Ketika Eiichiro Oda menciptakan dunia One Piece, mungkin ia tidak pernah membayangkan karyanya akan terasa begitu dekat dengan realitas “negara sebelah.” Dunia bajak laut dengan Pemerintah Dunia yang penuh intrik politik, diskriminasi kelas, pejabat yang tamak, dan rakyat yang terpinggirkan—kok ya seperti cermin yang bikin kita geleng-geleng kepala. Katanya fiksi, tapi kenapa terasa nyata sekali?
Dalam dunia One Piece, kita mengenal Pemerintah Dunia yang dibungkus jargon “keadilan.” Ada para Tenryuubito—bangsawan naga langit yang bisa memperlakukan rakyat jelata layaknya budak. Kalau mereka bosan, mereka bisa membeli orang. Kalau mereka tersinggung, mereka bisa menyuruh marine menembak siapa saja. Nah, coba bayangkan kalau ada di dunia nyata, di sebuah negeri yang katanya penuh demokrasi, tapi rakyatnya masih sering merasa jadi budak pajak dan aturan. Pajak naik, iuran baru lahir, sementara layanan publik? Ah, sudahlah, sering kali terasa Cuma janji di papan reklame.
Seorang sosiolog politik, Pierre Bourdieu, pernah bilang bahwa kekuasaan tidak hanya soal kekuatan militer, tapi juga tentang simbol dan legitimasi. Nah, dalam One Piece, legitimasi Pemerintah Dunia dipertahankan lewat “narasi.” Mereka menyembunyikan kebenaran sejarah dengan membungkam siapa saja yang berani mengungkapnya. Mirip dengan cara pejabat “tetangga” yang suka menyapu masalah di bawah karpet: data kemiskinan dimanipulasi, laporan korupsi ditutup rapat, dan ketika ada skandal meledak, yang dikorbankan justru ikan-ikan kecil. Kapten besarnya? Tetap melenggang dengan senyum di televisi.
Kalau kita lihat lagi, Marine dalam One Piece adalah wajah hukum. Mereka disebut-sebut menjunjung keadilan, tapi siapa yang tidak tahu kalau banyak dari mereka justru bekerja demi perintah politik. Ada Admiral yang teguh, ada yang licik, ada yang kompromi dengan penguasa. Bukankah ini seperti drama di dunia nyata? Hukum katanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Rakyat kecil salah parkir, langsung digembok motornya. Tapi ketika pejabat besar menyalahgunakan dana miliaran? Ah, biasanya masih diberi ruang konferensi pers, lengkap dengan senyum dan kata-kata manis: “Saya hanya khilaf.”
Dunia One Piece juga dipenuhi pulau-pulau yang nasibnya tergantung pada kebijakan pusat. Ada pulau yang makmur karena dekat dengan Pemerintah Dunia, ada juga yang sengsara karena jauh dari perhatian. Lucu ya, kok sama seperti “negara tetangga” yang ibarat kapal besar tapi bocor di banyak sisi. Infrastruktur megah dibangun di satu kota, sementara di pelosok, rakyat masih harus menyeberangi sungai dengan rakit seadanya untuk ke sekolah. Kalau ditanya, jawabannya klasik: “Dana pembangunan terbatas.” Aneh, ya? Kok kalau untuk pesta pejabat, dana bisa melimpah, tapi kalau untuk rakyat selalu seret?
Tenryuubito juga punya hak istimewa yang membuat mereka kebal hukum. Mereka bisa seenaknya, dan Marine wajib melindungi mereka meski mereka berbuat salah. Nah, di sini kita sering tertawa miris. Bukankah ada pejabat “tetangga” yang mirip sekali? Seakan-akan mereka punya mantel tak kasat mata yang membuat semua hukum tidak bisa menyentuhnya. Kalau rakyat biasa, masuk penjara itu soal menit. Kalau pejabat besar? Bisa ditunda, dinegosiasikan, bahkan diubah jadi “hukuman sosial.”
Menurut Antonio Gramsci, hegemoni tercipta bukan hanya karena kekuatan, tapi juga karena persetujuan. Rakyat diajak percaya bahwa pemerintah selalu benar, lewat propaganda dan jargon. Di One Piece, rakyat dipaksa percaya bajak laut itu ancaman, padahal tidak semua begitu. Luffy, misalnya, justru membebaskan banyak pulau dari tirani. Tapi tetap saja ia dicap kriminal. Sama seperti di dunia nyata, siapa pun yang mencoba bersuara demi rakyat sering kali dilabeli “pengacau.” Padahal mungkin dia hanya ingin mengingatkan bahwa kapal besar ini sedang bocor parah.
Mari kita lihat lagi soal kebijakan. Dalam One Piece, ada Reverie—pertemuan para raja dunia. Mereka berkumpul, berdiskusi, membuat keputusan untuk rakyat. Tapi apa hasilnya? Kebanyakan hanya memperkuat posisi elite, sementara rakyat di pulau-pulau terpencil jarang merasakan dampaknya. Apakah ini terasa asing? Coba bayangkan ketika para pemimpin dunia nyata duduk di meja bundar, berbicara dengan kata-kata indah tentang “pembangunan berkelanjutan” dan “ekonomi hijau.” Tapi begitu selesai, rakyat tetap harus menghadapi harga sembako yang melambung dan pekerjaan yang semakin sulit.
Di dunia nyata, kita sering dibuat percaya bahwa “semua demi rakyat.” Tapi rakyat yang mana? Kalau kita lihat nasib warga di Dressrosa, mereka diperdaya Doflamingo dengan ilusi kebahagiaan. Padahal di balik layar, mereka dijadikan boneka. Nah, bukankah sering kita juga merasa seperti itu? Dijanjikan kesejahteraan lewat program-program ajaib, tapi ujungnya rakyat jadi penonton setia drama politik yang tidak pernah selesai.
Yang paling menyakitkan adalah ketika keadilan terasa seperti komoditas. Dalam One Piece, siapa punya uang dan posisi, dia bisa membeli kebebasan. Di dunia nyata, siapa punya akses dan jaringan, dia bisa mengatur segalanya. Lalu kita bertanya: Apakah hukum masih ada untuk melindungi semua, atau hanya jadi dekorasi indah di gedung pengadilan?
Ada satu hal yang selalu membuat kita tertegun: dalam dunia One Piece, meski penuh tirani, masih ada tokoh seperti Luffy yang menolak tunduk pada sistem rusak itu. Ia tidak peduli dengan label “kriminal” yang ditempelkan padanya, selama ia bisa menolong rakyat. Ironis, ya? Justru bajak laut yang dianggap musuh negara, malah lebih manusiawi dibanding pemerintah resmi.
Jadi, ketika kita menonton One Piece, rasanya seperti menonton drama “negara tetangga” yang dikemas dengan baju fantasi. Korupsi? Ada. Ketidakadilan hukum? Ada. Pajak seenaknya? Ada. Pejabat semena-mena? Banyak. Bedanya, di dunia Oda kita masih bisa berharap ada Luffy yang akan memukul meja, merobohkan tirani, dan membawa angin kebebasan.
Pertanyaannya, di dunia nyata, siapa yang mau jadi Luffy? Atau kita semua sudah terlalu nyaman menjadi penonton, sambil sesekali tertawa pahit: “Ah, fiksi kok mirip banget sama kenyataan.”
Mari kita tutup dengan dua kalimat sederhana:
“Kalau kapalmu terus bocor, jangan hanya berdoa lautnya tenang—ganti kaptennya.”
“Jangan berharap keadilan dari meja makan yang hanya dihidangkan untuk para raja; belajarlah mencuri resepnya dan masak untuk dirimu sendiri.”
Mungkin dunia One Piece hanyalah fiksi, tapi jangan-jangan fiksi itu lebih jujur daripada kenyataan yang kita jalani.[]

Penulis/Akademisi





