Dalam Loka: Adat dan Syariat dalam Kehidupan

Setiap peradaban besar selalu meninggalkan jejak berupa peninggalan sejarah. Jejak itu bukan hanya sebentuk fisik bangunan, melainkan juga menyimpan nilai, filosofi, dan pesan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di Pulau Sumbawa, salah satu peninggalan bersejarah yang menjadi saksi perjalanan peradaban dan kebesaran kerajaan adalah Dalam Loka.

Dibangun pada tahun 1885 oleh Sultan Muhammad Jalalludin III (1883–1931), Dalam Loka bukan sekadar istana tempat tinggal raja, melainkan juga representasi dari hubungan antara adat, syariat, dan kehidupan masyarakat Sumbawa.

Istilah Dalam Loka memiliki makna mendalam. “Dalam” berarti istana atau rumah-rumah di dalam kompleks istana, sedangkan “Loka” berarti dunia atau tempat. Dengan demikian, Dalam Loka dapat dimaknai sebagai istana tempat tinggal raja sekaligus pusat kehidupan kerajaan.

Lebih dari sekadar arsitektur megah berbahan kayu, Dalam Loka merupakan warisan budaya yang menyimpan kearifan lokal serta mengajarkan filosofi yang masih relevan hingga saat ini, yakni: “Adat berenti ko syara, syara berenti ko kitabullah.” Filosofi ini menegaskan bahwa segala aturan adat dan nilai kehidupan masyarakat Sumbawa harus bersandar pada syariat Islam.

Sebagai pusat kerajaan, Dalam Loka berperan penting dalam menunjukkan identitas kebudayaan masyarakat Sumbawa. Bangunan yang seluruhnya dibuat dari kayu pilihan itu memperlihatkan keterampilan luar biasa para tukang tradisional yang mampu menyusun material alam menjadi bangunan besar dan megah.

Selain sebagai kediaman Sultan dan keluarganya, istana ini juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan, tempat berlangsungnya musyawarah adat, dan arena pengambilan keputusan penting bagi kerajaan.

Makna Dalam Loka bukan hanya terletak pada struktur fisiknya, tetapi juga pada posisinya sebagai simbol kedaulatan dan kekuasaan Sultan Muhammad Jalaludin III. Melalui bangunan ini, rakyat Sumbawa melihat wibawa kerajaan sekaligus merasakan perlindungan dari pemimpinnya. Arsitektur kayu yang kokoh, dengan tata ruang yang memperhatikan fungsi sosial maupun spiritual, mencerminkan bahwa dalam kehidupan masyarakat tradisional, kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari keagamaan.

Bangunan ini juga menunjukkan keterpaduan antara adat lokal dengan nilai-nilai Islam. Tata ruang yang luas, adanya balai pertemuan, serta ornamen-ornamen yang sederhana tetapi sarat makna, menegaskan bahwa istana bukanlah sekadar tempat tinggal raja, melainkan pusat peradaban di mana agama, adat, dan budaya bertemu.

Adat dan Syariat dalam Kehidupan

Filosofi “Adat berenti ko syara, syara berenti ko kitabullah” menjadi inti dari keberadaan Dalam Loka. Ungkapan ini menegaskan bahwa adat istiadat masyarakat Sumbawa tidak berdiri sendiri. Adat harus tunduk pada syariat Islam, sementara syariat Islam bersumber dari kitabullah (Al-Qur’an). Dengan kata lain, adat dan agama berjalan seiring, saling menguatkan, dan membentuk jati diri masyarakat.

Baca Juga  Pemikiran TGH. Munajib Khalid tentang Literasi dan Pendidikan Pondok Pesantren

Dalam konteks sosial budaya, filosofi ini memberikan dasar yang kokoh bagi kehidupan masyarakat Sumbawa. Nilai-nilai adat seperti gotong royong, musyawarah, penghormatan terhadap orang tua, serta tata krama dalam berinteraksi, semuanya diselaraskan dengan syariat Islam. Masyarakat tidak hanya berpegang pada tradisi, tetapi memastikan bahwa tradisi itu sejalan dengan ajaran agama.

Filosofi ini juga memperlihatkan kebijaksanaan para Sultan Sumbawa dalam mengelola kehidupan masyarakatnya. Mereka tidak sekadar menjadi penguasa politik, melainkan juga pemimpin spiritual yang menuntun rakyat untuk hidup sesuai ajaran agama. Dengan begitu, hukum adat bukanlah sesuatu yang kaku, tetapi dinamis dan terbuka pada nilai-nilai universal yang diajarkan oleh Islam.

Kini, Dalam Loka telah beralih fungsi dari istana kerajaan menjadi cagar budaya yang dilestarikan keberadaannya. Sebagai cagar budaya, bangunan ini bukan hanya saksi bisu sejarah, melainkan juga ruang edukasi bagi generasi masa kini dan mendatang.

Pelestarian Dalam Loka memiliki makna strategis. Pertama, ia menjaga identitas budaya masyarakat Sumbawa, sehingga generasi muda dapat tetap mengenal akar peradaban mereka. Kedua, Dalam Loka menjadi daya tarik wisata sejarah, yang tidak hanya membawa manfaat ekonomi tetapi juga memperkenalkan kearifan lokal Sumbawa kepada dunia luar.

Ketiga, keberadaan Dalam Loka sebagai cagar budaya merupakan pengingat bahwa kebesaran suatu bangsa bukan hanya diukur dari kemajuan material, tetapi juga dari sejauh mana bangsa tersebut mampu merawat dan menghormati warisan leluhur.

Namun demikian, menjaga keberlanjutan Dalam Loka tentu bukan perkara mudah. Karena terbuat dari kayu, bangunan ini sangat rentan terhadap kerusakan akibat usia, cuaca, maupun faktor biologis seperti rayap. Oleh sebab itu, pelestarian harus dilakukan dengan penuh keseriusan melalui perawatan berkala, restorasi yang cermat, dan keterlibatan masyarakat dalam menjaga kelestarian.

 Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, filosofi yang terkandung dalam Dalam Loka tetap relevan untuk dijadikan pedoman. Masyarakat saat ini kerap dihadapkan pada perubahan nilai dan gaya hidup yang bisa mengikis jati diri.

Baca Juga  Kecerdasan Buatan: Kehidupan Paradoks Masa Depan

Dalam situasi seperti itu, pesan “Adat berenti ko syara, syara berenti ko kitabullah” menjadi pengingat bahwa perubahan boleh terjadi, tetapi tidak boleh sampai mengabaikan prinsip dasar kehidupan yang bersandar pada agama.

Filosofi ini juga dapat menjadi dasar dalam membangun tata kelola pemerintahan modern. Pemimpin tidak hanya dituntut untuk menguasai aspek politik dan ekonomi, tetapi juga harus memiliki integritas moral dan spiritual. Seperti halnya Sultan Muhammad Jalalludin III yang membangun Dalam Loka dengan filosofi keagamaan, pemimpin masa kini sebaiknya menempatkan nilai-nilai agama dan etika sebagai dasar dalam membuat kebijakan.

Selain itu, nilai ketaatan terhadap syariat dan penghormatan terhadap adat juga bisa menjadi fondasi dalam memperkuat solidaritas sosial. Di tengah masyarakat multikultural, prinsip ini menekankan pentingnya menjaga tradisi, tetapi tetap terbuka pada nilai-nilai universal yang membawa kebaikan bagi semua.

Penutup

Dalam Loka bukan sekadar peninggalan arsitektur kayu dari masa lalu. Ia adalah simbol kekuasaan, pusat peradaban, sekaligus cermin filosofi kehidupan masyarakat Sumbawa. Dibangun oleh Sultan Muhammad Jalalludin III pada tahun 1885, bangunan ini mewariskan pesan bahwa adat, syariat, dan kitabullah harus berjalan selaras dalam kehidupan manusia.

Kini, meski fungsinya telah berubah menjadi cagar budaya, nilai yang terkandung dalam Dalam Loka tetap hidup dan relevan. Ia mengajarkan kita bahwa peradaban yang kokoh selalu berdiri di atas fondasi spiritual dan budaya yang kuat. Di tengah tantangan zaman, filosofi “Adat berenti ko syara, syara berenti ko kitabullah” menjadi kompas moral yang tak lekang oleh waktu.

Melestarikan Dalam Loka berarti bukan hanya menjaga sebuah bangunan bersejarah, melainkan juga merawat warisan peradaban dan meneguhkan identitas kultural masyarakat Sumbawa. Dari istana kayu yang kokoh itu, kita diajak untuk memahami bahwa kearifan lokal selalu memiliki tempat penting dalam membentuk masa depan yang beradab dan bermartabat.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *