SETIAP disertasi keren. Termasuk disertasi Kamarudin Zaelani yang kemarin (Kamis, 12-1-2023) dipertahankan dalam ujian terbuka pada Program Pascasarjana UIN Mataram.
Disertasi ini membahas nilai-nilai pendidikan Islam dalam teks Menak Sarehas dari Raden Ngabehi Yosodipuro I, kakek dari pujangga Jawa kenamaan, Ronggowarsito.
Di antara yang menarik adalah pendekatannya, yang diklaim sebagai hermeneutika pembebasan (gabungan antara hermeneutika subjektif dan objektif). Hermeneutika sendiri adalah disiplin, qaidah, dan seni memahami teks.
Jika sebuah teks dipahami sebagaimana maksud pengarang teks maka itu hermeneutika objektif. Jika menekankan pada determinasi konteks di balik teks dan kepentingan pembacaan teks oleh reader, itulah hermeneutika subjektif.
Istilah hermeneutika pembebasan sendiri, saya kira, diambil dari gaya berpikir terhadap kitab suci sebagaimana ditunjukkan oleh sarjana Muslim seperti Farid Essack dan Hassan Hanafi dalam tradisi pemikiran Islam.
Gaya berpikir ini melihat al-Qur’an korpus terbuka. Dengan ini kepentingan “nilai” perjuangan (kelas) bisa diadaptasi dan dimungkinkan. Para penganut cara berpikir ini, meyakini di situlah elan vital(esensi) revelasi (pewahyuan), yakni pembebasan.
Arti lain pembebasan dalam frase ‘hermeneutika pembebasan’ itu bisa juga pelucutan belenggu teks dari ideologi pengarang. Pembaca lah yang punya kuasa atas teks dengan memberinya makna dan konteks. Maka terjadilah kontekstualisasi teks. Meski begitu, hal ini pun bentuk pembebanan pada teks baru.
Baca Juga: Mengaji Fitua Dalam Teks Dan Konteks (1)
Disertasi ini adalah pembacaan teks. Teks “netral” – untuk menemukan butir-butir mutiara bagi pengayaan materi pendidikan Islam. Penting menerapkan secara disiplin Critical Discourse Analysis, bukan hanya Content Analysis.
Kita menjadi tidak sewenang-wenang, dalam artian mengekang teks, jika kita hati-hati susupkan kepentingan “islamisasi” teks. Teks tidak kita paksa untuk menampung ‘imajinasi’ kita mengenai universalisme Islam. Ini rawan dengan yang namanya romantisasi Islam melalui teks.
Tiada salah! Hanya saja ada implikasi paradigmatiknya jika tidak kritis. Yakni bahwa hal ini menggiring kepada konstruksi pandangan Islam sebagai bungkus, kotak, dan sistem. Paradigma ini pada gilirannya menjadikan kita melihat agama (Islam) begitu formalistik.
Salah satu buktinya, promovendus secara tegas mengklaim “Serat Menak adalah Islam.” Memang di dalamnya ada nilai-nilai agama yang bersifat universal, yang ditangkap oleh pengarang melalui teks. Tetapi mengatakan bahwa itu Islam, justru menyempitkan universalisme Islam.
Mengapa begitu? Satu, Serat Menak itu lokalitas, sedang Islam nilai yang bertaburan, menjangkau semua penjuru, melampaui lokalitas. Justru karena – awalnya – “tidak berbentuk”, tetapi mengisi wadah. Tugas kearifan (intelektualisme) lokal untuk menangkap yang universal itu dengan media lokal.
Kedua, persebaran Islam di Nusantara pada abad ke-17 dan 18 – kala pengarang hidup dan teks diproduksi – adalah Islam yang sudah berkonfigurasi dengan budaya Persia, India, Cina dan Melayu.
Adapun Jawa, saat itu, adalah entitas yang sedang bergumul antara formasi sosial lama dan baru. Maka kebudayaan Jawa perlu mengadaptasi unsur-unsur Islam yang saat itu sedang menjadi arus utama formasi sosial di Nusantara.
Maka, jika kita melihat dengan kacamata hermeneutika objektif, mungkin bacaan kita bisa saja bukan (cuma) islamisasi teks, tetapi TRADISIFIKASI. Yakni, nilai-nilai Islam yang menggema diterima dan dimodifikasi melalui tradisi. Dalam hal Serat Menak, ya melalui tradisi teks(intelek)tualisme Jawa.
Maka, Serat Menak adalah jembatan kultural penghubung nilai-nilai dari berbagai aras peradaban. Di situ Jawa, harus diakui, memperlihatkan sebagai sebuah entitas kultural yang juga berinteraksi secara setara dengan entitas peradaban lain, termasuk Islam.
Maka, di sini, ideom Agama Jawa, atau Jawanisasi Islam menjadi agak relevan. Alih-alih Islamisasi Jawa.
Maka, ada interteks dalam pergaulan kebudayaan. Yakni kemiripan nilai, makna, dan narasi yang dikandung oleh teks-teks dalam berbagai latar belakang. Juga kemiripan simbol, termasuk perangkat dan modus linguistiknya.
Kita jelas mengagumi Islam mampu menyeberangi jembatan-jembatan kultural, meresap dan membentuk dari dalam warna dan rasa dari praktik dalam berbagai “wadah” kultural. Kaum exil kesatria dari Baghdad – futuwwah – dan para pujangga lokal punya peran yang besar, selain para wali dan muballigh.
Kita perlu upaya penggalian nilai-nilai agama untuk menginspirasi, sehingga shalih likulli zamanin wa makanin. Rahmatan lil’alamin. Tetapi penting meletakkan Islam sebagai praktik yang hidup (living tradition), karenanya punya partner dari aras peradaban lain. Juga penting meletakkan teks-teks secara “netral”.[]
Pengkaji agama dan budaya, direktur Alamtara Institute dan founder Kalikuma Library & EduCamp NTB