Socrates dikenal masyarakat Yunani sebagai orang yang tahu banyak hal. Namun bagi Socrates sebaliknya, ia menjadi manusia laki-laki yang tidak pernah merasa tahu apa-apa. Sehingga Socrates berbeda dengan manusia lain saat itu (kaum sofis) menunjukan bahwa dirinya adalah orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu apa-apa, sedangkan yang lain tidak pernah menyadari akan hal seperti itu.
Inilah kelebihan dari Socrates yang menjadikannya begitu istimewa bagi murid-murid dan pengikutnya. Sehingga pada suatu masa, seorang dikenal sebagai penyihir sakti mandraguna ditanya oleh banyak orang-orang Yunani dengan pertanyaan siapa yang paling bijaksana di yunani.
Dengan keyakinan dan ketegasan sepenuh hati, sang penyihir menjawab orang paling bijaksana saat itu adalah Socrates, karena hanya dirinya lah manusia paling sadar dan tahu akan kebodohannya sendiri, tahu akan dirinya yang tahu akan banyak hal yang diketahui, dan dirinya tahu bahwa dirinya tahu ingin mengetahui banyak hal dari banyak orang. Sehingga ukuran kebijaksanaan adalah ukuran rasa rendah diri dan rendah hati untuk selalu belajar.
Socrates menjadi pemenang kala itu, sehingga makin banyak orang yakin kepada Socrates sebagai manusia paling bijaksana dengan bukti kehidupan Socrates dalam keseharian yang berbeda dengan manusia lainnya.
Kembali pada kisah Socrates yang terjebak di sebuah negara bernama Indonesia di tahun 1998, saat itu seperti yang dilihatnya. Kedatangan Socrates ke Indonesia bukan sebuah rencana. Melainkan, ia dibawa oleh seorang misterius untuk melakukan perjalanan waktu. Socrates melihat dengan penuh kekaguman, infastruktur, tampilan dan gaya hidup manusia, kendaraan sampai dengan cara berbicara.
Saat itu Socrates mengerti bahasa Indonesia dan bisa juga menggunakan bahasa Indonesia, entah siapa yang menyetting Socrates sehingga bisa menyesuaikan dengan bahasa tersebut. Namun, terpenting dari perjalanan itu adalah Socrates yang hidup di masa ribuan tahun yang lalu, atau bahkan 300 SM menyaksikan kehidupan di tahun 1998. Model kehidupan yang jauh berbeda, jauh akan khayalan dan ilusi pandangan masyarakat Yunani saat itu.
Terlemparnya Socrates ke dunia Baru membuatnya harus menyesuaikan diri, Socrates hidup di Indonesia sebagai seorang akademisi di sebuah kampus. Entah mengapa hal demikian bisa terjadi, namun Socrates dikenal saat itu sebagai dosen yang populer
Socrates hidup di Indonesia, secara tiba-tiba menjadi manusia modern, meskipun pikirannya masih terdampar dan melekat kuat pada kehidupan di masa lampau. Tentu, Socrates harus menyesuaikan diri dengan zaman, ia memaksimalkan hidupnya, menjalani perjalanan panjang. Berusaha mendobrak tatanan kehidupan.
Socrates menyaksikan bagaimana rasanya hidup di Indonesia, untuk pertama kalinya Socrates tidak lagi bertanya kepada semua orang. Seorang penjual di pasar, seorang nelayan, seorang pejabat dan tidak lagi bertanya apapun kepada seorang pengangguran.
Sekarang, Socrates hidup di Indonesia, hidup sebagai seorang akademisi yang cukup pintar dan populer dengan kemampuan dialektika. Hidup di Indonesia bagi Socrates cukup menyenangkan, meskipun banyak kritikan yang Socrates suguhi sambilan duduk di ruang kelas sambil berdiskusi dengan para murid-muridnya.
Socrates tidak pernah membaca buku apapun, dan tidak menulis buku apapun. Baginya ia memberikan kuliah sejauh bagaimana tatanan kehidupan dan logika berdiri menghancurkan konsepsi pincang masyarakat yang penuh takhayul, ia melihat dengan cara cukup sederhana, bagaimana mitos seperti takhayul, dongeng dan kisah-kisah irasional membuat seseorang bukan menjadi tambah memahami, melainkan tambah menerima. Dalam kehidupan, Socrates tidak bisa mengabaikan konsepsi penerimaan, namun penerimaan itu jelas harus dilandasi dengan kemampuan intelektualitas yang tinggi.
Pandangan semacam ini membawa arus paradigma dalam menghancurkan dogma buta. Di ruang kelas, Socrates berusaha memperlihatkan kerugian seseorang berfikir melulu secara mistis, secara takhayul dan secara ilutif. Cara pandang semacam ini membuat seseorang tidak berani berfikir kritis, sebab konsepsi penerimaan membuat mereka tidak bisa apa-apa.
Orang-orang yang hidup dalam lingkungan kedewaan dan mistis lebih cepat untuk di bodoh-bodohi, sebab menjual atas nama negosiasi kedewaan akan lebih cepat dipercaya. Inilah yang perlu di sadari, dan menjadi catatan merah untuk manusia masa depan, bagaimana melawan logika mistika yang melulu menjustifikasi kebenaran hanya pada pihak satu kacamata saja, yakni penerimaan dari berbagai halusinasi belaka.
Socrates mencoba memberikan kuliah filsafat, meskipun nama filsafat itu baginya asing. Namun, dalam kuliah itulah Socrates tidak lagi membuka buku dan menulis buku. Ia lebih suka dengan melakukan diskusi sembari melantunkan banyak pertanyaan kritis yang harus dijawab oleh para murid-murid nya. Baginya cara berfikir dialog akan membawa manusia bisa membebaskan dan melahirkan pengetahuan masing-masing. Cara seperti ini juga menjadikan manusia bisa berdikari untuk mengetahui dan memahami.
Socrates melihat bagaimana kehidupan di Indonesia yang masih kental akan mitologi dan takhayul. Sejatinya Socrates melihat hal ini sebagai dua sudut pandang kutub, positif dan negatif. Sisi positif nya adalah manusia Indonesia bisa memiliki satu kultur budaya yang meskipun penuh akan takhayul, namun bisa menciptakan solidaritas dan kolektif kehidupan dalam mencapai keharmonisan.
Namun pada sisi lain, takhayul membuat manusia Indonesia malas untuk berfikir, sehingga menurutnya bagian inilah yang harus didekonstruksi, lalu membawa pesan lebih nikmat lagi. Socrates memberikan kesempatan untuk setiap orang untuk berani berfikir, berani untuk mengeluarkan banyak uneg-uneg mengenai berbagai persoalan.
Socrates hidup di Indonesia, bersama masyarakat Indonesia, tidak lagi mempercepat dewa dewi Yunani, namun di Indonesia inilah Socrates lebih menyaksikan pluralisme yang ditayangkan dengan banyak agama, banyak Tuhan, banyak keyakinan dan banyak sistem budaya yang melekatkan peran dewa dewi yang entah banyaknya tak bisa dihitung dengan tangan.
Socrates menyaksikan bahwa Indonesia adalah negara beragama, bedanya dengan bangsa Yunani ribuan tahu lalu. Masyarakat Indonesia memiliki kesadaran dengan mengandalkan rasionalitas dalam beragama. Sehingga, bagi Socrates sedikit kritikan yang harus dilontarkan.
Karena, beragama baginya bukan persoalan penerimaan buta seperti yang dilakukan masyarakat Yunani saat itu. Melainkan, beragama mengajarkan cara berfikir kritis untuk keimanan yang dijadikan sebagai panduan untuk hidup.
Jelas atau tidak, Socrates hadir bukan sekedar sibuk mengajar di kelas semata, menerima pembelajaran yang disampaikannya menggebu-gebu sampai berjam-jam. Namun, para mahasiswa nya senang dengan Metode pengajaran Socrates yang begitu bersemangat, tidak lelah untuk menyampaikan kebenaran, meskipun kebenaran yang disampaikan Socrates sangat sulit dipahami.
Namun, pada intinya, di akhir kelas Socrates selalu menyampaikan pesan penting untuk generasi di masa depan masyarakat Indonesia. Bahwa, tidaklah generasi menjadi hebat jika hanya menerima, masyarakat Indonesia hidup dalam keberagaman dengan persatuan dan kesatuan hidup di Indonesia dikenal sebagai bhineka tunggal ika.
Lalu, kesadaran keberagaman ini bukan berarti untuk saling membenci, bukan saling berkonflik dan bukan saling mengabaikan. Namun, keberagaman adalah cara melihat kesatuan atas berbagai hal untuk memproduksi pengetahuan secara lebih luas dan kompleks. Kehidupan manusia Indonesia dalam pandangan bersama Socrates haruslah diuji, bukan dalam penerimaan.
Hidup diuji adalah hidup yang dimaknai. Socrates memerintahkan bahwa ketika ia hidup di zaman yang penuh gejolak abad 20 ini, ia memaksimalkan tidak hanya penerimaan, melainkan berusaha memaksimalkan kemampuan kritis dan bereaksi untuk sebuah perubahan.
Menjadi manusia Indonesia yang memegang kepercayaan dan keyakinan bahkan dalam aturan sah secara konstitusi dilegalkan, menandakan keyakinan itu dalam pandangan Socrates bertahan menunjukan adanya nilai kekuatan hidup, sehingga yang harus ditingkatkan adalah manusia yang beragama.
Manusia Indonesia yang sah memiliki hak dan kewajiban. Semaksimal mungkin untuk tidak mudah dibodoh-bodohi, sehingga tawaran paling maksimal untuk membatalkan kebodohan tersebut tidak lain dari berpendidikan.
Socrates hidup di Indonesia, sebagaimana sikapnya yang selalu kepo, namun tidak punya bekal apapun akan sok tahu. Socrates ingin melihat kehidupan di Indonesia dengan membawa peningkatan kemampuan seseorang untuk berfikir secara matang dengan pengandalan akal budi dengan maksimal.
Socrates berusaha memperlihatkan bagaimana kehidupan yang basisnya diuji, dikenali dan di usahakan untuk bisa lebih bijaksana. Masyarakat Indonesia secara keseluruhan sudah sadar betul akan penting nya pendidikan, pendidikan bukan hanya soal hidup lebih baik dalam pragmatisme, melainkan pendidikan adalah persoalan universal untuk hidup lebih banyak manfaat untuk diri sendiri maupun untuk banyak orang.
Hidup bersama Socrates di Indonesia, ia mencoba mengajarkan kepada manusia saat itu untuk melawan apapun kebijakan pemerintah yang hanya mementingkan dirinya saja. Pemerintah yang sibuk hanya soal harta karun yang didapatkan dengan mengeksploitasi rakyatnya. Socrates mencoba untuk mendobrak Mengenai para sosok pemimpin yang sibuk dengan urusan privatisasi dan mengabaikan Kewajiban sebagai pemimpin bangsa.
Ironi yang ditunjukan oleh bangsa Indonesia tahun 1998 saat itu adalah ketakutan kepada pemimpin, ketakutan semacam ini membuat seseorang tidak berani melawan karena akses pemerintah dalam menghancurkan lawan dimiliki hampir seutuh dan sepenuhnya.
Sehingga, ketika sedikit saja memberontak dan menjadi oposisi, mereka memiliki kemungkinan hilang atau mati. Sejujurnya, kehidupan semacam ini menjadi tragedi bangsa, di mana ancaman dan ketenteraman akan arti kebebasan menjadi manusia dan warga negara sudah tidak ada lagi terlihat bebas di hadapan mata.
Socrates menyaksikan bahwa pemerintah orde Baru atau pemerintah saat tahun 1998 itu sangat buruk. Demokrasi hari itu sama dengan demokrasi di masa sebelum Masehi di Yunani. Hanya sibuk soal kepentingan dan berusaha memaksimalkan dalil pembenaran. Socrates begitu jelas mengetahui itu setelah melihat bagaimana pemerintah orde Baru di Indonesia memainkan wacana kekuasaan.
Selagi ada kepentingan yang harus dikejar, saat itu juga banyak aspek yang dimanipulasi untuk sampai kepada tujuan. Inilah kejatuhan moralitas, Socrates merasa model kepemimpinan semacam ini membuat warga negara Indonesia tidak lagi menjadi manusia bebas merdeka. Secara legal internasional Indonesia merdeka, namun secara sistem hierarki yang bekerja masyarakat Indonesia masih dijajah dalam aspek feodal dan sistem neokolonialisme.
Inilah fakta yang terjadi, Socrates menyaksikan inilah bentuk banalitas kekerasan, banalitas kebodohan dan banalitas penjajahan yang terjadi di Indonesia saat itu. Orde Baru telah membunuh banyak manusia, dari soal kebebasan, kemerdekaan, ideologi, HAM, keterbukaan, dan berbagai persoalan kematian tentang demokrasi yang diakui di Indonesia.
Kehidupan masa pemerintahan orde Baru dalam kacamata Socrates sungguh tidak ada bedanya dengan pemerintah otoritarian. Namun basis kacamata topeng yang digunakan secara legal pada sistem demokrasi. Indonesia, memang saat itu dalam bayang-bayang kejatuhan dan Kehancuran demokrasi, sehingga membuat masyarakat saat itu merasa was-was dan tidak tahu arah untuk bereaksi sebagai warga negara.
Socrates hidup pada fase yang sama di Yunani saat itu, kemudian dibawa ke masa depan dengan pemerintahan yang sama. Lalu dengan yakin dan penuh pertimbangan menarik benang merah bahwasanya ketika pemerintah dalam bentuk sistem apapun, secara khusus demokrasi yang mengatasnamakan warga negara atas kebahagiaan dan kemaslahatan umum, namun dalam realitas praktek nya tentu akan memunculkan paradoks dan pertentangan yang begitu nyata dan jelas.
Konflik tentu akan terjadi di mana-mana. Rasa puas dan keinginan untuk mencapai banyak hal tentu akan jadi alasan pemimpin bangsa Indonesia melakukan berbagai cara. Sikap “Machiavellianisme” yang mengutamakan mempertahankan dan mendapatkan kekuasaan daripada moralitas akan nampak jelas terlihat di depan mata.
Penguasa di Indonesia sedemikian seperti itu, Socrates menyaksikan pemimpin Yunani ribuan tahun lalu dengan Indonesia pada pemerintah orde Baru memegang prinsip yang sama. Rasa kepentingan, egois, keserakahan, keangkuhan, kepentingan, kebohongan kebodohan dan kemaksiatan terjadi Merajalela hanya demi kepentingan sepihak semata.
Socrates melihat hal demikian menjadi nyata, saat itu oposisi di Yunani sangat sedikit sesuai dengan konteks wilayah yang sangat kecil. Namun berbeda dengan negara Indonesia, yang memiliki banyak sekali pulau dan jutaan penduduk, sehingga untuk mengatur sedemikian banyak ini tentu membutuhkan usaha maksimal dengan kerja sama satu sama lain.
Socrates menginginkan setiap pihak menjalankan fungsinya masing-masing, hidup bersama Socrates di Indonesia menjadi alasan seseorang untuk melakukan tugas sesuai tupoksi nya, tidak serta merta bodo amat untuk hidup dalam kebersamaan untuk sampai kepada keharmonisan.
Hidup dengan seorang warga negara seperti Socrates di negara penuh heterogenitas inilah membawa perubahan, dan bahkan langkah untuk sebuah cita-cita kemajuan. Keinginan mencapai kemajuan ini tentu salah satu langkah yang dilakukan melalui meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan.
Socrates memang bukan seorang yang bisa dikatakan terdidik. Namun, baginya kemampuan berfikir dalam ruang pendidikan bisa membawa seseorang warga negara menjadi lebih bijaksana dalam kehidupan.
Hidup bersama Socrates di negara yang penuh hiruk-pikuk ketidakjelasan ini, penuh dengan banyak problematika yang tidak pernah selesai. Membuat Socrates tidak lagi bertanya satu persatu kepada masyarakat, Socrates hidup di Indonesia akan menjadi bagian dari keseluruhan yang kacau balau, meskipun memaksimalkan usaha untuk memperbaiki, maka peluang untuk terjadi perubahan sangat minim. Sehingga, ruang gerak yang dilakukan adalah hidup seperti Socrates yang lain.
Memaksimalkan usaha hidup dengan kritis, bijaksana dan memperjuangkan kebenaran. Tidak berhenti pada satu aspek pandangan, terus mencari dengan kesadaran diri untuk sebuah penemuan yang telah diperjuangkan. Sebab, usaha untuk mencari segala sesuatu adalah keniscayaan manusia sebagai makhluk berfikir. Hidup bersama soda di Indonesia dapat membuat setiap orang belajar untuk terus menerus memperjuangkan kebenaran dalam bentuk apa pun.
Ukuran kebenaran itu tentu dilihat dari kemampuan seseorang menganggap kemaksimalan terhadap akal budi. Ini menjadi satu jalur benang merah untuk warga negara bisa menjadi cerdas dan bijaksana. Dengan mencerminkan hidup Seperti Socrates tentu banyak tantangan yang harus di hadapi, namun pada sisi lain ada banyak dampak positif yang bisa di Terima dan diaplikasikan sebagai wujud keberhasilan.
Socrates mengajarkan seseorang manusia untuk menguji hidup dengan belajar, untuk banyak tahu, dan untuk banyak memahami sekaligus memaknai. Socrates adalah manusia yang mencoba mendobrak doktrin mitologi dan takhayul menuju sikap rasionalitas dengan pertanggungjawaban atas kebenaran yang telah ditemukan.
Perjalanan waktu yang dilakukan Socrates hidup di Indonesia, merasakan hawa takhayul masih tercerna baik di mata masyarakat, namun pada aspek lebih panjang takhayul dan mitos tidak keseluruhan dinikmati sebagai pandangan hidup total, melainkan sebagai sebuah perjalanan dan pembelajaran.
Selain Itu juga Aspek kehidupan sosial di Indonesia tidak lepas dari kritikannya, melihat bagaimana pentingnya meningkatkan kualitas warga negara, kunci utama yang dilakukan adalah melalui pendidikan. Cara inilah paling relevan untuk dilakukan. Sebab jalan pendidikan bagi Socrates dapat melatih kemampuan seseorang untuk hidup menemukan makna mereka tersendiri.
Secara khusus hidup di Indonesia dengan keberagaman, cara pandang Socrates dan hidup bersama Socrates di Indonesia dapat membangun manusia Indonesia yang terjerumus dalam kebodohan dengan mengandalkan kecerdasan akal budi menuju kehidupan lebih bijaksana dengan diri yang memiliki pertanggungjawaban.
Ilustrasi: id.pngtree.com

Mahasiswa Pemikiran Politik Islam UIN Mataram