Ada satu kalimat yang kerap dikutip dari Nurcholish Madjid: “Islam, yes. Partai Islam, no.” Kalimat ini bukan sekadar slogan politik, melainkan pintu masuk untuk memahami bagaimana Cak Nur membayangkan Islam yang ramah, inklusif, dan kompatibel dengan modernitas. Dalam istilah yang ia perkenalkan, Islam itu kosmodern sebuah sintesis antara kosmopolitan dan modern.
Sayangnya, setelah dua dekade lebih sejak Cak Nur wafat, warisan intelektual ini seolah redup. Publik kita masih sering terjebak dalam perdebatan identitas, seakan Islam hanyalah bendera politik atau alat perebutan kekuasaan. Padahal, jika kita menengok kembali gagasan kosmodernitas Cak Nur, kita akan menemukan arah baru Islam yang berakar kuat pada tradisi, tetapi juga lentur menghadapi perubahan zaman.
Islam sejak awal hadir dengan semangat kosmopolitan. Nabi Muhammad membangun masyarakat Madinah yang plural, tempat Yahudi, Nasrani, dan Muslim hidup berdampingan. Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa perbedaan bangsa dan suku adalah untuk saling mengenal, bukan saling meniadakan.
Cak Nur membaca kosmopolitanisme Islam ini sebagai fondasi etis. Artinya, seorang Muslim yang sejati adalah ia yang terbuka pada perjumpaan dengan yang lain. Identitas agama bukan benteng eksklusif, melainkan jembatan untuk meneguhkan kemanusiaan bersama. Inilah kritik tajam Cak Nur pada kecenderungan eksklusivisme yang marak di Indonesia: kelompok yang merasa paling benar, paling suci, lalu mudah memberi label sesat kepada yang berbeda.
Di era globalisasi, kosmopolitanisme Islam adalah kebutuhan. Tanpa sikap terbuka, umat Islam akan tercecer dalam arus besar dunia yang terus terhubung. Cak Nur menyodorkan jalan: berdialog, bukan mengutuk; bersahabat, bukan bermusuhan.
Membebaskan, Bukan Mengasingkan
Kata “modern” sering membuat umat Islam curiga. Modernitas dianggap identik dengan sekularisme, hedonisme, atau bahkan ateisme. Namun, Cak Nur justru memandang modernitas sebagai peluang. Baginya, modernitas berarti keteraturan rasional, penghargaan pada ilmu, dan keterbukaan terhadap kritik. Bukankah Islam sejak awal mendorong umatnya untuk membaca, berpikir, dan menuntut ilmu?
Konsep kosmodern lahir dari kesadaran ini: Islam tak boleh menolak modernitas, tetapi juga tak boleh hanyut begitu saja dalam arusnya. Islam harus berdialog, mengisi, dan bahkan mengoreksi modernitas dengan nilai-nilai ilahiah. Misalnya, ketika modernitas membawa kapitalisme yang serakah, Islam bisa menawarkan etika keadilan sosial. Ketika modernitas melahirkan individualisme ekstrem, Islam bisa menyodorkan konsep ukhuwah dan solidaritas.
Dengan cara ini, Islam menjadi subjek aktif, bukan objek pasif modernitas. Inilah yang sering dilupakan. Banyak kelompok yang melihat modernitas hanya sebagai ancaman, sehingga sibuk membangun benteng puritanisme. Padahal, justru keterbukaan kritis itulah yang memungkinkan Islam tetap hidup di era apa pun.
Indonesia dan Tantangan Kosmodernitas
Jika kita menengok Indonesia hari ini, tampak jelas betapa relevannya gagasan kosmodern Cak Nur. Di satu sisi, radikalisme agama masih menjadi ancaman serius. Kelompok-kelompok yang menolak keberagaman, bahkan memaksakan tafsir tunggal atas Islam, kerap memicu gesekan horizontal. Di sisi lain, materialisme dan politik transaksional membuat agama tereduksi jadi komoditas.
Di sinilah kosmodernitas menawarkan koreksi. Kosmopolitanisme mengajarkan kita untuk menerima kemajemukan sebagai keniscayaan, bukan ancaman. Modernitas mengajarkan kita untuk membangun peradaban berbasis ilmu, teknologi, dan rasionalitas, bukan sekadar retorika identitas. Jika keduanya dipadukan, umat Islam Indonesia bisa tampil bukan sebagai beban, melainkan motor kemajuan bangsa.
Bayangkan jika elite politik kita menghayati kosmodernitas. Alih-alih mengeksploitasi agama untuk kepentingan elektoral, mereka akan menempatkan agama sebagai sumber etika publik: kejujuran, amanah, dan tanggung jawab. Bayangkan jika generasi muda Muslim membaca Cak Nur, lalu sadar bahwa menjadi religius sekaligus modern bukanlah kontradiksi. Mereka akan tumbuh sebagai Muslim yang percaya diri, terbuka, dan produktif.
Tentu, gagasan kosmodern Cak Nur tidak lepas dari kritik. Sebagian menilai konsep ini terlalu kompromistis, bahkan dianggap melunakkan identitas Islam. Ada pula yang menuduhnya sekularisasi terselubung. Namun, kritik ini sering lahir dari salah paham. Cak Nur tidak pernah mengajak umat Islam meninggalkan agama. Yang ia tawarkan adalah sekularisasi dalam arti desakralisasi hal-hal duniawi politik, kekuasaan, ideologi agar tidak diperlakukan seolah setara dengan wahyu.
Kegelisahan Cak Nur justru sangat relevan: bagaimana agar agama tidak terjebak menjadi alat politik praktis. Bagaimana agar umat Islam tidak terasing dari modernitas. Bagaimana agar perbedaan tidak melahirkan kekerasan. Semua pertanyaan itu, sayangnya, masih bergema hingga hari ini.
Menyapa Ulang Warisan Intelektual
Kini, setelah dua dekade wafatnya Cak Nur, kita perlu menyapa ulang gagasan-gagasannya. Bukan untuk mengkultuskan, melainkan untuk menjadikannya inspirasi. Kosmodernitas bisa menjadi kerangka berpikir umat Islam menghadapi abad ke-21 terbuka, rasional, tetapi tetap spiritual.
Di tengah derasnya arus populisme agama, warisan ini bisa jadi rem. Di tengah banjir informasi digital, kosmodernitas bisa jadi kompas. Di tengah ketidakpastian global, kosmodernitas bisa jadi jangkar moral.
Sejarah mencatat, umat Islam pernah menjadi motor peradaban dunia karena berani terbuka dan modern. Kini, kita menghadapi tantangan serupa: apakah berani keluar dari jebakan eksklusivisme dan inferioritas? Apakah berani menjadi kosmopolitan tanpa kehilangan iman, modern tanpa kehilangan ruh?
Warisan Cak Nur bukan utopia. Ia adalah tawaran realistis untuk menjembatani dua dunia: iman dan rasio, tradisi dan modernitas, lokal dan global. Dalam konteks Indonesia, jalan kosmodern bisa menjadi fondasi kehidupan beragama yang sehat.
Kita bisa mulai dari hal sederhana: membiasakan dialog, bukan hujatan; mengedepankan etika, bukan sekadar simbol; menghargai ilmu, bukan membenci kritik. Jika spirit ini mengakar, umat Islam Indonesia bisa tampil sebagai contoh bahwa agama bukan penghalang kemajuan, melainkan justru sumber inspirasi untuk dunia yang lebih adil dan manusiawi.
Seperti kata Cak Nur: Islam itu selalu segar, karena ia mengandung prinsip la tahzan jangan takut, jangan sedih. Dengan kosmodernitas, kita bisa menatap masa depan tanpa cemas, karena iman yang kokoh selalu kompatibel dengan zaman yang berubah.[]

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Islam Malang dan Alumni PP Darurrahman, Pangarangan, Sumenep, Alumni PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.





