BULAN Maulud adalah bulan yang disambut sukacita oleh ummat Islam di Indonesia, tak terkecuali masyarakat Brebes dan sekitarnya. Bulan ini dijadikan momentum untuk mengungkapkan ekspresi cinta manusia kepada Nabi Muhammad saw.
Layaknya perayaan bulan Maulud di berbagai tempat, masyarakat Brebes pun menyambut dengan pembacaan sirah Nabi dalam kitab iqd al-jauhar fii maulid an-nabiyyil azhar atau yang lebih dikenal dengan sebutan al-Barzanji. Sebuah masterpiece dari Syaikh Ja’far bin Husein bin Abdul Karim bin Muhammad al-Barzanji (w. 1177).
Selain Barzanji, ada juga Burdah, Mahakarya Syaikh Syarafuddin Abu Abdullah Muhammad ibn Muhsin ibn Abdullah as-Shanhaji al-Bushiri al-Mishri (w. 1333 H). Dan Maulid Shimtudduror buah karya dari al-Habib Muhammad Ali al-Habsyi (w. 1333 H).
Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan metode halaqoh yang di-tasmi’ secara bergantian di masjid, musala atau di rumah warga. Kemudian dalam salah satu malam, yaitu pada malam ke delapan diisi dengan tradisi tekwinan sedangkan di malam dua belas dilaksanakan rolasan, yaitu membagikan hidangan makanan ke masing-masing rumah warga.
Namun, yang akan dibahas di sini adalah tradisi malam ke delapan, yaitu tekwinan. Ada beragam penyebutan tradisi tekwinan seperti takwinan, layahan atau bada layah.
Acara tersebut diisi dengan suguhan berbagai macam makanan seperti ketan, buah-buahan khas orang melahirkan (pisang, jeruk, apel, salak, dan sebagainya), snack, dan jajanan pasar yang disajikan di atas layah (cobek kecil berbahan dasar tanah liat).
Namun, di zaman sekarang penggunaan layah kini berganti menjadi baskom, piring, ember atau parcel. Masing-masing masyarakat membawanya untuk kemudian dibagikan secara acak.
Tradisi ini sudah berlangsung sejak beberapa abad yang lalu terhitung sejak zaman Walisongo di abad ke 14 M. Hingga kini umat Islam di daerah pantura khususnya masyarakat Brebes masih istikamah melestarikan tradisi tekwinan.
Makna dan Tujuan Tradisi Tekwinan
Secara lughowi, takwinan atau tekwinan merupakan serapan dari kata taqwa/takwa asal kata waqa-yaqi-wiqayatan kemudian diparagogisasi menjadi takwanan/takwinan hingga berkembang menjadi tekwinan atau bisa juga diartikan sebagai buah akronim dari kalimat amr yaitu ittaqullah fii kulli zaman wa makan, bertakwalah kepada Allah Swt di mana pun dan kapan pun.
Di dalam tekwinan terdapat makanan berupa ketan, buah-buahan khas orang melahirkan dan jajanan pasar. Dalam hal ini, ketan memiliki makna yang diambil dari kata dalam bahasa Jawa yaitu kraketan yang bermakna ngraketke ikatan atau merekatkan ikatan. Ketan juga dimaknai sebagai simbol perekat tali persaudaraan antar sesama manusia. Selain itu, ada juga yang memaknainya sebagai kata dalam bahasa Jawa yaitu kemutan yang bermakna teringat, untuk mengingat-ingat kelahiran Nabi.
Dengan melihat perspektif tersebut, tekwinan dinilai sebagai wujud dari tiga sudut cinta yang menyatu dalam ritual tekwinan ini. Sudut tiga itu antara manusia, Allah, dan Muhammad yang selalu menyatu dalam pikiran, hati, dan perilaku moral manusia bermasyarakat.
Sedangkan buah-buahan khas orang melahirkan seperti jeruk, pisang, salak, apel dalam tekwinan adalah wujud kebahagiaan menyambut kelahiran bayi, dalam hal ini kebahagiaan menyambut bulan kelahiran Kanjeng Nabi yang merahmati seluruh alam. Selain itu, secara historis, konon sesepuh masyarakat Brebes menganggap bahwa tekwinan adalah wujud syukur di bulan kelahiran Nabi.
Pada awalnya, hal ini dilakukan dengan maksud untuk mengundang anak kecil agar mau diajak ke masjid untuk muludan yang biasanya dilakukan di waktu yang lama. Dengan disediakan aneka makanan, maka diharapkan anak-anak menjadi betah dan semangat.
Maka dapat disimpulkan bahwa tradisi tekwinan memiliki makna ungkapan rasa syukur menyambut bulan kelahiran Nabi sekaligus sarana untuk mengenalkan kepada anak-anak akan pentingnya menyambut bulan kelahiran Kanjeng Nabi
Tekwinan dalam Kacamata Ulama
Secara umum, sejauh ini masih terdapat sebagian kecil kelompok masyarakat yang menolak perayaan maulid Nabi. Mereka menganggap perayaan Maulid Nabi sebagai bid’ah yang tidak layak dilakukan. Tapi hal itu dapat dengan mudah dipatahkan oleh ulama-ulama ahlussunnah wal jama’ah, salah satunya Sayyid Muhammad al-Maliki.
Menurut Kiai Said Aqil Siradj, perayaan maulid Nabi merupakan sunah taqririyyah yaitu perkataan, perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw, tapi dibenarkan oleh beliau. Memuji serta mengagungkan Nabi Muhammad saw termasuk dalam sunnah taqririyyah karena tidak pernah dilarang.
Lalu bagaimana jika perayaan maulid Nabi dibuat selaras dengan budaya setempat seperti tekwinan dan sekaten? Ada sebagian ulama yang pernah mengeritik perayaan maulid Nabi yang di dalamnya terdapat unsur hiburan, senda gurau dan berbagai hal yang menurutnya tidak jelas manfaatnya.
Namun, mengapa masyarakat masih mempertahankan tradisi ini? Singkatnya, orang Islam di Indonesia khususnya Jawa lebih pandai menyimpan “ketauhidan” pada Allah sejak dalam hati, pikiran, dan diwujudkan dengan budaya. Salah satunya adalah tekwinan yang sudah ada sejak zaman Walisongo hingga kini.
Bahkan sejak zaman dahulu, Walisongo mewanti-wanti agar semua tradisi atau budaya tidak menyimpang, bahkan yang dianggap menyimpang diluruskan dengan cara-cara yang santun dan bernas.
Sesepuh Jatibarang, seorang ulama besar di Kabupaten Brebes pernah berujar di masa hidupnya, bahwa “tradisi yang baik ini (tekwinan) harus diupayakan terus ada dari generasi ke generasi berikutnya, karena tradisi ini memiliki nailai-nilai yang baik dan menjaga kerukunan antar warga” harap Almaghfurllah KH. Rosyidi Malawiy.
Tradisi tekwinan adalah tradisi yang adiluhung karena memiliki makna yang suci karena dapat menjadi wahana mencintai Kanjeng Nabi.[]
Ilustrasi: Kompasiana.com
Lahir pada 26 Syawal, seorang Mahasiswi Universitas Islam Negeri KH. Abdurrahman Wahid, aktif menulis di beberapa media.





