Ade Mpida Mataho Samampa Labo Lingga ma Kawowo

ADE MPIDA Mataho Samampa Labo Lingga ma Kawowo.  Hati nurani yang baik sama dengan bantal yang empuk.

Seseorang yang terlatih memberikan kenyamanan, ketenangan, dan kesungguhan diri. Ringan hati dalam memaafkan, membantu, dan mengapresiasi apa yang dilakukan oleh orang lain. Entah mengapa hati nurani yang baik dipersamakan dengan bantal yang empuk.

Barangkali nyamannya kepala yang merupakan sesuatu yang dianggap mulia, ketika ia pulas di bantal yang empuk ia menjadi nyaman dan nyenyak. Seperti itulah gambaran orang yang memiliki hati nurani yang baik. Apalagi, bilamana bantal itu dibuat daripada kapas terbaik disertai keahlian dan ketekunan penenunnya.

Untuk mengasah hati nurani, perlu latihan yang sangat ketat. Ketekunan sebagaimana para penjahit bantal yang menghasilkan bantal yang empuk dan nyaman. 

Di tengah kehidupan modern yang memaksa manusia untuk sibuk, memenuhi hasrat pada hal-hal materi dan kekuasaan, amat sulit menemukan manusia-manusia yang sejati. Konon, manusia sejati adalah mereka yang selalu mempertanyakan nilai daripada sikap dan tindakannya, terutama ketika ia membuat keputusan.

Baca juga: Moderasi Beragama dalam Kearifan Dou Mbojo

Bila gegabah memutuskan sesuatu artinya seseorang itu tidak benar-benar mempergunakan hati nuraninya untuk mempertimbangkan keputusan yang dibuat. Sebaliknya, seseorang yang membuat keputusan berdasarkan hati nuraninya akan mendatangkan ketenangan bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga umat pada umumnya.

Hati nurani adalah mujtahid yang dimiliki setiap pribadi. Pada hati nuranilah dikembalikannya seluruh hukum, baik hukum moral yang memiliki konsekuensi terhadap pribadi maupun hukum sosial dalam berhubungan dengan orang lain. Hati nurani adalah hakim yang terpatri dalam diri yang telah dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa pada setiap insan.

Dengannya manusia mampu membedakan apa yang bathil daripada yang hak, dan yang hak daripada yang bathil. Hati nurani yang dibimbing oleh cahaya Tuhan akan secara tegas menampakkan sesuatu yang benar dan sesuatu yang salah dengan penuh tanggung jawab dan jauh dari rasa bersalah.

Hati manusia rentan sekali terperangkap di dalam kegelapan. Sifat kegelapan yang menimbulkan rasa ragu-ragu, was-was, dan perilaku pengecut kerap menjerat manusia. Manusia memberi celah kegelapan lewat perbuatan-perbuatan tercela seperti merendahkan orang lain, serakah, memelihara kesombongan, bahkan merampas kemerdekaan dan hak orang lain.

Celah-celah datangnya kegelapan ini perlu kita tutup dan diganti dengan cahaya bimbingan Ilahi. Kuncinya adalah diri kita sendiri. Jangan sampai hati kita tertumpuk oleh kegelapan sehingga kita terhalang untuk terhubung dengan hati nurani kita yang terdalam.

Manusia perlu menciptakan kesempatan bagi dirinya untuk melakukan latihan spiritual yang tekun dengan niatan penuh untuk mengasah ketajaman hati nurani. Sebagaimana kita tidur pulas setiap harinya sehingga kita merasa bugar ketika bangun lagi di waktu pagi.

Bantal yang empuk adalah wasilah untuk mendapatkan tidur yang nyenyak. Demikian juga hati nurani yang baik. Latihan dengan wasilah-wasilah atau amalan spiritual seperti salat, sedekah, dan puasa adalah pilihan-pilihan untuk bisa dilaksanakan dalam melatih ketajaman hati nurani.

Keadaan nurani yang baik dan luhur tergambar dari sikap syukur di keseharian. Baik dalam kata maupun perbuatan. Mereka adalah pribadi yang senantiasa mengucap syukur akan nikmat Tuhan dalam keadaan duka maupun bahagia. Mereka tidak merugikan orang lain, apalagi berbuat atau berkata hal yang menyakitkan, terlebih lagi melakukan kejahatan.

Baca juga: Fi Tua, Ajaran Rahasia dan Etik Dou Mbojo

Orang yang hati nuraninya tajam akan menjaga lisan, pendengaran, perbuatan, dan itikad dalam hatinya dengan hal-hal yang luhur lagi mulia. Mereka melakukan kebaikan tanpa pamrih, mengingat kembali keberadaan dirinya, serta selalu menyadari bahwa keberadaannya di dunia ini adalah hidup bersama dengan banyak orang, serta mawas diri menjalani kehidupan di dunia ini sebagai manusia sebaik-baiknya.

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.” (Surat An – Nahl : 78)

Demikianlah orang yang memiliki hati nurani. Tidak akan gegabah dan terburu-buru memutuskan sesuatu. Selalu mawas diri dalam melihat situasi di sekitarnya. Mereka hidup penuh rasa hati-hati yang mendatangkan ketenangan. Sebagaimana orang yang tidur di atas bantal yang empuk.[]

***

Catatan: Peribahasa yang menjadi topik bahasan di dalam tulisan ini bersumber pada Buku Kamus Peribahasa Bima – Indonesia Karya Muhammad Thahir Alwi, terbit th. 2008.


Ilustrasi: Islampos

1 komentar untuk “Ade Mpida Mataho Samampa Labo Lingga ma Kawowo”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *