Bencana alam tidak hanya menggoyahkan alam ruang aktivitas manusia. Lebih dari itu, rentetan bencana yang terjadi ikut merangsang ruang berfikir manusia, terutama pada hal menerjemahkan keilmuan dan intelektualitas untuk secara langsung berdampak pada penyelesaian persoalan kebencanaan di sekitar kita. Dari sudut pandang teologis, misalnya, bencana alam sebagai bagian dari krisis lingkungan mendapatkan tempat dalam diskursus ekoteologi. Suatu Disiplin keilmuan yang mencoba meramu isu-isu yang berkaitan dengan ecological sustainability melalui kacamata teologi. Agama ‘dilibatkan’ langsung untuk menawarkan obat atas penyakit-penyakit lingkungan, memberikan konsepsi ontologis, epistomologis, dan aksiologis (ethical) dalam kajian keberlangsungan ekologi.
Dalam konteks keilmuan, ekoteologi mula-mula lahir sebagai respon terhadap ‘demonisasi’ agama yang dianggap sebagai biang keladi dari krisis ekologi. Dalam “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”, Lynn White Jr membentangkan bagaimana Tradisi Judeo-Christian di Eropa menjadi pembenaran atas dominasi Manusia terhadap alam. Dominasi ini pada ujungnya melahirkan eksploitasi sumber daya alam yang egois, tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologi.
White mendorong manusia untuk meninggalkan ‘agama dan beralih kepada ‘panteisme’ serta tradisi agama Timur untuk membangun kosmologi yang memberikan wawasan spiritual. Ekoteologi dalam konteks ini hadir sebagai kritik atas apa yang dikemukakan Lynn White, bahwa agama sebenarnya memiliki potensi untuk memberikan landasan filosofis terhadap proyek-proyek keberlangsungan alam, Agama menjadi jembatan yang menghubungkan “kesadaran Ilahi” dan “kesadaran ekologis”.
Dalam konteks kebencanaan, ekoteologi diharapkan dapat menjadi part of solution, menjadikan agama sebagai ‘tools’ untuk membangun sistem-sistem mitigasi dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk dari krisis lingkungan yang semakin laten. Ekoteologi diharapkan mampu melakukan pencegahan, bukan sekedar mengobati, sebagai ‘problem solver’, jalan keluar untuk menyelesaikan masalah, bukan ‘escape plan’, jalan keluar untuk ‘lari’ dari masalah.
Masalah latennya, dewasa ini ekoteologi digiring untuk berbicara normatif-deskriptif, bukan secara langsung normatif-praktis. Berbicara ekoteologi hanya menggiring khalayak untuk kembali kepada religiusitas, bukan malah mengkritik religiusitas itu sendiri. Ekoteologi terjebak pada apa yang dikritiknya; reduksionis. Sebagaimana White yang mengabaikan beberapa konsep-konsep ecological sustainability yang dapat digali dari kitab suci agama-agama. Ekoteologi menyampingkan humanitas manusia dan cenderung menjebak diri dalam panteisme yang reduksionis; Mengedapankan alam dengan melupakan lahiriah-fitrah manusia.
Apa yang akan kita lakukan ketika semua binasa? Tentu seorang ilmuwan tidak dapat hadir layaknya polisi India yang selalu gagal mendapatkan momentum eksplorasi keilmuan, selalu datang terlambat ketika semua problem telah lewat. Ketika bencana meluluhlantahkan segala hal, memang yang dapat dilakukan hanya merenung dan menyesali apa yang telah terjadi. Tetapi, itu bukanlah kerja seorang intelektual, tetapi bukan itu pula yang kita harapkan dari ekoteologi, dia harus memenuhi nubuwat-nya sebagai advokat mendukung agama sebagai sesuatu yang ‘kontekstual’ dan ‘berdampak’.
Ekoteologi harus dibangun dengan konsep ‘looking forward’, mempersiapkan apa yang terjadi di masa depan, membangun konsep-konsep yang praktikal, tidak sekedar berlindung menjadikan agama sebagai tembok ratapan yang tidak menyelesaikan masalah. Konsep-konsep seperti stewardship (I’timaniyah) dan vicegerent (khalifah), diajukan para teolog muslim seperti Thaha ‘Abdurrahman dan Seyyed Hossein Nasr dalam frame ekoteologi harus dikembangkan secara praktikal untuk menjadikan agama tidak hanya sebagai media ‘lamentation’, untuk meratap merenung dan melamun.
Sebagai awal, Ekoteologi dapat digunakan untuk mendekonstruksi secara komprehensif pemahaman teologis dalam agama-agama. Teologi tidak lagi teosentris dan melangit, tetapi teologi haruslah dibawa membumi sebagai cara manusia menerjemahkan kesadaran ilahiah dalam kehidupannya. Apa yang telah dilakukan Hassan Hanafi melalui Tauhid Antroposentris dapat dijadikan acuan untuk mengupas mengulas ketauhidan secara lebih membumi.
Begitu pula apa yang kemudian memuncak dalam Laudato Si, Ensiklik yang disampaikan Paus Fransiskus pada tahun 2015 yang didedikasikan untuk isu-isu lingkungan dan sebagai seruan untuk merawat bumi sebagai rumah bersama. Paus Fransiskus menyerukan adopsi ekologi integral dan melakukan “konversi ekologis”, yakni bukan sekadar perubahan perilaku, tetapi perubahan cara hidup, budaya, dan sistem politik-ekonomi global. Kitab Suci menurutnya mengajak kita untuk melihat alam sebagai buku megah di mana Tuhan berbicara kepada kita dan memberi kita sekilas tentang keindahan dan kebaikan-Nya yang tiada batas.
“Melalui kebesaran dan keindahan makhluk, seseorang dapat mengetahui penciptanya melalui perumpamaan-perumpamaan” (Kebijaksanaan Salomo 13:5); dan, “kuasa dan kebangkitan-Nya yang kekal telah dimanifestasikan melalui karyanya sejak penciptaan dunia” (Roma 1:20). Paus Fransiskus meminta agar taman-taman biara selalu dilestarikan, agar bunga liar tetap tumbuh, dan mereka yang melihat pemandangan itu bisa mengarahkan pikiran mereka kepada Tuhan.
Alih-alih menjadi masalah yang harus dipecahkan, dunia adalah misteri yang penuh sukacita untuk difikirkan dengan suka cita dan pujian. “All of us can cooperate as instruments of God for the care of creation, each according to his or her own culture, experience, involvements and talents”.
Kita tidak boleh lagi mengajarkan bahwa alam (bumi) adalah ‘hukuman’ bagi Adam (manusia), bukan pula sekedar stasiun transit yang tak bernilai. Kita pula harus berhenti mendemonstrasikan makna khilafah sebagai pemimpin, yang mendorong tindak perilaku yang eksploitatif. Tidak ada lagi pembenaran agama atas perilaku korosif terhadap kelestarian. Tidak ada lagi keangkuhan agama untuk menyatakan diri ‘bisa’ menyelesaikan segala persoalan. alam (bumi) menemukan relevansinya sebagai ‘mazroatul akhiroh’, tempat menanam dan menyemai benih, bukan semata tempat untuk menikmati dan mengeksploitasi, sebagai manifestasi dari kuasa dan kebangkitan-Nya yang kekal (Roma 1:20) bukan semata objek yang disubordinasi.
Yang harus dilakukan adalah membangun religiusitas berbasis kesadaran lingkungan, bukan sebaliknya membangun kesadaran lingkungan berbasis religiusitas. Dan jembatan antara ‘Kesadaran Ilahiah’ dan ‘Kesadaran Ekologis’ hanya dapat dilakukan ketika konsep ini diterjemahkan dalam aksi yang aplikatif. Dalam ranah keilmuan, Tema-tema studi-studi agama di Perguruan Tinggi Keagamaan harus diarahkan untuk ‘membalikkan keadaan’ ini. Pengkajian kitab suci, hukum-hukum, etika dan moral agama, harus diarahkan untuk menyelesaikan problem ekologis, bukan sekadar tindakan afirmatif, basa-basi akademik yang nirmakna.
Dalam konteks keseharian, agama dan agamawan harus terlibat aktif dalam habituasi perilaku-perilaku stewardship (I’timaniyah) dan vicegerent (khalifah), menjadikan konservasi sebagai identitas etik dalam setiap agama. Termasuk di dalamnya menolak peluang-peluang untuk mengeksploitasi Sumber Daya Alam untuk kepentingan ekonomis-pragmatis kelompok agaa tertentu. Suatu hal yang berakar dari kerakusan dasariah manusia yang tak terbatas.
In the end, dari ikhtiar-ikhtiar keilmuan ini, Ekoteologi diharapkan mampu mendorong lahirnya Religious Ecological Movement. Sebuah gerakan keagamaan berbasis ekologi, yang tidak terjebak pada perenungan perenungan para orang-orang suci yang berjarak dengan keadaan. Kita, dalam Bahasa Quran, kita harus bergerak dari ide dan konsepsi (fas’au ilaa dzikrillah) menuju aksi (fantasyiru fil ardhi).[]
Ilustrasi: mamikos.com

Pembelajar Seumur Hidup. Mengabdi di UIN Mataram





