APAKAH kehidupan santri melulu tentang ngaji, klassikal dan sorogan? Tentang keterbatasan mengakses dunia luar? Tentang waktu yang terus mengejar di antara jadwal yang super padat? Tentang ketundukan tanpa syarat pada aturan pondok? Tentang ta’dhim kepada Ibu Nyai dan Pak Yai? Tentang kebersihan dan ro’an yang menghabiskan waktu libur Jum’at?
Percayalah, santri juga manusia yang memerlukan hiburan dan mereka punya cara tersendiri untuk itu. Salah satunya adalah dengan narsisme unik ala santri.
Kalau gaya narsis dalam bentuk selfi baru dikenal oleh dunia luar pesantren dewasa ini setelah berkembangnya media sosial, lain halnya dengan para santriwati.
Mereka sudah mengenal itu dulu sejak zaman kamera kodak dengan film roll yang harus diafdruk menunggu satu minggu hasilnya. Ini yang seru.
Satu roll film itu dulu bisa dipakai untuk foto 36 kali. Kalau camera-girl-nya canggih ya bisa mendapatkan 36 foto yang bagus-bagus, tanpa zonk.
Untuk membeli film roll ini biasanya para santriwati urunan. Bertiga atau berlima. Masing-masing berkelompok yang kadang tidak disengaja, terbentuk tanpa kepentingan tertentu kecuali disatukan oleh keinginan menghibur diri. Anggota kelompok ini bisa satu atau lintas kamar dan ribath (kompleks).
Membeli film roll ini juga perlu menempuh jarak. Santriwati Tambak Beras, misalnya, harus berangkat ke pasar Jombang, tepatnya ke toko kamera sekaligus studio foto satu-satunya di pasar itu. Kadang juga menitip sama Cak Taufiq, keamanan Pondok Putri al Lathifiyyah untuk membelikan.
Untuk shoot, waktunya pun harus dipilih yang representatif. Biasanya dari jam 1 sampai setengah tiga malam. Mengapa? Saat itu para santri lainnya sedang istirahat selepas kegiatan ngaji kitab ba’dha Isya’ dan sebelum bangun kembali untuk qiyam al-lail.
Mengapa perlu waktu yang sepi? Agar pengambilan foto tidak terganggu dengan lalu lalang para santri yang berjubel sehingga tidak mengganggu stabilitas dan lalu lintas pesantren. Satu roll itu biasanya dihabiskan satu malam dengan cara bergantian menjadi foto model dan camera girl.
Di akhir-akhir biasanya ada foto bersama kelompok narsis tersebut. Terkadang beberapa klik terakhir disimpan untuk foto berkelompok yang lebih besar keesokan harinya. Biasanya jika kelompok tersebut teman satu kamar.
Tidak berhenti di situ perjuangannya. Memilih wardrobe dan properti juga penuh lika-liku. Biasanya didiskusikan dulu, foto-foto yang di ambil bertema apa, bergaya apa? Sehingga kedua kelengkapan tersebut bisa disiasati dan saling tukar antaranggota kelompok atau pinjam ke teman-teman lain, misalnya topi, baju, payung, sepatu.
‘Pengarah gaya’ pun bergantian. Terkadang kami harus melihat gaya foto model dari majalah bekas untuk ditiru. Perkara persis atau tidak itu bukan masalah. Yang penting aktivitas narsis sebagai katarsis, pemecah kebuntuan (kejumudan) berpikir, pelarian dari padatnya jadwal tanpa sedikit pun kesempatan mengakses televisi, terlaksanakan.
Biasanya kegiatan ini dilakukan setelah selesai ujian sekolah maupun pesantren sekaligus sebagai sarana refreshing.
Setelah roll film habis terklik, semua properti dan wardrobe dirapikan dan dijadwalkan untuk dicuci dan dikembalikan (jika hasil pinjaman) maka tiba saatnya memikirkan bagaimana mengafdruk dan urunan lagi untuk biaya perjalanan dan cuci foto. Kalau membeli roll film bisa diwakilkan, maka mengafdruk harus dilakukan sendiri karena tidak sabar melihat hasilnya.
Berangkatlah kelompok ini pada hari Selasa pagi (hari bolehnya para santriwati keluar dari pondok) dengan meminta tolong abang becak di pangkalan depan pondok mengantarkan. Jika bertiga maka cukup satu becak, dengan berdesak-desakan. Tukang becaknya tidak akan merasa berat karena para santriwati biasanya pada langsing abis. Jika berlima tentu saja memerlukan dua becak.
Di studio foto, hal pertama yang dilakukan adalah meminta roll film dikeluarkan dulu dan disimpan di dalam kertas plastiknya serta diurut. Mulailah anggota kelompok ini menilik-nilik, mengeker, menebak foto yang masih berbentuk klise itu tentang siapa yg ada di foto dan berapa banyak foto yang layak dicuci.
Ini perlu dan sangat penting karena menentukan berapa uang urunan. Ketahuilah bahwa biaya ini tidak masuk dalam uang syahriyyah (uang bulanan) dari orang tua. Jadi harus dihitung dengan bijak dan seksama.
Setelah menghitung, dan fix klise diserahkan kembali ke tukang afdruk. Menunggu hasil foto ini adalah aktivitas selanjutnya yang dilakukan dengan tidak sabar serta penuh penasaran. Biasanya berlangsung dua jam-an. Anggota kelompok ini terkadang harus jalan-jalan keliling atau sekedar ngebakso atau ngewarung untuk menunggu.
Pada saat menerima hasil foto adalah adegan paling seru. Para santriwati tertawa puas melihat hasil, terkadang merengut juga jika tidak sesuai harapan karena tidak bisa dihapus begitu saja ala foto digital kekinian. Uang sudah terkuras dari kantong dan foto tidak sesuai harapan, tentu sangat mengecewakan.
Lalu foto-foto itu untuk apa? Kan belum ada media sosial sebagai sarana narsistik haqiqi?
Jangan salah. Foto-foto ini banyak sekali manfaatnya. Pertama untuk feeling good about oneself alias menghibur diri sendiri. Untuk fungsi ini, foto-foto disimpan di album sederhana atau bingkai kecil di lemari atau ditempel di lemari bagian dalam.
Sesekali dilihat-lihat dan mengagumi diri sendiri karena menemukan penampilan yang berbeda dari seorang santriwati, tidak seperti kesehariannya yang selalu pakai meksi, rok sempit bagian bawah atau sarungan dan kerudungan. Dengan ini mereka menemukan dirinya juga bisa bergaya seperti sosok di majalah-majalah itu.
Kedua, saling tukar dengan teman-teman untuk kenangan. Biasanya ini diberikan begitu saja atau ditempel di buku diari teman yang berisi identitas dan pesan dan kesan. Semacam friendster tahun 2000an. Foto-foto tersebutlah yang sampai saat ini meramu dan menjamu kenangan di antara para santriwati.
Ketiga, husssh (ini rahasia) terkadang foto ini dipakai untuk tukar-tukaran juga dengan para santri (wan) dengan menggunakan media bangku. Untuk diketahui saja, ruang kelas sekolah biasanya dipakai pagi oleh santriwan dan siang oleh santriwati tanpa kesempatan bertemu. Biasanya untuk menjalin komunikasi, kadang-kadang buku atau kitab ketinggalan di laci bangku menjadi modus.
Mulailah ada komunikasi untuk bertanya barang-barang yang tertinggal. Komunikasi berlangsung dan puncaknya adalah menukar foto. Foto yang dipilih pun harus yang terbaik dan terindah. Agar komunikasi berjalan terus.
Jika tidak, maka komunikasi akan terhenti karena ketertarikan tidak berlangsung dan foto ternyata tidak seindah imaginasi. Sialnya lagi saat itu belum ada kamera 360 yang menjamin kecantikan dan ketampanan hanya dalam satu kali klik.
Seru, bukan? Itulah narsisme ala santri yang kini disadari sebagai romantisme sejarah yang tak lekang dan penuh makna.
Hidup santri(wati)!
Selamat Hari Santri![]
Ilustrasi: picuki.com

Direktur La Rimpu (Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan), Peneliti Perempuan dan Perdamaian, dosen UIN Mataram.