Percakapan di Meja Resepsionis Gereja Bethany

PENJAGA di Gereja Bethany baru saja membersihkan salju setebal kira-kira delapan senti dari trotoar ketika pemuda berkacamata itu muncul. Matahari sudah gagah, tapi angin menderu ribut: suhu udara terjebak di titik beku. Pemuda itu hanya mengenakan celana jeans tipis, kemeja musim panas, sepasang sepatu bot usang, dan sehelai jaket yang nyaris tak mampu menahan dinginnya udara: dengan tangan terlipat di depan dada dan napas yang menggebu.

Tapi, dia tak terlihat terburu-buru. Langkah kakinya teratur. Penjaga gereja bingung karena sapaannya hanya berakhir pada suaranya—tak ada balasan. Dekat kapel dan berhenti di depan pintu samping bertandakan kata “kantor” dalam cat hijau usang. Pemuda itu tidak mengetuk dan pintu itu tidak terkunci. Dia melangkah masuk persis ketika hembusan angin kencang lain menerpanya dari belakang.

Baca juga: Pengalaman Berbuka Puasa di Gereja

Ruangan itu adalah ruangan resepsionis yang penuh barang dan berdebu, persis seperti bayangan kita tentang kondisi sebuah gereja tua. Di tengah-tengah ruangan terdapat meja tulis dengan sekeping papan nama yang mengumumkan kehadiran Michele Joan yang sosoknya masih belum tampak. Dia menyapa sambil tersenyum, “Selamat pagi.”

“Selamat pagi,” balas pemuda itu. Lengang sejenak. “Di luar dingin sekali.”

“Benar sekali,” jawab perempuan itu, sambil menilai cepat tamunya. Masalah utamanya adalah dia tidak mempunyai mantel, dan kepala serta kedua tangannya tidak berpelindung.

“Apakah sekarang jadwal peribadatan kalian?”

Perempuan itu bingung ketika hendak menyingkapi pertanyaan pemuda itu.

“Maaf…”

“Namaku Mahrez, aku seorang muslim,” sergah pemuda itu. Ya, pemuda tersebut mengerti arah kebingungan perempuan itu. Memang tidak masuk akal apabila seorang umat Kristen tidak mengetahui jadwal peribadatan di gereja.

Senyap sejenak di antara mereka. Para jemaat gereja itu mulai berduyun-duyun masuk ke dalam. Mengecoh pandangan antara pemuda dan perempuan yang berdiri di bangku resepsionis itu. Suhu di luar tampaknya semakin menggila. Dahan pohon berayun-ayun hampir menyentuh tanah. Burung-burung yang sebelumnya terdengar nyaring kicaunya, mendadak senyap akibat sibuk mencari tempat pengungsian yang bisa menjamin kehangatan tubuhnya.

Baca juga: Moderasi Beragama dalam Kearifan Dou Mbojo

Derap kaki para jemaat mulai kondusif. Mereka duduk di tempatnya masing-masing. Ada yang seorang diri, ada yang berdua bersama pasangannya, dan ada yang datang beramai-ramai bersama keluarga.

“Hari ini adalah hari Minggu. Sesuai jadwal gereja kami, pukul sembilan pagi ini acaranya adalah kebaktian umum. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua.”

Pemuda itu  seolah tidak mendengar ucapan perempuan itu, matanya sibuk mengamati seisi ruangan gereja. Menurut pengamatannya yang terbatas, bangunan gereja ini bergaya gotik dalam arsitekturnya, dan didominasi dengan dinding bata merah. Berbentuk kerucut tinggi menjulang pada menaranya. Selain fondasi umum dari bangunan gereja ini, yang tidak kalah artistiknya adalah patung Santa Maria Assumpta di atas anak tangga terakhir menuju halaman gedung gereja.

“Kenapa seorang muslim datang ke sini?” Akhirnya pertanyaan tersebut muncul.

“Oh, tidak. Aku penduduk baru di desa ini. Sekitar tiga puluh menit yang lalu, aku habis dari ladang peternakan pamanku. Aku berniat menyusuri desa ini dengan kedua kaki payahku ini, sayangnya cuaca—seperti yang tidak bisa aku prediksi—berubah secara tiba-tiba. Ya, aku mampir ke sini. Lagi pula, menurutku tidak ada aturankan, di gerejamu siapa saja yang boleh diperkenankan masuk?”

“Ini bukan gerejaku. Ini Rumah Tuhan,” jawab perempuan itu.

Pemuda itu menyeringai tipis begitu mendengar jawaban perempuan itu. Tidak ada bedanya dengan prinsip islam, batinnya.

“Setengah jam lagi mungkin cuaca kembali normal, masih ada waktu untuk duduk mengagumi bangunan gereja ini sebelum kebaktian dimulai,” ujar Mahrez. “Aku baru tahu, gereja memiliki resepsionis, untuk apa?”

Tanpa mengindahkan tatapan Mahrez, perempuan itu sibuk membaca daftar catatan yang dipegangnya. “Salah satunya adalah menjembatani kepentingan jemaat dengan pendeta, gereja ini memfasilitasi para jemaat untuk konsultasi.”

“Berapa biaya yang aku perlukan untuk itu?”

“Kau tidak perlu mengeluarkan satu rupiah pun,” jawab perempuan itu agak ketus.

Pemuda itu tersenyum tipis, dia mengerti bahwa pertanyaan yang diajukannya itu semacam salah satu bentuk stigmatisasi bahwa segala hal selalu ditagih dengan uang.

“Mengapa? Konsultannya pasti tidak ingin membuang waktunya secara percuma hanya untuk mendengarkan masalah seseorang, bukan?”

“Pendeta kami yang menjadi konsultan itu sendiri pernah mengatakan bahwa materi itu bukan uang, tapi kebahagiaan. Dalam Amsal 11:17 mengatakan bahwa orang yang murah hati berbuat baik akan menguntungkan dirinya sendiri. Dan keuntungan yang dimaksud ini bukan semata-mata balas jasa berupa uang, tapi kebahagiaan. Kebahagiaan ini rahmat Tuhan yang luar biasa. Manusia bisa memiliki banyak uang, tapi sedikit yang benar-benar bisa bahagia. Dan kau bisa mendapatkan kebahagiaan itu dengan cara membantu tanpa pamrih dengan sesama.”

Baca juga: Menyapa Mereka yang Berbeda: Perjuangan Mengakhiri Prasangka

Akhlakul karimah..,” gumam pemuda itu.

“Kau tahu Pram?”

“Dari tadi pertanyaanmu seperti meremehkanku…”

Pemuda itu mendesis tertawa.

“Ya, aku tahu kalau kau hidup dari tahun delapan puluhan. Tapi agaknya apa yang dia katakan ada benarnya untuk pola keberagamaan masyarakat Indonesia hari-hari ini. Khususnya sasarannya untuk kalangan kami, umat muslim.”

Perempuan itu terkekeh. “Sudah, sudah. Aku tahu arahmu.”

“Hem?”

“Islam adalah agama yang memiliki jumlah penganut paling banyak di Indonesia. Bagaimana aku tidak tahu dengan hiruk-pikuk golongan kalian. Kau tadi mengatakan nama siapa? Pram? Meminjam istilah Pramodya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, pola keberagaman masyarakat Indonesia hari ini dianggap sebagai pola keberagaman yang statistik. Dia secara khusus menyebut umat Islam sebagai muslim yang statis yang berislam secara statistik.”

“Muslim Statis?” Mahrez agak asing dengan referensi itu.

“Ya, menurut Pram, Muslim statis itu muslim yang cenderung memaknai sesuatu secara kaku dan kuantitatif. Dalam arti lain, aroma kuantifikasi beragama menjadi wajah tunggal dan dominan.”

“Bisa kau gunakan kalimat yang jelas?”

Perempuan itu menggeser buku catatan yang ada di hadapannya dan menyelipkan pena-nya di antara sela jari telunjuk dan jari tengahnya. “Alih-alih memikirkan kualitas beragama, masyarakat Indonesia cenderung terseret arus berbanyak-banyak dalam mendulang pahala. Sebuah tren yang sama sekali tidak menyenangkan. Tren seperti itu menurut ajaran kami akan berakibat buruku. Terutama kalau menyangkut hal-hal yang sangat prinsipil.”

“Contohnya?” Kali ini Mahrez benar-benar terlihat bingung.

“Contohnya saja problem pelik yang menjadi khas beragama kalian, yakni soal ibadah salat. Tidak kurang teman saya yang menjadi muslim. Mereka sama denganmu, risau perihal pola keberagamaan masyarakat sekarang. Banyak kalangan meyakini dan bersikeras kalau kesalehan seseorang dapat diukur dari tingkat intensitasnya berkunjung ke masjid, dan seringnya membaca al-Qur’an, pun dari gemarnya berpuasa.

Menjadikan semua itu menjadi parameter adalah keliru. Pergi ke gereja adalah input, suatu hal yang tidak bisa dijelaskan apalagi dipamerkan pada manusia. Melakukan kebaktian adalah upaya untuk bisa lebih dekat dengan Tuhan.”

“Sekarang aku mengerti analogi yang kau buat. Aku kembali ingat satu hal, bahwa kau ada benarnya. Salat, puasa, zikir, itu adalah input dari parameter kesalehan yang sebenarnya, yaitu mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Mencegah bukan berarti meniadakan perbuatan keji dan mungkar. Artinya, kalau tidak terjamin tiada perbuatan keji, lantas apa yang dipamerkan dari salat?” Ucapan Mahrez semakin lirih, terutama pada kalimat terakhir.

“Kau benar…” Perempuan itu bergumam.

“Benar soal apa?”

“Tiga puluh menit berselang cuaca kembali normal. Kami akan melakukan kebaktian.”

Mahrez melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Kepalanya mendadak terasa enteng setelah berbicara dengan perempuan tadi. Sebelum dia memutar kenop pintu, dia membalikkan badannya dan mendapati para jemaat gereja itu berdiri takzim untuk melaksanakan kebaktian. Dia baru sadar, bahwa perempuan yang disangkanya resepsionis tadi, ternyata dia adalah pendeta di gereja itu.[]

Ilustrasi: Pinterest.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *