Manusia dalam Tiga Jeratan

PENGARUH mazhab positivistik dalam sejarah ilmu pengetahuan modern bukan saja hanya menimbulkan persoalan bagi eksistensi agama, tetapi pada dasarnya mencakup persoalan-persoalan fundamental-filosofis yang bersifat metodologis dan epistemologi.

Rasio-empiris yang dijadikan landasan utama di dalam sains modern serta dianggap sebagai satu-satunya metode yang valid sebagai landasan utama dalam memahami realitas sosial, individu, serta keagamaan telah menimbulkan masalah yang cukup pelik.

Baca juga: Daur Ulang Penindasan: Pantulan Orwell

Ilmu-ilmu alam (natural science) yang mengafirmasi kebenaran pengetahuannya yang bebas nilai, apriori, dan objektif juga adalah persoalan lain, yang saya rasa terlalu naif untuk diterima begitu saja tanpa diuji sebagaimana mestinya.

Melalui tulisan singkat inilah, saya  mencoba dengan amat pelan mempersoalkan metodologi ilmu sosial (social science) positivistik atas klaim objektifikasi pengetahuannya dengan menggunakan perspektif “Sosiologi Pengetahuan” (Sociology of Knowledge).

Tepat pada abad ke-20, ilmu sosial (social science) mendapat gugatan serius, baik secara metodologis maupun dalam kontribusi praksisnya. Gugatan tersebut terutama datang dari lingkaran mahzab Franfurt, Jerman. Khususnya yang fokus terhadap kajian ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan melalui diskursus “Sosiologi Pengetahuan” (Sociology of knowledge) sebagai paradigma alternatif di tengah kealpaan ilmu sosial di dalam merumuskan sistem sosial yang ideal.

Baca juga: Konsep Ekofeminisme dalam Mantra “Inaku Dana, Amaku Langi” (1)

Dari segi metodologi, ilmu-ilmu sosial masih belum bisa melepaskan bayang-bayang positivistik atau ilmu-ilmu kealaman (natural science), dan kemanusiaan dikaji melalui pendekatan  tersebut yang menyebabkan ilmu sosial hingga saat ini belum mampu memberikan solusi yang tepat terhadap masalah-masalah penting kemanusiaan. Sehingga ilmu sosial dituntut untuk segera mengambil jalan berbeda dari ilmu-ilmu eksak yang sekiranya sesuai dengan watak, objek dan tujuan kajian ilmu sosial itu sendiri.

Baca Juga  Semiotika Burung Garuda Berkepala Dua sebagai Wajah Hukum Masyarakat Bima

Tak seperti ilmu sosial positivistik yang mengklaim kebenaran ilmu pengetahuan bebas nilai, “Sosiologi Pengetahuan” justru melihat kebenaran dan pengetahuan manusia bersifat subjektif dan tidak bebas nilai. Bagaimanapun juga, pengetahuan tidak akan pernah lepas dari subjektivitas individu yang mengetahui; latar belakang sosial serta psikologi individu akan senantiasa mempengaruhi proses terjadinya pengetahuan.

Hal tersebut disebabkan oleh prakonsepsi dan nilai-nilai yang telah tertanam dalam diri dan benak seseorang sedari kecil, serta juga dipengaruhi oleh lingkungan-lingkungan sosialnya. Prakonsepsi dan nilai-nilai tersebut tersembunyi di relung terdalam dan pikiran alam bawah sadar manusia.

Ketika seseorang melihat objek-objek yang dalam hal ini adalah nilai-nilai kebudayaan yang berbeda dengan apa yang dianuti. Maka, dengan segera orang tersebut menilai berdasarkan dirinya. Sehingga terkadang muncul anggapan bahwa nilai-nilai kebudayaan yang dilihat adalah keliru, menyimpang atau bahkan sesuatu yang kriminal.

“Apa yang baik bagi seseorang bisa tidak baik bagi orang lain,” Demikian ungkap Gre dalam bukunya Society and Ideology. Fenomena sebagaimana yang disebutkan merupakan salah satu cara pandang (kultural) manusia dalam melihat objek di luarnya, dan manusia terbiasa melihat sesuatu tidak dalam realitas yang sesungguhnya, namun melihat sesuatu sebagaimana yang nampak (fisik) dalam dimensi sosio-kultural.

Tak hanya itu, cara pandang manusia juga dipengaruhi oleh tingkat atau stratifikasi sosialnya. Sebagai contoh, misalnya, bagi kalangan ‘atas’ yang menganggap tatanan sosial sebagai sesuatu yang sakral akan menilai bahwa revolusi dalam gerakan sosial adalah sebagai suatu yang anarkis, meyimpang dan jahat, sehingga pelaku harus dihukum seberat-beratnya.

Tetapi berbeda bagi kalangan ‘bawah’ yang memandang bahwa revolusi adalah sesuatu yang perlu, dan bahkan merupakan bagian dari gerakan ‘suci’ dalam memperjuangkan keadilan sosial. Dua contoh sederhana ini merupakan fenomena dari kecenderungan-kecendrungan cara pandang manusia dalam menilai objek yang dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia berada.

Baca juga: Memimpikan “Mazhab” Baru Studi Islam

Baca Juga  75 Tahun Merdeka, Petani Masih Terjajah

Selain itu, dan yang terakhir, bahwa cara pandang manusia dalam menilai suatu objek juga terpengaruhi dan didorong oleh emosional personal. Sehingga pikiran manusia juga tak mampu sepenuhnya bebas dari emosinya tatkala sedang menentukkan suatu pilihan atau dalam hal menilai sesuatu objek. Dengan kata lain, pengaruh emosi atas pikiran manusia adalah sesuatu yang benar-benar nyata.

Sehingga rasio-empiris yang digadang-gadang sebagai satu-satunya metode epistemologi yang valid, telah terbantahkan oleh tiga kecenderungan, yakni: pertama, jeratan cara pandang (kultural). Kedua, jeratan status atau stratifikasi sosialnya. Ketiga, adalah jeratan emosional-personalnya.

Dari penjabaran singkat ini, akhirnya kita dapat melihat bahwa manusia selalu, dan tak bisa lepas dalam tiga jeratan sebagai “keterkaitan” (relation) antara pengetahuan dan eksistensi manusia adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dihindari—yang sekaligus membantah pengklaiman kebenaran pengetahuan bebas nilai oleh kalangan positivistik itu sendiri. [ ]

Daftar Bacaan:

Karl Mannheim, Ideology and Utopia, (Yogyakarta: Kanisius, 1991).

Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1991).

Fuad Baali & Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic Thought-Style: A Social Perspetive, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *