Trawangan: Melihat Islam di Tengah Dunia Malam Gili

Saya selalu percaya bahwa setiap tempat menyimpan paradoksnya sendiri. Dan Gili Trawangan—pulau kecil yang sering dituduh sebagai surga dunia malam, pesta, dan turis mabuk—ternyata juga menyimpan paradoks yang membuat saya geleng kepala. Saat menjejakkan kaki di sini untuk menjalankan tugas survei Asuransi Terumbu Karang, program dari UNDP, saya tidak mengira perjalanan kerja akan berubah menjadi renungan religius penuh satire tentang bagaimana kita menilai sebuah tempat hanya dari kulit luarnya.

Siang itu saya bertemu dengan sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai Lembaga Masyarakat Adat Gili Trawangan. Dipimpin oleh seorang tokoh yang karismatik, Mamiq Ra’is, mereka adalah kumpulan masyarakat lokal dari berbagai latar belakang pekerjaan. Ada nelayan, pemandu wisata, pelaku usaha kecil, bahkan pekerja jasa yang sehari-hari bersentuhan langsung dengan turis internasional. Mereka menyambut saya dengan hangat, seakan ingin menegaskan bahwa di balik citra liar Trawangan, ada denyut kehidupan masyarakat yang masih berpegang pada tradisi dan nilai.

Kebetulan hari itu Jumat. Dengan pakaian sederhana yang saya kenakan sejak pagi, saya memutuskan ikut shalat Jumat di salah satu masjid yang berada tidak jauh dari lokasi pertemuan. Dan di sinilah saya mulai benar-benar dikejutkan. Jamaah shalat begitu membludak hingga saya hampir tidak kebagian tempat. Pulau kecil yang selalu diiklankan sebagai surga hiburan malam itu, ternyata menyimpan lautan manusia yang berbondong-bondong memenuhi rumah ibadah. Saya bertanya dalam hati, “Apakah ini Gili Trawangan yang sama dengan yang dipenuhi cerita tentang pesta, bar, dan alkohol sepanjang malam?”

Seusai shalat, saya sempat duduk termenung. Kontradiksi ini terasa begitu tajam. Sambil menunggu waktu Ashar, saya melanjutkan survei di lapangan, mencatat kondisi terumbu karang, berdiskusi dengan warga tentang pentingnya asuransi ekosistem laut. Namun, dalam benak saya terus bergema pemandangan shalat Jumat tadi. Hingga tiba waktu Ashar, saya kembali menyaksikan sesuatu yang membuat saya makin skeptis terhadap narasi hitam-putih tentang Trawangan. Jamaah shalat berjamaah bukan hanya satu atau dua shaf seadanya. Lebih dari enam hingga tujuh shaf, penuh, rapi, seolah semua orang di pulau itu tahu ke mana kaki harus melangkah ketika azan berkumandang.

Mungkin sebagian orang luar akan mencibir, “Ah, itu hanya formalitas. Malamnya mereka kembali ke bar, menjual minuman, atau malah ikut berpesta.” Skeptisisme macam ini memang mudah sekali muncul. Tapi bukankah manusia selalu hidup dalam ambiguitas? Apakah salah jika seorang nelayan yang kadang bekerja mengantar turis ke tempat pesta, tetap pulang untuk sujud di masjid? Bukankah iman dan pekerjaan sering berjalan di jalur yang tidak selalu lurus, namun tetap bisa bertemu di satu titik: keikhlasan?

Menjelang Maghrib, saya kembali ke masjid. Sekali lagi, saya harus bersaing dengan puluhan jamaah lain untuk merebut shaf depan yang kosong. Dan setelah Isya, fenomena yang sama kembali terjadi. Lebih dari enam saf jamaah memenuhi ruang yang sederhana itu. Saya sampai bertanya-tanya, di mana sebenarnya dunia malam yang konon mendominasi Trawangan itu? Apakah ia hanya hidup di tepian pantai, di antara musik EDM dan lampu-lampu neon, sementara di jantung masyarakatnya, ritme azan tetap menjadi panggilan utama?

Mungkin kita selama ini terlalu sibuk mendengar gosip tentang pesta pora di Trawangan, sehingga lupa bahwa azan lima waktu tidak pernah libur, bahkan di pulau sekecil ini. Mungkin kita lebih percaya pada brosur agen perjalanan dan cerita turis mabuk, ketimbang mengintip ke dalam kampung warga yang dengan setia menjaga tradisi. Kita begitu yakin bahwa Gili Trawangan adalah pulau “dunia malam”, padahal siang dan sore hari, ia adalah dunia sujud yang damai.

Saya teringat percakapan singkat dengan Mamiq Ra’is. Ia berkata, “Kami ini hidup berdampingan dengan dunia yang keras. Ada turis, ada hiburan, tapi kami tetap punya masjid dan adat. Itu rumah kami.” Lebih lanjut dikuatkan “Wisata Gili lahir dari rahim masyarakat Lokal dengan prinsip adat dan moral”. Kalimat sederhana itu seperti menampar stereotip yang selama ini menguasai kepala saya. Bahwa ternyata masyarakat Trawangan punya cara sendiri untuk bertahan: tidak dengan menolak modernitas atau pariwisata, tetapi dengan tetap setia pada ritme ibadah yang diwariskan turun-temurun.

Di sinilah letak ironi yang menggelitik: sementara sebagian orang luar menuduh masyarakat Trawangan hanyut dalam arus dunia malam, justru saya menyaksikan mereka menjaga peribadatan dengan penuh kesungguhan. Satire terbesar mungkin ada pada kita, yang sok merasa lebih suci hanya karena tidak hidup di tengah pesta, padahal belum tentu shalat berjamaah kita serajin warga pulau ini.

Saya pulang dari Trawangan dengan dua catatan penting. Pertama, jangan pernah menilai suatu masyarakat hanya dari satu sisi yang paling sering dijual media atau gosip turis. Kedua, religiusitas tidak selalu lahir di tempat yang “bersih” dari hiburan duniawi. Kadang, justru di tengah hiruk pikuk pesta dan musik malam, ada jiwa-jiwa yang dengan tekun menjaga azan dan sujudnya.

Mungkin beginilah cara Islam bertahan di Trawangan: bukan dengan menutup mata dari dunia malam, melainkan dengan tetap membuka pintu masjid selebar-lebarnya. Dan saya, yang awalnya datang hanya untuk survei terumbu karang, pulang dengan renungan bahwa iman manusia memang seperti lautan—luas, penuh gelombang, tetapi selalu kembali pada pasang surut yang sama.

Jadi, lain kali jika ada yang berkata bahwa Trawangan hanyalah pulau pesta, saya mungkin akan menjawab dengan satire: “Ya, memang benar. Tapi coba datang ke masjid waktu Jumat, Ashar, Maghrib, atau Isya. Siap-siap saja tidak kebagian shaf.”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *