RUANG kelas di pojok yang panas itu baru saja ditinggalkan siswanya. Tengah hari, di bawah terik siswa keluar pada rehat kedua ogah-ogahan masuk kelas kembali. Seperti biasanya, dan hari-hari sebelumnya. Mata pelajaran yang sarat kekakuan, namun diabaikan. Mungkin juga tidak, namun daya remaja untuk bermain lebih keras untuk sekadar mendengar dan mencatat diktat serta kaidah dasar soal agama ini.
Ia ampu mata pelajaran itu: Ushul Fikih di kelas kami. Juga di kelas-kelas lain seideologi sejurusan. Mata pelajaran ini istimewa, hanya ada di jurusan kami. Hanya kami yang “berhak” menerima ilmu ini, mungkin juga hanya kami yang tahu. Mengapa begitu? Karena kami tahu, saat itu, tidak tersedia Buku Paket-nya di perpustakaan madrasah. Pertanyaannya, buku apa yang kami pakai untuk belajar?
Tiada lain tiada bukan, hanya buku dari Sang Pengampu mata pelajaran. Buku hasil foto copy-an lanskap dengan sampul kertas buffalo usang yang tertulis: Ushul Fikih. Hanya itu, satu-satunya. Dengan keterbatasan demikian, jelas berimplikasi pada metode belajar kami. Mencatat, mendengar, kemudian diskusi. Sederhana.
Ya, harus mencatat, buku hasil foto copy itu, haram di foto copy kembali. Atau mungkin juga beliau ingin berkata kepada muridnya: “tak ada ilmu yang mudah, harus dengan usaha dulu, harus berjuang dulu, catat dulu”. Itu hidden transcript-nya. Yang tak terbaca oleh murid-muridnya yang fakir dulu.
Untuk metode kedua, Sang Pengampu masuk kategori seorang pembicara ulung. Penjelasannya runut untuk kajian ini, membuktikan ia seorang yang paham betul dengan mata pelajaran. Pernah kami menolak perintahnya untuk mencatat, tapi kami mendengar penjelasannya. Paham sedikit, dan tidak ingat kemudian. Sebab, tidak diikat oleh metode pertama. Atau bahasa Malin Kundang-nya: Durhaka. Itu sambil lalu saja.
Dua metode di atas pasti kalah dengan metode ketiga. Yes, diskusi. Perkara ini memang paling asyik. Sebab, kami, sebagai remaja yang sedang tumbuh, Sang Pengampu terbuka untuk berdiskusi soal-soal keislaman yang sedang bergelayut di kepala muridnya. Kami punya cara sendiri untuk hal ini, pertanyaan pembuka masih pure ushul fikih dan kaidah-kaidahnya.
Selanjutnya, kami mencoba pendekatan lain, fenomena yang kami temui di luar seperti soal bayi tabung, pembagian waris hingga persoalan nikah siri kami hubungkan dengan ushul fikih. Tanpa panjang kata, Sang Pengampu menjawab. Paham? Paham!
Pendekatan ini hanyalah “wasilah”, jalan untuk keluar dari pembahasan ushul fikih sebenarnya. Jelas saja, setelah itu, kami tarik Sang Pengampu “keluar” dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak ada kaitannya dengan ushul fikih. Namun, tetap dalam koridor ilmu keislaman: dari persoalan umat, tasawuf hingga hari kiamat menjadi bahan diskusi yang menarik untuk dilibati. Yang ketiga ini, kadang kelas riuh dengan debat liat yang membuktikan saliknya kami.
Dan seperti biasanya, Sang Pengampu memberi perspektif dengan dasar teologi yang kuat. Mungkin saja, kelas ushul fikih itu sudah menerapkan “integrasi-interkoneksi” dalam kajian keislaman ala kelas itu sendiri. Sederhana, tapi fondasi kecil itu masih mengakar, memang harus diusahakan dan dibangun dengan tapak-tapak kecil.
Lain dari itu, fondasi ilmu ushul fikih ini benar-benar kami rasakan dampaknya. Seperti penyesalan, kesadaran itu datangnya belakangan. Sadar bahwa, ushul fikih ternyata lebih dinamis daripada fikih itu sendiri. Kaidah-kaidah yang diajarkan Sang Pengampu ternyata banyak dibicarakan di IAIN-UIN itu dan diskusi-diskusi liar mahasiswa di kafe.
Setelah mendengar lagi, istilah-istilah istinbath, al-urf’, istihsan, maslahah mursalah dan sebagainya itu pikiran kami akan melayang ke kelas-kelas ushul fikih itu. Ke jari telunjuk Sang Pengampu yang sedang menjelaskan mata pelajaran tersebut. Dengan sedikit mengingat-ingat lagi pengertian, konsep, dan tujuannya tak perlu khawatir untuk terlibat dalam diskusi dengan mahasiswa lain.
Tapi yang jelas, kaidah-kaidah ushul fikih yang banyak itu, hanya secuil yang terselamatkan dalam ingatan. Al muhaafadhotu ala qadiimis sholih, wal alhdzu bil jadiidil ashlah menjadi yang terkuat. Runner up-nya, darul mafasid muqaddamu ala jalbi masholih bahwa meninggalkan kerusakan lebih utama daripada mengambil kemaslahatan.
Itulah kaidah terakhir yang masih terselamatkan. Seperti Anda tahu, kaidah yang lain hilang-lupa dalam ingatan. Hilang dengan segala usaha untuk hilang dengan sendirinya. Hilang secepat mungkin. Tak terduga. Seperti perginya Sang Pengampu yang memasukannya dalam ingatan. Pergi terlalu cepat, hilang dengan berita yang datang tiba-tiba.
Kaidah terakhir itu, belum berakhir. Sebagai amal jariyah yang konsisten dengan dinamika studi keislaman dan dinamika umat yang kian menarik untuk didiskusikan seperti di kelas-kelas ushul fikih, dulu.
Al-Fatihah.[]
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe