupakan klimaks yang berunjuk maut—meskipun juga merupakan kebahagiaan yang abadi. Contoh belenggu tragis yang dialami oleh Spinoza dari kalangan Yahudi, al-Hallaj, Syekh Siti Jenar dan Hamzah Fansuri dari kalangan Islam dan Eckhart dari kalangan Kristen. Mereka dihukum oleh para religionis mereka sendiri. Sebab mistisisme memberikan permainan yang amat jauh.
Hukuman yang dijatuhkan pada mahluk yang berusaha membongkar Tuhan atas kepentingan Tuhan yang ingin dikenali. Padahal mereka hanya para perindu yang ingin meraih kebahagiaan abadi. Para perindu yang ingin merasakan semacam orgasme intelektual dan perkawinan spiritual dengan Tuhan (penyatuan). Namun orang yang tidak memahami mereka akan dinilai ateis dan berharap mereka agar segera dihukum.
Keintiman dan orgasme spiritual memang hanya mampu dirasakan oleh mereka yang telah menyatu dengan “Sesuatu Yang Dirindukan. Seperti halnya seorang pujangga yang telah bertemu sang kekasih—setelah sekian lama mereka berpisah. Memang pada saat-saat tertentu; pada keadaan yang cukup kosong—manusia akan merindukan tempat di mana ia berasal. Akan tiba saatnya—waktu dimana manusia tiba-tiba (sekilas) mengingat serangkaian kejadian dan peristiwa yang pernah dilalui di “alam asal”. Namun untuk mengingatnya adalah hal yang sangat sulit. Sebab manusia berada di alam materi yang kotor—yakni; alam yang menjadi tembok pembatas antara perindu dengan Yang Dirindukan.
Keterjebakan demi keterjebakan membuat manusia terlempar jauh dengan mata batin yang berhasil dikelabui oleh kegemerlapan dan kemegahan dunia yang sementara. Mungkin kini saatnya manusia harus kembali—setelah sekian lama tertatih-tatih mengarungi luasnya dunia yang tak ada habisnya. Telah cukup lama kita terbawa dan terjerumus oleh arus dunia yang menyeret pada kenistaan dan kehampaan… (lanjut ke bagian 2)
Ilustrasi: aminoapps.com
Mahasiswa Studi Agama-agama, Eksponen Kalikuma Mataram: Penyuka Musik dan Buku