Perempuan dalam Perspektif Sejarah (1)

Faktanya, respons atas fenomena penindasan perempuan dalam wujud terbentuknya pergerakan perempuan terus mengalir. Dan, akhirnya terkristal menjadi suatu gerakan lintas negara yang pada dasarnya bertujuan mewujudkan masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan damai. Aktualisasi dari keinginan tersebut kemudian diakomodir oleh organisasi internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dalam kiprahnya PBB telah menyelenggarakan beberapa konferensi internasional yang membahas mengenai isu perempuan. Konferensi Internasional tentang perempuan pertama kali diselenggarakan pada 1975 dengan dicanangkannya Tahun Perempuan Internasional di Mexico City.

Kemudian diikuti dengan konferensi perempuan kedua di Kopenhagen (1980), lalu Konferensi Internasional Nairobi tahun 1985 dan terakhir di Beijing 1995. Seperti diketahui, bahwa negara-negara sekutu yang memenangkan Perang Dunia Kedua mendirikan PBB untuk menciptakan perdamaian dan mencegah terjadinya kembali perang dunia.

Dalam hal ini, mereka juga berkepentingan atas pencapaian kemajuan ekonomi dan sosial, serta perlindungan Hak Asasi Manusia tanpa diskriminasi ras, jenis kelamin, kebanggaan, dan agama. Hampir pada saat yang bersamaan, isu perempuan juga muncul pada agenda PBB.

Para perempuan sejak awal aktif terlibat pada pembentukan PBB mempunyai tujuan serupa dengan para pendiri PBB lainnya ialah mencegah terjadinya perang serta memperjuangkan perdamaian dan keamanan. Dan tentu saja berkepentingan memajukan ekonomi. Pertanyaannya adalah, bagaimana sebenarnya sejarah perempuan

Perempuan dan Perspektif Sejarah

Kita tahu, proses pemarginalan masyarakat di dalam struktur sosial ekonomi maupun politik, lambat laun menyebabkan satu komunitas terjebak dalam suatu kondisi yang dinamakan sebagai perangkap “kemiskinan”.

Kemiskinan yang dialami bukan hanya kemiskinan dalam arti tingkat kesejahteraan ekonomi yang rendah, melainkan juga kemiskinan dalam arti terkekangnya hak ataupun kemerdekaan individu dalam mengekspresikan dinamika hidupnya.

Fenomena-fenomena pemarginalan ini mungkin dapat di analogikan dengan wacana yang berkaitan dengan perempuan. Mengingat, wacana yang berkembang selama ini menganggap bahwa kaum perempuan cenderung dilihat sebagai korban dari berbagai proses sosial yang terjadi dalam masyarakat selama ini.

Perlakuan terhadap perempuan yang tidak apresiatif dalam interaksi sosialnya dengan suatu komunitas, telah menjadi “tren” diskusi dan perbincangan di antara para pengamat dan pemerhati sosial.

Baca Juga  Pertarungan Agama dan Budaya

Fenomena bias gender dalam konteks hubungan antara perempuan dan laki-laki akhirnya direspons dengan memunculkan suatu opini yang mengatakan bahwa, dunia yang dihuni umat manusia adalah dunia laki-laki, yang dibentuk dan ditata sedemikian rupa dengan norma atau nilai laki-laki.

Perempuan seakan-akan hanya diskenariokan sebagai artis panggung teater yang diarahkan oleh seorang sutradara laki-laki, dengan skenario yang dibuat laki-laki serta ditampilkan untuk memuaskan selera penonton yang kebetulan juga laki-laki.

Terlepas benar atau tidaknya anggapan tersebut memang relatif dan belum tentu menjadi suatu realitas dalam kehidupan manusia. Tetapi, dalam cuilan sejarah peradaban manusia, gambaran perlakuan terhadap perempuan memang tidaklah menggembirakan atau bahkan dapat dikatakan buram. Bentuk-bentuk peradaban manusia yang menjustifikasi fenomena ketertindasan perempuan itu tergambar dalam fragmentasi sejarah di berbagai belahan dunia.

Misalnya, pada puncak peradaban Yunani, perempuan merupakan alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Mereka diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera tersebut, serta para perempuan dipuja untuk itu. Patung-patung telanjang yang terlihat sampai sekarang di Eropa adalah bukti dan sisa pandangan itu.

Sedangkan dalam sejarah peradaban Romawi, kultur sosial yang ada mem-fait a comply, bahwa perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin kekuasaan pindah ke tangan suami. Kekuasaan itu mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh. Realita itu berlangsung hingga abad ke 5 Masehi. Segala hasil usaha perempuan akan menjadi milik keluarganya yang laki-laki.

Pada zaman Kaisar Konstantin, terjadi sedikit perubahan dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi perempuan. Dengan catatan bahwa, setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami/ayah). Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari yang lain.

Hak hidup bagi seorang perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya. Sang istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Tradisi ini baru berakhir pada abad ke-17 Masehi.

Berbeda, dalam pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam diusir dari surga.

Pandangan masyarakat Kristen, masa lalu, tidak lebih baik dari yang disebut di atas. Sepanjang abad pertengahan, nasib perempuan tetap sangat memprihatinkan.

Baca Juga  Nasionalisme dan Kutukan Barcelona

Bahkan, sampai dengan tahun 1805 perundang-undangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya. Dan, sampai dengan tahun 1882 perempuan Inggris belum lagi memiliki hak pemilihan harta benda secara penuh dan menuntut ke pengadilan.

Di Amerika Serikat (yang dikenal sebagai negara yang mengagungkan demokrasi dan ke-egaliter-an), dalam proses peradabannya juga pernah mengalami sejarah kelam dalam konteks perlakuan sosial terhadap kaum hawa-nya.

Ketika Elizabeth Blackwell (dokter perempuan pertama) menyelesaikan studinya di Geneve University pada 1849, teman-teman yang bertempat tinggal dengannya memboikot dengan dalih bahwa, perempuan dianggap tidak wajar untuk memperoleh pelajaran (pengetahuan).

Bahkan, ketika sementara Dokter Blackwell bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk perempuan di Philadelphia, Amerika Serikat, Ikatan Dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di sana.

Di Indonesia, kondisi buruk tersebut dapat ditemukan dalam nukilan-nukilan sejarah, terutama saat terjadinya kolonialisme Belanda. Guratan-guratan keprihatinan sekaligus protes R.A. Kartini dalam tulisan lewat surat-suratnya ke para sahabatnya di Belanda, menjadi salah satu bukti atas terjadinya fenomena tersebut.

Di dalam kebudayaan Jawa, secara kultural historis dapat ditemukan pada kenyataan bahwa perempuan ditempatkan sebagai the second sex (Istilah yang dipergunakan pertama kali oleh Beauvoir, 1964). Tercermin dengan adanya pemeo swarga nunut neraka katut, yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan istri hanya tergantung pada suami. Tersirat bahwa peran perempuan hanya berfungsi sebagai peran pelengkap semata.[]

Ilustrasi: Neswa.id 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *