KEMARIN malam. Bapakku datang bersama kakek membawa selembar kain putih. Aku yang berumur 15 tahun waktu itu hanya menatap kain itu dengan tajam. Entah apa yang aku pikirkan, akan tetapi semua orang hadir waktu itu dengan isak tangis yang keras.
Tentu aku menjadi penasaran, apa yang terjadi? Dibalik tirai biru dengan garis kaligrafi yang menembus. Aku melihat sekumpulan orang menatap pamanku yang tertidur pulas. Itu presepsi saja, ia tertidur namun digotong banyak orang. Entah apa yang membuatnya nyenyak tertidur sehingga tuk bangun pun tak bisa.
Aku hanya diam dan menatap sekeliling, tangisan orang-orang itu. Aku tak mengenalnya, namun di sudut rumah, kulihat ibuku menangis. Aku hanya melihat saja tanpa tau apa yang terjadi. Yang pasti malam itu penuh akan kekacauan dengan kesedihan.
Keesokan harinya, aku melihat kain putih yang dibawa bapakku malam itu sudah dipakaikan di pamanku. Mataku masih kuat akan kantuk, tapi saat itu aku terkejut melihat apa yang sebenarnya terjadi. Di malam itu aku hanya tau tangisan, namun saat mataku terpelalah melihat kain kafan dipakaikan ke pamanku. Hanya ucapan Inalilahi wainnailaihi roji’un saja terucap pertama kali.
Pamanku yang malang, pamanku tersayang. Ia lebih dulu dipanggil oleh Tuhan, pantas saja tangisan tadi malam terdengar bagai takbir pada malam lebaran. Bedanya, malam itu sungguh menyedihkan. Kepulangan sang paman membuat ibuku hanya menangis dipojokkan. Melihat paginya mata ibuku sudah lebam dengan tangisan yang ia selesaikan subuh tadi, itu kata kakak sepupuku yang memberitahukannya.
Aku pun saat itu hanya menangis, kepergian ternyata secepat itu, pamanku pergi. Kemarin saja aku bermain petak umpet denganya, dan nyatanya hari ini tubuhnya tegak tertidur tanpa bangun lagi. Aku tak bisa mengajaknya bermain petak umpet lagi. Tak bisa meminta uang untuk membelikan es yang sering lewat di depan rumah.
Melihat jasadnya, membuatku terdiam kaku. Aku diam-diam datang dan berada pada sebelah kanannya. Hanya bisa meratapi bahwa kenyataan ia telah pergi selama-lamanya. Kabar dukanya sudah terdengar di setiap corong masjid. Pukul 12 siang dirinya dibawa ke masjid untuk disalatkan, aku hanya diam mematung menatapnya.
Ucap dalam hatiku saja melihat jasad pamanku “kenapa kau pergi secepat itu, padahal aku ingin bermain petak umpet dengan mu, paman”. Setelah itu aku berpaling, namun aku mendengar suara panggilan mirip sekali dengan suara pamanku. Tapi tentu saja aku tak menghiraukannya. Aku sekali lagi hanya bisa meratapi dan mengikhlaskan kepergian dirinya.
Setelah pemakaman selesai, aku pun melihat kuburan pamanku yang ditaburi banyak bunga. Hanya bunga saja? Tentu tidak, di sekelilingnya banyak doa yang diperuntukkan untuknya. Bacaan al Fatihah dan berbagai bacaan ayat suci al-Qur’an terdengar di mana-mana. Meskipun aku masih melihat keluargaku masih menangisi kepergiannya.
Sesampai di rumah, kembali lagi banyak doa-doa terucap. Tetapi lelahku tak tertahan, tanpa ikut serta dalam berdoa dengan yang lain. Aku pun pergi dari keramaian dan menuju kamarku. Kantukku bagai manisnya gula, sehingga aku tak bisa menahan dan akhirnya aku pun tertidur tanpa sadar.
Dari sinilah ceritaku mulai, mimpi yang sungguh membuatku tersadar bahwa Tuhan tahu akan segalanya dan Tuhan punya segalanya. Dalam tidur pulasku waktu itu, aku bermimpi dalam gejolak yang sungguh-sungguh membuatku mengenangnya selamanya.
Mimpi itu diawali aku berada di sebuah taman yang sungguh indah. Banyak buah-buahan dan tumbuhan yang sangat rimbun. Dari semak-semak terdapat banyak hewan seperti kucing, rusa, singa, harimau dan lainnya hidup berdampingan. Tentu aku menjauhi mereka “siapa yang mau dimakan oleh serigala dan singa”.
Saat aku menjauhi tempat yang berbahaya menurutku. Aku melihat beberapa orang berkumpul mengelilingi seseorang, tentu pasti ditebak orang yang mereka kerumuni itu adalah pamanku. Iya, pamanku yang sudah meninggal dunia.
Aku hanya bisa menatap dengan kosong yang terjadi, kerumunan itu menatap tajam pamanku. Aku ingin menghampiri mereka, akan tetapi seorang berbaju putih dengan seumuran masih 20-an tahun datang padaku dengan berkata “kau diam saja, lihat apa yang terjadi padanya. Kau hanya perlu melihat dan jangan pernah mengacaukan apa yang harus terjadi”.
Tentu perkataan dari laki laki itu membuatku kesal. Padahal aku Ingin menyelamatkan pamanku dari kerumunan itu. Namun apa daya, aku hanya bisa melihat apa yang seterusnya akan terjadi.
Seorang laki-laki datang dan duduk di tempat seperti singgasana. Sepertinya pamanku akan dihakimi dengan dalil, aku pun tak tahu. Hanya bisa menyimak dari kejauhan. Ucap laki-laki yang duduk di singgasana “terus terang kau harus masuk ke dalam penderitaan karena semasa hidupmu kau tidak pernah melakukan kebaikan”. Mendengar ucapan singkat itupun, mereka para pengawal di samping pamanku kemudian membawa pamanku dengan paksa ke suatu tempat.
Tentu saja aku kesal, setelah mereka membawa pamanku dengan paksa. Aku mendatangi laki-laki yang sok-sokkan duduk di singgasana itu. Dengan raut wajah yang kesal aku langsung membentaknya “hei laki-laki yang merasa benar. Kau apakan pamanku itu, kenapa kau menghakiminya dengan penderitaan. Padahal semasa hidupnya, ia bagiku selalu berbuat baik. Kau sudah salah hitung”. Mendengar perkataan itu, laki-laki itu membalasku dengan senyum kemudian menyuruhku ikut bersamanya.
Sesampai di suatu tempat, laki laki itu menyuruhku untuk duduk dan menunggu seseorang yang datang padaku. Katanya, ia akan menjelaskan kenapa dirinya membuat keputusan terhadap pamanku.
Akupun manut saja. Persepsiku hanyalah bukan laki-laki itu yang salah. Pasti ada seseorang yang menyuruhnya membuat keputusan salah itu. Laki-laki itu mungkin hanya budak dari seseorang yang sedang kutunggu.
Tak lama kemudian, kudengar suara entah dari sisi mana. Suaranya terdengar hampir di seluruh tempat itu. Suara yang terdengar manis seperti perempuan puber.
“Kau datang ke sini untuk protes mengenai apa?” Ucap suara perempuan itu. Aku pun membalas dengan cepat “aku ingin bertanya mengenai keputusan kenapa pamanku kau masukkan ke dalam neraka, tepatnya kenapa kau memberikan ia penderitaan, padahal semasa hidupnya ia hanya berbuat baik”.
Setelah ucapanku itu, kemudian perempuan itu berkata “kau tak tahu apa-apa tentang dirinya. Kau hanya manusia yang hanya mengetahui kebaikan dari seseorang yang kau sendiri hanya mengenalnya sebagai seorang paman. Banyak hal yang tidak kau ketahui dan sedikit hal yang kau ketahui sebagai pembelaan”.
Aku pun kesal mendengar ucapan itu, aku pun membalasnya “kau memang siapa dengan soknya berani mengatakan bahwa kau mengenal pamanku lebih dari aku. Suaramu saja pertama kali kudengar, kau pasti bukan dari keluargaku tentunya?”. Kemudian balas perempuan itu “aku adalah perempuan yang bersimulasi menjadi Tuhan, Aku adalah operator di alammu. Semua proses kehidupan yang kau jalani di dunia saat ini adalah ciptaanku dari algoritma-algoritma yang telah aku susun sendiri.
Dengan kata lain Aku yang menciptakan kehidupan di duniamu dan di dunia ini. Aku adalah orang yang menciptakan dimensi kehidupan dengan aturan sesuai keinginanku. Dan kamu dan serta seluruhnya merupakan bagian algoritma komputer ku ini. Jikapun Aku mau, Aku sudah menghapusmu dari algoritma kehidupan ini, dan tidak ada sama sekali orang yang mengenalmu di kehidupan duniamu.
Ucapan itu membuatku masih bingung, apa yang ia katakan, “kau berkata apa, kau anggap duniaku apa, kau sebenarnya siapa? Tanyakan padanya. Jawab perempuan itu” aku adalah pencipta duniamu. Aku adalah perempuan yang menciptakan segala hal kehidupan dalam versi komputer yang kemudian kau sendiri salah satu dari bagian ciptaanku. Dengan kata lain aku adalah Tuhanmu. Kau adalah simulasi komputer yang kubuat.
Mendengar perkataan itu dengan jelas, aku pun kaget dan tidak menyangka bahwa aku adalah bagian dari sebuah simulasi yang ada sebuah dunia dan operator yang di luar sana berdimensi lebih tinggi menciptakanku dan mengendalikanku. Dunia yang kutinggalkan adalah simulasi dari Tuhan yang berjenis kelamin perempuan. Aku tak menyangka bahwa duniaku adalah simulasi yang Tuhannya pun dengan kehendaknya yang tidak tentu bertindak apa pun semaunya.
Tanyaku “apa yang sebenarnya terjadi, apa yang ada, apakah aku benar-benar ada. Apa yang terjadi pada pamanku, apakah aku hanyalah sekumpulan program-program algoritma seperti yang kau katakan. Apakah kau ingin menciptakan kiamat hanya dengan menekan tombol pada komputer dengan satu klik. Kenapa kau menyadarkanku dengan kenyataan pahit ini?”
Jawab perempuan itu “Aku adalah Tuhanmu yang menciptakan duniamu. Meninggalnya paman mu adalah keinginanku. Aku ingin memasukkannya ke dalam neraka atau surga adalah hak prerogatifku, sebab aku lah yang menciptakan dunia yang kau tinggalkan. Jikapun Aku mau, Aku bisa saja menghapus duniamu dan menciptakan dunia lain. Tetapi itu kembali ke kehendakku, tergantung mood ku.
Aku hanya iseng-iseng saja membunuh pamanmu dan memasukkannya ke dalam neraka. Walaupun ia selalu berbuat baik. Aku tidak peduli, jikapun kalian ciptaan-Ku telah membuat aturan dan mempercayai agama dan menyembah Tuhan dengan kesadaran teologis. Itu adalah salah satu strategi yang Kubuat tanpa alasan yang jelas.
Intinya, semua itu adalah kehendakku pada akhirnya. Siapa yang peduli dengan kitab suci, akhirat, kebaikan, kemurahan. Toh kalian Aku ciptakan dengan program yang telah kubuat berbeda-beda nantinya. Pada akhirnya Aku lah Sang Pencipta mengatur semauku. Jadi aku memberikan kesadaran padamu untuk menakutimu saja. Bahwa perempuan juga bisa menjadi Tuhan bagi ciptaan di dunia versinya.
Mendengar jawaban itu, responsku hanyalah ketakutan. Kakiku bagai digoyangkan entah oleh siapa. Ketakutan saja menghantui dan kenyataan menamparku. Bahwa aku dan duniaku ini hanyalah sebuah simulasi. Simulasi yang diciptakan oleh sebuah mahkluk yang lebih tinggi dari dimensiku.
Dan ia adalah Tuhan bagi dunia dan bagi diriku. Ternyata, Tuhanku perempuan. Sekarang kehendaknya tergantung mood-nya. Ia bisa saja menghancurkan dunia ciptaanya dan memasukkan secara random apa pun keinginannya. Sungguh Tuhan perempuan itu membuatku kesal, tapi apa daya. Aku adalah bagian dari program yang telah ia buat.
Aku disadari oleh kenyataan waktu itu, bahwa duniaku adalah dunia semu yang kapan hari akan mengalami eror, bahkan setiap detik berpotensi dihapus. Percakapanku dengan Tuhan perempuan itu berakhir sampai di sana. Terbangun dari mimpi buruk, bahwa pamanku meninggal, dan duniaku hanya sebuah hempasan dari dunia lain yang lebih tinggi. Replikasi duniaku adalah simulasi paling sempurna, namun Tuhan perempuan itu adalah pemberi keputusan tergantung keinginannya.
Hak prerogatif tergantung keinginan dan kegabutan. Jikapun ia mau, dunia baru akan ia ciptakan. Sebab dunia yang kutinggali saat ini adalah bagian dari sebuah simulasi kompleks.
Ada sesuatu yang lebih besar dari dunia kita. Probabilitasnya banyak, ia adalah Tuhan Sang Pencipta segalanya ataupun sang kreator dan hacker yang menciptakan simulasi dengan kesadaran yang lebih rendah. Kita tak tahu bahwa dunia yang ditinggali saat ini benar atau tidaknya dunia realitas. Sebab tidak ada bukti konkret untuk menunjukan dunia kita benar-benar real atau tidaknya.
Yang pasti banyak probabilitas sebagai postulat, bahwa salah satu postulat di era abad kontemporer ini adalah kita hidup di dunia kesadaran yang rendah dan berkemungkinan bertuhan pada Tuhan yang memiliki kesadaran lebih tinggi. Dan suatu saat nanti kita menyadari semua itu, maka sang operator akan menghapus kita di muka bumi ini dengan hanya satu klik, “DELETE”.[]
Ilustrasi: Kompasiana.com

Mahasiswa Pemikiran Politik Islam UIN Mataram





