Tirakat dengan Al-Qur’an: Pengalaman Seorang Santri

SEBAGAIMANA kita ketahui, bahwa membaca atau menghafal Al-Qur’an mengandung banyak nilai. Salah satunya tirakat. Orang-orang kebanyakan  mendefinisikan tirakat sebagai amaliyahnya para kiai, wali, orang mukminin untuk meraih sesuatu yang sangat maksimal.

Hasil tirakat biasanya ditujukan untuk kesuksesan meraih cita-cita individu. Tetapi kemudian bisa juga diturunkan kepada anak keturunan, agar kelak mereka bisa menjadi orang yang sukses, alim, dan saleh.

Baca Juga: Dari Tuhan dan Kembali ke Tuhan

Semua kesuksesan memerlukan kerja keras. Untuk kalangan khos (orang-orang tertentu yang maqam-nya tinggi) tirakat-tirakat tertentu adalah bentuk upaya keras mereka. Tirakat itu ada banyak bentuknya. Contohnya, puasa, menahan diri untuk tidak emosi, menahan diri untuk tidak memakan sesuatu yang bernyawa, hanya makan nasi putih atau minum air putih, dan banyak lagi.

Tirakat memang ada banyak, tetapi membaca Al-Qur’an apalagi sering sering menghatamkannya, adalah tirakat yang sangat tinggi kualitasnya dan berharga bagi kalangan kaum muslimin. Kenapa? Karena dengan sering-sering membaca dan memelihara Al-Qur’an, sesering itulah Allah akan menjaga pelakunya.

Kata-kata Kiai Arwani Kudus patut kita ingat, ”Al-Qur’an keramut, awak kerumat.’’ Yang berarti apabila Al-Qur’an senantiasa dirawat, tubuhmu pun akan terjaga. Yang dimaksud terjaga di sini ada banyak: terjaga pikirannya, rezekinya, rumah tangganya, dan sebagainya.

Dari pernyataan tadi, kalau kita ingin dijaga oleh Al-Qur’an, kita harus menjaganya juga. Entah dengan cara sering-sering membacanya, atau mengkhatamkannya dan banyak lagi. Bahkan, Al-Qur’an, sebagaimana hadis Nabi, dapat memberi syafaat bagi ahlinya di hari kiamat.

Kehadiran Al-Qur’an bagi umat mukmin bukan hanya sekedar dihafal, tetapi juga dijaga. Dalam hal ini, KH. Mu’tashim Billah juga menegaskan bahwa Al-Qur’an itu bukan hanya tentang menghafalnya sampai akhir ayat. Tetapi juga harus dijaga hingga akhir hayat.

Baca Juga  Konsep Ekofeminisme dalam Mantra "Inaku Dana, Amaku Langi" (3)

Baca Juga: Ihwal Relasi Agama dan Sains

Oleh karena itu, Al-Qur’an harus dijaga selama kita bisa. Dan tidak mungkin kita bisa meninggalkan Al-Qur’an sementara Allah telah memberi kita waktu yang banyak untuk mengulanginya.

Jadi, ungkapkanlah beribu-ribu alasan kenapa ingin menghafal Al-Qur’an. Selain dikenal dengan kitab suci yang mulia, Al-Qur’an juga sangat mudah dihafal. Karena memang, Al-Qur’an tidak mengutamakan kepintaran, akan tetapi memandang keistiqomahan.

Al-Qur’an memandang seberapa sering kita berinteraksi dengan Al-Qur’an, berapa hari kita sudah membacanya ataupun berapa hari kita belum membacanya. Al-Qur’an pun bisa masuk kepada siapapun, asalkan harus tetap di hati.

Orang yang cerdas, tuna netra, orang yang daya ingatnya sangat minim pun bisa menghafal Al-Qur’an. Jadi, kekurangan fisik atau waktu tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur atau alasan.

Jika banyak yang bisa menghafal Al-Qur’an, kenapa kita tidak bisa. Yang harus ada pada kita adalah niat yang kuat, dan tirakat itu.

Ada beberapa pesan penting yang harus dikutip untuk para penghafal Al-Qur’an, anggaplah ini sebagai jalan tirakat. Pesan pesan ini berasal dari perkataan ulama Qur’ani yang saya ringkas menjadi beberapa butir sebagai berikut:

Satu, bagi setiap orang yang menghafal, hafal dulu sedikit demi sedikit, yang penting istiqomah, karena Al-Qur’an tidak dipaksakan langsung banyak. 

Dua, kalau misalnya sudah mengkhatamkan sampai tiga puluh juz, jangan terlalu pusing dengan beberapa juz yang dilancarkan. Seringlah membaca Al-Qur’an sampai khatam. Kalau mau khatam tiga hari, berarti 10 juz sehari. Kalau mau khatam dengan jangka waktu lima hari, bacalah 5 juz sehari. Jangan sampai kita mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu jangka lama seperti 2 bulan, 3 bulan.

Tiga, jangan pernah marah apabila kita menyetorkan hafalan (muraja’ah) kemudian banyak yang salah. Karena di situlah Allah akan mengetes kita dalam berjuang dan cinta terhadap Al-Qur’an.

Empat, hindari maksiat seperti melihat aurat ataupun ghibah dan lain-lain. Karena Al-Qur’an adalah cahaya. Sedangkan cahaya tidak mau memasuki hati orang yang terlalu banyak bermaksiat.

Lima, salah satu jalan untuk menguatkan hafalan adalah berkhidmat kepada gurumu yang senantiasa mengajarkanmu. Karena dengan berkhidmat akan menyebabkan barokah. Dengan barokah, Al-Qur’an selalu menyatu ke dalam hati.

Enam, bagi para penghafal Al-Qur’an, yang wajib hanya mengulang-ulang saja dari juz satu sampai seterusnya. Bagaimana dengan lancarnya? Lancarnya tak wajib. Kalau masih ada yang lupa tetapi sudah diulang-ulang, itu tidak dikenai dosa.

Semoga kita semua termasuk orang yang suka mendengarkan dan menyebarkan kebaikan. Agar turun dari Tuhan kebajikan berupa rasa kasihan atau kasih sayang. Semoga saja umat muslim semangat membaca dan menghafal Al-Qur’an. Amin.[]

Baca Juga  Konsep Ekofeminisme dalam Mantra "Inaku Dana, Amaku Langi" (2)

Ilustrasi: TimesIndonesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *