Dalam pengantarnya, Dr. Moh. Asyiq Amrulloh, M.Ag., Dekan Fakultas Syariah UIN Mataram mengemukakan bahwa tema ini diambil untuk merespons gagasan Menteri Agama, Yaqult Cholil Qoumas yang pernah dilontarkan beberapa waktu yag lalu bahwa KUA tidak hanya melayani umat beragama Islam, tapi hendaklah menjadi wadah layanan semua agama yang ada di Indonesia.
KUA sebagai etalase Kementerian Agama, menurutnya, harus dioptimalkan sebaik mungkin untuk semua umat, tidak hanya satu umat. Al-muhafadhatu ala qadimis sholeh, menjaga dan memelihara tradisi lama yang baik, wa al-akhdzu bi a-jadidi al-ashlah, dan mengambil yang baru yang lebih baik.
Gagasan Menteri Agama ini, menurut Moh. Asyiq Amrulloh, sebagai fresh ijtihad, tidak kaku, tidak statis, pemikiran yang tidak dilatari oleh satu disiplin ilmu tapi interdisipliner dan multidisipliner. Kira-kira, Menteri Agama ingin mengkaji ulang fungsi KUA yang selama ini hanya diperuntukkan bagi umat Islam, kemudian dikembangkan menjadi wadah sentral pelayanan semua umat beragama.
Oleh sebab itu, Fakultas Syariah UIN Mataram pada seminar kali ini mengangkat tema tersebut untuk memberikan masukan apakah gagasan tersebut dapat diimplementasikan atau tidak dengan melihat kondisi ril KUA saat ini.
Gagasan Menteri Agama yang menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat ini, menurut Prof. Dr. Masnun Tahir, M.Ag., Rektor UIN Mataram, merupakan pemikiran yang out of the book yang tentu pasti ada dinamikanya. Sebagaimana Gus Dur, mengutip Amin al-Khuli mengatakan bahwa setiap pemikiran itu kadang-kadang akan digugat oleh zamannya tapi suatu saat akan menjadi Manhajan wa al-Aqidah, akan menjadi mazhab pemikiran bahkan ideologi.
Pemikiran kita hari ini, pada suatu saat akan digugat karena merupakan korpus terbuka, terbuka untuk didiskusikan. Oleh sebab itu bagaimana kita dapat menerima pemikiran yang berbeda yang disuguhkan kepada kita. Jika merujuk tradisi ulama klasik, jika ada gagasan baru dilontarkan oleh seorang ulama dan ulama lain tidak setuju dengan gagasan itu, mereka bukan membuly tapi menulis kitab untuk mengungkapkan ketidak setujuannya. Sebagai contoh ketika Imam al-Ghazali tidak setuju dengan pandangan para filsuf (Ibnu Sina dan al-Farabi), ia menulis kitab Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filsuf).
Adanya kitab syarah, hasyiyah, dan muhtasyar merupakan ekspresi para ulama untuk mengungkapkan pandangan mereka terdapat tulisan-tulisan ulama terdahulu yang mereka rasa kurang dalam pembahasannya sehingga perlu diperdalam lagi atau terlalu luas sehingga perlu diringkas.
Oleh karena itu, menurut Wael B. Hallaq, pintu ijtihad itu tidak pernah terutup karena tradisi men-syarah dan meringkas kitab-kitab sebelumnya terus diberkelanjutan. Artinya diskusi dan diskursus-diskursus itu tidak pernah berhenti.
Oleh karena itu, menurut Prof. Masnun, gagasan tersebut perlu direspons, salah satunya dengan mengadakan seminar tentang layanan KUA untuk semua agama. Seminar ini diharapkan dapat memberikan masukan dari segi positif dan negatifnya jika gagasan tersebut benar-benar dilaksanakan.
Prof. Masnun berjanji, rumusan rekomendasi dari seminar ini akan langsung disampaikan ke Menteri Agama sebagai bahan pertimbangan dalam mengimplementasikan gagasan tersebut.[]
Ilustrasi: Kalikuma Studio

Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Mataram dan Pengkaji Islam dan Budaya Lokal.



