Budaya Baca-Tulis dan Proses Penulisan (2-Habis) (Orasi Budaya pada Mbojo Writers Festival 2021)

Menjadi tanda tanya besar mengapa minat membaca di kalangan masyarakat justru jatuh ke titik penghabisan saat buku-buku marak diterbitkan. Kian hari kian surut di bawah susut. Para pendidik demikian kesulitan mengarahkan siswa-siswa mereka agar rajin membaca buku. Adakah sikap generasi penerus yang cuek terhadap buku-buku berhubungan dengan itu semua?

Selera bergantung mood dan menu yang disuguhkan – gizi bacaan bagaimana yang tersaji. Banyak buku dijual online, sebagian dipajang di toko-toko buku, di rumah-rumah baca maupun di perpustakan-perpustakaan. Dan merebaknya generasi muda yang kecanduan bermain game merupakan tantangan tersendiri, menjadi fokus pemikiran setiap eleman. Di sana-sini siang malam tunas-tunas bangsa berwajah pucat bermata sayu tak lepas hape android; melupakan waktu beribadah, melalaikan jam makan dan jam tidur, membantah dan membangkang pada orangtua dan kesulitan berinteraksi sosial secara wajar. Di belahan yang berbeda mereka menggandai nyawa di sadel-sadel motor dan tak sedikit turut terlibat menjadi korban narkoba.

Panggung-panggung pementasan, gedung-gedung kesenian, perpustakaan-perpuskaan baik di lingkungan sekolah dan di kampus-kampus, stad bibliotik yang dibangun mentereng mestinya mencerahkan wajah-wajah mereka – tapi tampak muram dan sepi. Hanya rak-rak buku bisu, meja kusam dan kursi berdebu.

Pertengahan tahun 1940-an (beberapa tahun setelah bangsa kita memproklamirkan kemerdekaan) para tetua menyimpan rapi bacaan dalam peti-peti kayu melebihi harta karun adalah kurun di mana kata dan bahasa punya taring, lebih tajam dari gigitan singa. Itu zaman sebelum adanya internet seperti sekarang yang mana miliaran kata masuk ke ponsel setiap menitnya. Proses kreatif penulisnya berbeda. Dan itu dahulu, tantangan zaman tidak seberat sekarang – buku ditulis atas ketulusan melayani anak-anak negeri – saat mana buku dinilai lebih penting dari sepatu, lemari, baju, makanan, kendaraan dan status sosial.

Bagaimana menumbuhkan trust generasi terhadap pentingnya membaca buku, membiaskan kebiasaan membaca sehingga menjadi bagian dari budaya? Bukankah buku gudang ilmu? Bukankah buku jendela dunia?
Bacaan bermutu dan menggiurkan tentu menggiring. Itulah barangkali mengapa sejak awal penyampaian “pesan-pesan” dalam setiap penulisan sangat diindahkan dan proses kreatif dibahas secara mendasar.

Membiasakan diri banyak membaca, latihan berulang-ulang dan berkelanjutan, perenungan, pendalaman atas realitas sekeliling dan pengalaman membaca karya-karya penulis lain boleh jadi gerbang yang ditapaki penulis untuk menghasilkan karya yang juga bagus. Zaman kata-kata murah seperti era internet sekarang merupakan tantangan berat untuk merebut hati pembaca. Dan buku lama-lama ditinggalkan. Alasan mengapa penulis dituntut kegigihannya untuk menghasilkan karya yang lebih bagus menjadi jawaban. Mungkin dengan itu trust pembaca dan rasa pentingnya membaca dapat terbangun.

Cerpen dan novel merupakan cara kerja yang mulanya berasal dari barat. Patut difahami maunya dan mengapa dilakukan. Isinya tentu tergantung penulis dan bermutu tidaknya subjektiv.

Mengapa menulis? Mengapa menulis karya sastra? Mengapa pilihannya karya sastra? Esai-esai yang bertebaran di media-media massa yang dulu digemari dan dianaliasa ternyata usianya jauh lebih pendek dari umur bayam cabut. Bahasan tentang perestroika Mikhail Gorbachev di Rusia yang heboh dan marak kini sepi tak ada lagi yang mengenang. Tapi salah satu cerpen Anton Pavlovich Chekhov berjudul “Kesedihan” yang digarap jauh lebih lama masih dibahas dan dilahap hingga kini sebagaimana saat awal penulis menggarapnya.

Puisi Chairil Anwar dan Rendra di mana-mana masih banyak yang menikmati, sedangkan tulisan-tulisan Harmoko saat menjadi wartawan tak ada lagi yang menyebut. Novel Buya Hamka “Tenggelamnya Kapal van der Wijck”, “Merahnya Merah” buah tangan Iwan Simatupang dan “Lorong Midaq” karya Najib Mahfud entah sampai kapan tetap renyah dinikmati dan menginspirasi generasi ke generasi di belahan dunia berbeda.

Penulisan karya sastra merupakan rekaan, alam misal, dan penulis dibebaskan untuk memisalkan apa saja dan siapa saja. Penulis seolah-olah dapat menjadi penipu saat menulis dan mendalami karakter penipu. Bisa menjadi pelacak jejak, koruptor, pengusaha, petani, pembohong, ulama, dosen dan guru, bintang film, filosof, siswa, anak-anak yang riang bermain di kali, tukang sol sepatu, penggali kubur – apapun – dengan cara menuliskannya. Dan penulis karya sastra memerlukan kemampuan intelektual dan kecerdasan yang tak main-main dan bukan sekedar kerja pengrajin, melainkan inovatif dan menginspirasi beragam hal, termasuk penyumbang dalam pengembangan cabang-cabang ilmu pengetahuan – corong zaman, oli bagi mesin dan harkat martabat bangsa: memikirkan jangkauan dan kemungkinan peristiwa (bukan khayalan kosong dan sekedar menyusun kata) – melainkan membiaskan cahaya.

Ketidak-jelasan bacaan di sebuah negeri yang belum dewasa budaya baca-tulisnya akan dapat meminimalkan iklim budaya baca karena masyarakat pembaca dapat kehilangkan trust terhadap bacaan, semacam sikap pemberontakan yang meragukan buku.
Membaca seperti dianggap terlalu sepele dan membuang-buang waktu boleh jadi akibat pengalaman dikecewaan karena tak banyak yang didapatkan dari membaca, tak sebanding dengan keluangan waktu yang dikorbankan. Kesan novel yang mengidentikkan bacaan semi blue masih sulit dihilangkan di kepala publik sampai sekarang karena kita sempat mengalami era di mana banyak karya-karya demikian mendominasi pasar. Bila sudah sampai terlempar jauh dalam palung keterpurukan betapa mengenaskan nasib budaya baca-tulis kita.Betapa buruk perkembangan generasi, termasuk rendahnya rasa percaya diri untuk bisa bangkit menghadapi era persaingan global yang kian menggeliat.

Pembahasan karya sastra sama luasnya dengan perbincangan tentang hidup dan manusia, dan segala permasalahannya. Seperti halnya makanan bergizi tinggi — karya sastra diharapkan mengundang bergudang-gudang alasan siapapun untuk menghampiri dan melahapnya. Pembaca yang mencari buku, bukan kebalikannya. Menyikapi ini semua, tugas semua pihak untuk berendah hati, bersikap objektif dan tabah mengenali dan memprioritaskan gizi bacaan terhadap generasi penerus. Dengan harapan siswa-siswa, mahasiswa dan masyarakat luas tumbuh minat baca dan trustnya terhadap bacaan – bukan merasa lebih asyik mengurung diri bermain game siang-malam, atau mengganggu ngebut-ngebutkan di jalanan, terperangkap obat-obat terlarang yang menghancurkan masa depan mereka.

Kapan dan di manapun – kita harus punya kejelasan jati diri sebagai sebuah bangsa. Dunia perbukuan kita – sastra atau di luar sastra; kesenian kita yang berkaitan dengan buku atau tidak harus tetap tumbuh dan berkembang menuju hal-hal yang lebih positif – tidak rubuh kehilangan arah, tidak terkapar oleh pelemahan yang melalaikan pada nilai-nilai baik dan buruk, bermartabat.

Pelukis yang sudah pandai menggambar bertahun-tahun tetap ditugasi menggarap sketsa saat masuk sekolah melukis. Untuk menuju dinding pameran memerlukan waktu sangat lama – dan itu semua agar tidak instan, mematangkan profesi pelukis. Demikian pula dengan sekolah-sekolah musik.

Apa yang terjadi di sini, juga berlangsung di negeri-negeri yang jauh. Dan dari sini mari kita merajut kembali energi yang tercecer dan bertahan untuk tetap terus berkarya di sisa usia yang dikaruniakan sebagai sebuah investasi bagi pertumbuhan, pengembangan dan pencerdasan. Hal yang baik belum tentu banyak dan meriah, namun merembeskan nilai-nilai luhur. Buku-buku, lukisan bagus, musik yang bagus dan pahatan yang bagus pun belum tentu laku di pasaran.

Tiap proses tak terpisahkan dari hasil akhir. Kesemuanya saling berkaitan. Demikian sensitifnya — sekata atau satu angka yang tak pas dan tertera di pojok halaman buku sebagus apapun dapat mencederai makna dan nilai sebuah buku. Di balik kehebatan sebuah karya terdapat sosok yang jauh lebih agung, sebab karya sebesar apapun tidak akan pernah lebih besar dari keteguhan, ketabahan dan konsistensi sikap senimannya.

Dan oleh karenanya ada baiknya kita tengok kutipan ini;
If you can’t be the best selling author, be an author
If you can’t be an author, be a writer
If you can’t be a writer, be a story teller
And if you can’t be a storyteller just be a person who play with words.

Kita bisa membangun rumah dengan sejumlah tumpukan batu bata. Guci terbaik dan semahal apapun tersususn dari air dan debu. Dengan tinta kita bisa membangun kehidupan. Kata-kata yang kita susun mampu mengungkapkan, menguatkan, mencerahkan, meninggikan, meluaskan, membereskan, melebarkan, memulihkan, mempercepat, melipatgandakan, memotivasi, memperindah, memegahkan, memaksimalkan, mengoptimalkan, mewujudkan, dan menentramkan.
Setetes tintamu bisa membangun dunia. *

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *