Di Pintu Peradaban: Mengikuti Aliran Rahasia

KETIKA Prof. Dr. Abdul Wahid mengungkap sebuah “rahasia”, sesungguhnya ia sedang membuka tabir yang selama ini tersembunyi. Rahasia itu tidak hadir dalam bentuk yang mengagetkan atau mencengangkan semata, melainkan mengalir sebagaimana mestinya—tenang, alami, dan menyentuh sisi terdalam kesadaran manusia. Ia menjangkau hal-hal yang memang seharusnya benderang, namun kerap kali terhalang oleh kabut prasangka, keterbatasan logika, dan riuhnya suara-suara duniawi.

Dalam setiap ungkapannya, Prof. Dr. Abdul Wahid memperlihatkan bahwa rahasia bukanlah sesuatu yang eksklusif bagi segelintir orang. Justru sebaliknya, ia adalah pancaran kebenaran yang dapat dijangkau siapa saja, selama manusia bersedia menapaki jalan pergulatan—baik logika maupun batin. Ia menegaskan bahwa kebenaran tidak bisa hanya dicapai dengan akal yang kaku, tetapi harus disertai kelembutan jiwa, kesabaran, dan kerendahan hati.

Menulis, dalam pandangan Prof. Dr. Abdul Wahid, sering kali dianggap sebagai sesuatu yang rumit, bahkan penuh doktrin. Banyak orang memandangnya sebagai kewajiban akademis, pekerjaan administratif, atau sekadar keterampilan teknis. Namun di balik itu, menulis sesungguhnya adalah sebuah laku batin. Ia bukan sekadar menyusun kata, tetapi mengurai benang-benang pikiran, menghubungkan pengalaman dengan pengetahuan, serta merangkai rasa dengan makna.

Kerumitan itu, pada akhirnya, bisa luluh. Menulis yang awalnya kaku, penuh beban aturan, bisa menjadi cair ketika seseorang berani melepaskan diri dari ketakutan. Ia menjadi cair ketika disadari bahwa tulisan bukanlah tembok, melainkan sungai. Sungai itu mengalir melewati bebatuan logika, melewati lembah keraguan, hingga tiba di sebuah pintu peradaban. Menulis menjadi cara manusia untuk hadir dalam sejarah, meninggalkan jejak, sekaligus menyambungkan diri dengan orang lain.

Prof.  Dr. Abdul Wahid mengingatkan, pintu peradaban itu tidak akan terbuka jika manusia hanya berhenti pada kesan luar. Dibutuhkan keberanian untuk membaca ulang, merenungkan kembali, dan menimbang ulang setiap teks yang pernah ditulis maupun dibaca. Sebab di situlah letak keajaiban teks: ia tidak pernah selesai dalam sekali baca, melainkan selalu melahirkan makna baru pada setiap perjumpaan.

Baca Juga  Spirit Al-Qur'an Merawat Keberagaman

Membaca ulang teks, bagi Prof. Dr. Abdul Wahid, adalah sebuah ziarah intelektual. Sama halnya seperti seorang peziarah yang kembali mengunjungi tempat suci untuk menemukan ketenangan, membaca ulang teks adalah usaha kembali ke sumber pengetahuan dengan hati yang lebih jernih. Setiap kata menjadi penanda, setiap kalimat adalah rambu, dan setiap makna adalah cahaya yang menuntun perjalanan.

Dengan membaca ulang, seseorang tidak hanya memahami isi, tetapi juga memahami dirinya sendiri. Teks lalu berfungsi sebagai cermin yang memantulkan siapa diri kita, kelemahan kita, dan potensi kita. Lebih dari itu, teks juga bisa menjadi lentera yang menyinari jalan ke depan. Maka, membaca bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan juga perjalanan spiritual: sebuah langkah menuju terang yang menganyomi dan menuntun langkah.

Dalam konteks inilah Aba Du Wahid (nama medsosnya) menekankan pentingnya kesabaran. Tidak semua rahasia bisa langsung dipahami, tidak semua kebenaran bisa langsung dipegang. Kadang, kita harus berulang kali kembali pada teks, pada pengalaman, pada refleksi, hingga makna itu benar-benar menyapa. Inilah kesabaran intelektual yang sekaligus merupakan kesabaran batin.

Rahasia yang diungkap Aba Du Wahid sejatinya bukanlah sesuatu yang asing. Ia adalah cahaya yang selalu ada, hanya saja kadang tertutup oleh tirai kebingungan. Begitu tirai itu tersibak, cahaya itu mengalir, lembut, tenang, dan penuh makna. Ia menyinari tidak hanya akal, tetapi juga hati.

Cahaya itu membuat kita memahami bahwa menulis dan membaca bukanlah tujuan akhir, melainkan jalan. Jalan untuk mengenal diri, mengenal dunia, dan mengenal Sang Pencipta. Jalan itu berliku, kadang terjal, namun selalu menawarkan pemandangan indah bagi mereka yang sabar. Di sepanjang jalan itu, kita menemukan harmoni antara logika dan batin, antara kata dan makna, antara rahasia dan terang.

Baca Juga  Talaq dan Realitas Kontemporer

Pada akhirnya, seluruh refleksi ini bermuara pada satu hal: rasa syukur. Karena setiap pengetahuan yang datang, setiap rahasia yang terbuka, dan setiap cahaya yang menyinari adalah anugerah. Ia bukan hasil semata dari usaha manusia, tetapi juga bagian dari berkah yang diberikan.

Maka, ucapan sederhana “terima kasih atas berkah hari ini” bukanlah sekadar kalimat penutup. Ia adalah doa, pengakuan, sekaligus pembuka bagi kesadaran baru. Kesadaran bahwa hidup adalah aliran yang tak pernah berhenti. Pengetahuan, tulisan, dan pengalaman hanyalah bagian dari arus besar itu. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyadari, merasakan, dan mensyukuri setiap alirannya.

Sebagaimana dikatakan Aba Du Wahid, rahasia itu akan selalu mengalir sebagaimana mestinya. Tugas kita hanyalah mengikuti aliran itu dengan ketulusan, kesabaran, dan syukur. Sebab di atas apa saja, di balik kata-kata, di dalam rahasia, dan di sepanjang perjalanan—semuanya sesungguhnya mengalir menuju terang.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *