Ahlan Al Ghauts

Penulis/Akademisi

Autokritik Ekofeminisme dan Realitas Kesetaraan: Antara Imajinasi Ibu Bumi dan Kapitalisme Patriarkal di Indonesia

Ekofeminisme lahir sebagai jawaban atas keterkaitan antara penindasan perempuan dan perusakan alam. Sejak istilah ini dicetuskan oleh Françoise d’Eaubonne pada 1974, gagasan ini menyoroti bahwa eksploitasi terhadap alam berjalan paralel dengan subordinasi perempuan dalam tatanan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pandangan dunia yang antroposentris dan maskulin dinilai melanggengkan pola pikir dualistik dan hierarkis: alam dianggap […]

Autokritik Ekofeminisme dan Realitas Kesetaraan: Antara Imajinasi Ibu Bumi dan Kapitalisme Patriarkal di Indonesia Read More »

Bersyukur: Kunci Jiwa Tangguh di Tengah Krisis dan Gelombang Ekstremisme

Kadang kita merasa dunia ini terlalu ribut untuk dijalani dengan tenang. Semua orang berlomba mencari pembenaran, berlomba merasa paling benar, paling menderita, paling berhak. Dalam hiruk-pikuk itu, bersyukur terdengar seperti kata usang yang hanya cocok untuk pengajian ibu-ibu atau ceramah menjelang berbuka puasa. Padahal, kalau kita mau jujur, bersyukur justru adalah bentuk keberanian paling modern,

Bersyukur: Kunci Jiwa Tangguh di Tengah Krisis dan Gelombang Ekstremisme Read More »

Ketika Mendidik Dianggap Melukai: Ironi Guru di Tengah Sensitivitas Zaman

Ada masa ketika rotan dianggap simbol kasih, bukan kekerasan. Ada masa ketika guru dipuja bukan karena sempurna, tapi karena berjasa. Namun kini, di tengah zaman yang katanya lebih “beradab”, guru harus berpikir dua kali sebelum menegur murid. Salah sedikit, laporan datang lebih cepat daripada ucapan “maaf”. Di era sensitivitas berlebih ini, mendidik kerap disalahpahami sebagai

Ketika Mendidik Dianggap Melukai: Ironi Guru di Tengah Sensitivitas Zaman Read More »

Jum’at Sunyi: Spiritualitas di Keramaian Turis Asing Trawangan

Saya masih ingat pertemuan singkat dengan Komunitas Masyarakat Adat di Gili Trawangan, yang dipimpin oleh Mamiq Ra’is. Sore itu, angin laut berhembus membawa aroma asin, dan suara musik dari sebuah beach bar di kejauhan terasa seperti sebuah ironi. Kami duduk di Sekretariat Lembaga Masyarakat Adat, membicarakan sesuatu yang jarang menjadi headline brosur pariwisata: keheningan. Ya,

Jum’at Sunyi: Spiritualitas di Keramaian Turis Asing Trawangan Read More »

Trawangan: Melihat Islam di Tengah Dunia Malam Gili

Saya selalu percaya bahwa setiap tempat menyimpan paradoksnya sendiri. Dan Gili Trawangan—pulau kecil yang sering dituduh sebagai surga dunia malam, pesta, dan turis mabuk—ternyata juga menyimpan paradoks yang membuat saya geleng kepala. Saat menjejakkan kaki di sini untuk menjalankan tugas survei Asuransi Terumbu Karang, program dari UNDP, saya tidak mengira perjalanan kerja akan berubah menjadi

Trawangan: Melihat Islam di Tengah Dunia Malam Gili Read More »

Dunia One Piece, kok, Kayak Negara Tetangga?

Ketika Eiichiro Oda menciptakan dunia One Piece, mungkin ia tidak pernah membayangkan karyanya akan terasa begitu dekat dengan realitas “negara sebelah.” Dunia bajak laut dengan Pemerintah Dunia yang penuh intrik politik, diskriminasi kelas, pejabat yang tamak, dan rakyat yang terpinggirkan—kok ya seperti cermin yang bikin kita geleng-geleng kepala. Katanya fiksi, tapi kenapa terasa nyata sekali?Dalam

Dunia One Piece, kok, Kayak Negara Tetangga? Read More »

Mahasiswa Al-Qur’an dan Tafsir: Jadi Apa?

Ada satu kalimat yang sering saya dengar dari luar sana, entah di warung kopi, ruang kuliah umum, atau bahkan bisik-bisik mahasiswa baru yang masih bingung dengan pilihannya sendiri: “Anak Tafsir itu jadi apa? Kerjanya paling jual teks.” Kalimat ini kadang bikin geli, kadang bikin sedih, tapi lebih sering bikin kita refleksi. Betulkah jurusan Ilmu Al-Qur’an

Mahasiswa Al-Qur’an dan Tafsir: Jadi Apa? Read More »

Fetisisme Religius Modern: Saat Tuhan Dijadikan Komoditas Spiritual

Beberapa waktu lalu, seperti biasa di Pondok Kebudayaan Darul Mudhafar—binaan Yai Paox Iben, panggilan akrab kami santri binaan beliau—di tempat sederhana yang lebih di tahu dengan nama RTM (Ruang Tumbuh Merdeka). Tempat ini sudah seperti rumah kedua bagi siapa pun yang berani berpikir beda: agamawan, aktivis, akademisi, politisi, sampai anak-anak muda (liar)—setidaknya begitu stereotip masyarakat

Fetisisme Religius Modern: Saat Tuhan Dijadikan Komoditas Spiritual Read More »

Sarangge: Simbol Kebersamaan Membunuh Sekat Kepentingan

Sarangge. Dalam bahasa Bima, kata ini bukan sekadar menyebut sebuah bangunan panggung kecil di sudut halaman rumah atau tengah kampung. Sarangge adalah jiwa dari sebuah ruang sosial yang hangat, terbuka, egaliter. Ia adalah tempat bertemu, tempat bercengkerama, tempat musyawarah, tempat mengguyur kegelisahan, tempat membangun harapan. Dalam bahasa Sasak, mungkin ia bersaudara dengan berugak—tempat duduk bersama

Sarangge: Simbol Kebersamaan Membunuh Sekat Kepentingan Read More »