Kejadian-kejadian aneh yang belakangan terjadi di Lombok—mulai dari pembunuhan sadis hingga bunuh diri—sebenarnya memperlihatkan betapa rapuhnya kesadaran masyarakat tentang makna kehidupan dan kematian. Di satu sisi, pembunuhan menunjukkan betapa nyawa orang lain dipandang remeh, seolah tidak ada nilai dan harganya, dan di sisi lain, bunuh diri memperlihatkan betapa sebagian orang merasa kehilangan makna hidup hingga menutup perjalanan hidupnya dengan cara tragis. Dua hal ini sama-sama lahir dari kerapuhan spiritual: ketidakmampuan melihat kehidupan sebagai anugerah, dan ketidakmampuan menempatkan kematian sebagai pintu menuju pertanggungjawaban abadi. Di sinilah pentingnya edukasi tentang makna di balik kematian.
Dalam Islam, kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan baru menuju kehidupan yang kekal. Kesadaran akan kematian sejatinya menjadi rem moral agar manusia tidak dengan mudah menumpahkan darah sesamanya, sekaligus menjadi penguat mental agar tidak menyerah pada keputusasaan. Jika masyarakat diedukasi bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, maka logika kekerasan dan putus asa dapat ditekan.
Memang kematian adalah kepastian atau takdir yang tidak bisa ditunda atau ditolak, namun yang sering dilupakan dan patut kita sadari dan ilmui adalah bahwa kematian tidak serta-merta membungkus dan menghapus dosa yang pernah kita lakukan. Sebaliknya, ia membuka tabir seluruh amal, memperlihatkan dengan jelas apa yang pernah kita lakukan, baik atau buruk. Dalam konteks ini, peristiwa-peristiwa tragis yang kita dengar dan saksikan—seperti pembunuhan keji yang mengubur dan membuang jasad korban, atau tindakan bunuh diri karena putus asa—menjadi pengingat keras bahwa dosa tidak bisa bersembunyi di balik kematian. Justru kematianlah yang menyingkapkan jejak dan menuntut pertanggungjawaban.
Kasus pembunuhan yang disembunyikan dalam septic tank misalnya, seolah ingin menutupi kejahatan dari pandangan manusia. Namun ingatlah bahwa Allah tidak pernah tidur, jasad yang dikubur hina tetap ditemukan, kebenaran akhirnya terungkap, dan pelaku tidak bisa lari dari jerat hukum. Lebih dari itu, dosa pembunuhan adalah salah satu dosa besar yang sangat dikecam oleh Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah di dalam Al-qur’an surah Al-Ma’idah ayat 32, ”Min ajli dzâlika katabnâ ‘alâ banî isrâ’îla annahû mang qatala nafsam bighairi nafsin au fasâdin fil-ardli fa ka’annamâ qatalan-nâsa jamî‘â, wa man aḫyâhâ fa ka’annamâ aḫyan-nâsa jamî‘â, wa laqad jâ’at-hum rusulunâ bil-bayyinâti tsumma inna katsîram min-hum ba‘da dzâlika fil-ardli lamusrifûn”. Barangsiapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia. Dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan seluruh manusia.
Ayat ini menegaskan bahwa mengambil satu nyawa secara zalim sama beratnya dengan membunuh seluruh manusia. Nyawa adalah amanah suci dari Allah, dan darah yang tertumpah akan menjerit menuntut keadilan hingga akhirat kelak. Betapapun seorang pembunuh berusaha menutupi kejahatannya, catatan malaikat tidak akan pernah keliru, dan hukum Allah akan tetap menimpa.
Sementara itu, tragedi bunuh diri menunjukkan sisi lain dari manusia yang tidak kalah memilukan yakni keputusasaan. Banyak orang yang memilih jalan ini karena merasa tidak sanggup menanggung beban hidup. Namun Islam mengajarkan bahwa bunuh diri bukan jalan keluar, melainkan dosa besar. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim: “Barangsiapa bunuh diri dengan besi, maka besi itu akan berada di tangannya untuk menusuk dirinya ke perutnya di neraka jahannam, kekal di dalamnya selama-lamanya. Barangsiapa bunuh diri dengan racun, maka racun itu akan berada di tangannya untuk diminumnya di neraka jahannam, kekal di dalamnya selama-lamanya. Barangsiapa bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari gunung, maka dia akan menjatuhkan dirinya di neraka jahannam, kekal di dalamnya selama-lamanya.”
Hadis ini dengan tegas menunjukkan bahwa nyawa adalah milik Allah, bukan milik kita. Mengakhiri hidup sendiri adalah bentuk keputusasaan terhadap rahmat Allah, padahal Allah berjanji bahwa setiap kesulitan pasti disertai dengan kemudahan (Baca QS. Al-Insyirah ayat 5–6). Bunuh diri bukanlah jalan keluar, tetapi pintu masuk menuju penderitaan yang lebih panjang dan lebih berat di akhirat.
Dari dua peristiwa ini—pembunuhan dan bunuh diri—kita belajar bahwa kematian bukanlah penghapus dosa, melainkan pengungkap dosa. Pembunuh tidak bisa bersembunyi, yang terbunuh menjadi saksi, dan orang yang bunuh diri justru menanggung akibatnya sendiri. Inilah mengapa Allah mengingatkan manusia untuk selalu bertaubat sebelum ajal datang, karena saat kematian tiba, tidak ada lagi kesempatan. ”Wa lay yu’akhkhirallâhu nafsan idzâ jâ’a ajaluhâ, wallâhu khabîrum bimâ ta‘malûn“. Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Munafiqun ayat 11)
Maka, renungan mendalam yang bisa kita ambil adalah bahwa hidup ini adalah satu-satunya kesempatan untuk memperbaiki diri. Selama nafas masih ada, pintu taubat tetap terbuka. Jangan menunggu ajal untuk menghapus dosa, karena kematian justru membuka semua catatan hidup kita. Peristiwa-peristiwa tragis di sekitar kita seharusnya menjadi alarm bahwa setiap langkah, ucapan, dan perbuatan akan diperhitungkan. Kita tidak bisa menyembunyikan kejahatan, dan tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah.
Kematian akan menyingkap siapa kita sebenarnya, jika kita menutupinya dengan dosa, ia akan menguak aib kita. Tetapi jika kita isi dengan taubat, amal saleh, dan kebaikan, ia akan menjadi cahaya yang menyelamatkan. Karena itu, sebelum kematian datang, marilah kita gunakan kehidupan ini untuk memohon ampun, memperbaiki diri, dan menebar kebaikan, agar ketika pintu terakhir itu terbuka, yang tersisa hanyalah rahmat Allah yang memayungi kita.
Sebagai catatan pinggir, bahwa rangkaian peristiwa tragis berupa pembunuhan sadis dan bunuh diri di Lombok menyadarkan kita bahwa kematian bukanlah akhir yang menutup dosa, melainkan tabir yang membuka seluruh catatan amal kita. Nyawa adalah amanah suci dari Allah, sehingga mengambilnya dengan zalim atau mengakhirinya sendiri merupakan dosa besar yang mendatangkan konsekuensi berat di akhirat. Dari sini tampak bahwa akar dari tragedi-tragedi tersebut adalah rapuhnya kesadaran spiritual tentang makna hidup dan mati. Islam mengajarkan bahwa kematian adalah pintu menuju pertanggungjawaban abadi; ia bukan untuk ditakuti, melainkan untuk direnungi agar manusia berhenti dari kezaliman dan tidak putus asa dari rahmat Allah. Karena itu, sebelum ajal datang, kita dituntut untuk bertaubat, menebar kebaikan, serta menjaga diri dan orang lain dari dosa besar.[]

Dosen UIN Mataram






alhamdulillah..
barakallahu fiik ayahanda…
tulisan yang penuh dengan edukasi dan motivasi..
semoga kita semua dijauhkan dari keburukan² dunia ayah…terus berbenah untuk menguatkan spiritual diri…agar tdk gagal dalam memaknai hidup yg sesungguhnya..
aamiin..
tetap sehat dan semangat untuk ayah ✊️🙏🙏