Eksodus dan Dekolonisasi Spiritual: Mitos Pembebasan dalam Dialektika Iman

Menelaah uraian perkuliahan Prof. Michael Alexander dalam Mata Kuliah ”Religion, Myths and Rituals” dengan Tema ”African-American Religion: Exodus sebagai Mitos Sentral” dapat disimpulkan bahwa Narasi Eksodus menjadi simbol perjuangan hak sipil Afrika-Amerika: Oleh Martin Luther King Jr. mempertegas sebagai panggilan untuk transformasi moral, integrasi, dan non-kekerasan, sementara Malcolm X melihatnya sebagai dasar pemisahan, pemberdayaan komunitas, dan pembelaan diri. Kedua warisan ini terus membentuk wacana keadilan, identitas, dan pembebasan yang menunjukkan fleksibilitas mitos keagamaan dalam menentang penindasan.

Pada era perjuangan hak sipil Afrika-Amerika, narasi Eksodus—kisah pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir menuju Tanah Perjanjian—menjadi lensa kuat untuk memahami penindasan dan harapan pembebasan. Martin Luther King Jr. menafsirkan Amerika sebagai Mesir modern yang menindas orang Afrika-Amerika, namun percaya bahwa bangsa ini memiliki potensi untuk menjadi Tanah Perjanjian melalui transformasi moral dan sosial. Dengan filsafat non-violent resistance yang berakar pada ajaran Kristen dan ajaran Gandhi, King menekankan integrasi dan pembebasan inklusif, kata “kita” dalam pidatonya tidak hanya merujuk pada komunitas kulit hitam, tetapi seluruh bangsa, menegaskan visi moralnya tentang penebusan Amerika.

Di sisi lain, Malcolm X, yang dipengaruhi oleh tradisi Nasionalisme Kulit Hitam dan ajaran Nation of Islam, menafsirkan narasi Eksodus secara terbalik: orang kulit hitam adalah umat asli yang tertindas, sementara orang kulit putih adalah penindas yang tidak bisa diubah. Ia menolak integrasi dan menekankan pemisahan rasial, pembangunan komunitas mandiri, serta hak untuk membela diri (by any means necessary). Perjalanan spiritualnya pasca-Haji membuka perspektif internasional dan anti-rasialis, tetapi fokus pada pemberdayaan komunitas Afrika-Amerika tetap menjadi inti perjuangannya.

Latar belakang lahirnya pemikiran Malcolm X tidak bisa dilepaskan dari sejarah kekecewaan pasca-Emansipasi dan Migrasi Besar, ketika orang Afrika-Amerika meninggalkan wilayah Selatan yang ditandai Jim Crow menuju kota-kota industri wilayah Utara, hanya menemukan bentuk diskriminasi baru. Marcus Garvey dan UNIA (Universal Negro Improvement Association) menjadi inspirasi awal, akar ideologis penting bagi munculnya gagasan nasionalisme kulit hitam, yang menekankan kebanggaan pada warisan Afrika, kemandirian, dan gagasan “Back to Africa,” yang kemudian diterjemahkan oleh Malcolm X menjadi separatisme domestik dan ekonomi melalui NOI (Nation of Islam).

Warisan kedua narasi ini tetap hidup hingga kini. Filosofi King menginspirasi perjuangan moral, integrasi, dan aktivisme non-kekerasan, sementara Malcolm X memengaruhi penekanan pada otonomi komunitas, analisis sistemik rasisme, dan pemberdayaan diri. Ketegangan antara reformasi dan revolusi, integrasi dan separasi, kasih sayang dan pembelaan diri, menjadi dialektika yang terus membentuk wacana tentang keadilan, identitas, dan pembebasan di Amerika, menunjukkan bahwa narasi Eksodus adalah alat fleksibel untuk memahami perjuangan manusia dalam menghadapi penindasan.

Dari ringkasan di atas, dapat kita pahami bahwa setiap zaman memiliki mitos yang menyalakan hati manusia. Bagi komunitas kulit hitam Amerika abad ke-20 misalnya, mitos itu adalah kisah Eksodus—bangsa Israel meninggalkan perbudakan Mesir menuju Tanah Perjanjian. Namun kisah kuno ini tidak berhenti di altar gereja; ia menyala di jalanan, menjadi api iman yang politis. Di sinilah sejarah bertemu spiritualitas dan iman menjadi senjata moral untuk menafsirkan penderitaan dan menuntut pembebasan. Dua tokoh besar—Martin Luther King Jr. dan Malcolm X—mengambil kisah yang sama, tetapi menyalakannya dengan cara yang berbeda.

Baca Juga  Dilema Pesantren dan Belenggu Modernitas

Bagi King, Amerika adalah Mesir modern yang makmur tetapi berlumur dosa rasial. Namun, ia percaya Mesir bisa bertobat. Iman baginya bukan dogma yang menundukkan, tetapi api moral yang menyalakan harapan. Dengan teologi cinta dan integrasi, King mengubah kisah Eksodus menjadi seruan etis dan sosial: Tanah Perjanjian bukan sekadar wilayah geografis, melainkan masyarakat adil di mana setiap manusia diakui martabatnya. Dalam pidatonya yang legendaris, King menyerukan agar seluruh bangsa—bukan hanya komunitas kulit hitam—bergerak bersama menuju keadilan.

 Di ujung jalan yang sama, Malcolm X menyalakan api lain—lebih panas, lebih tajam, atau bahkan lebih radikal. Bagi Malcolm, Amerika bukan Mesir yang bisa diselamatkan, tetapi Mesir yang harus ditinggalkan. Ia memanfaatkan ajaran Nation of Islam untuk membalik struktur kolonial kesadaran—orang kulit hitam adalah “umat asli,” sementara orang kulit putih adalah simbol penindasan. Identitas yang hilang ditegaskan kembali melalui huruf “X,” tanda penghapusan warisan budak dan pemulihan martabat. Iman bagi Malcolm, adalah pisau tajam yang memotong kebohongan sejarah, dan agama bukan untuk menenangkan hati, tetapi membangunkan kesadaran, menuntut keadilan di bumi, dan memperkuat hak untuk membela diri.

Di tangan King dan Malcolm X, iman menjadi medan tafsir yang menakjubkan: kisah Eksodus yang sama melahirkan dua visi politik yang bertolak belakang. King memilih teologi cinta dan integrasi, Malcolm memilih teologi kemarahan dan pemisahan. Namun keduanya membuktikan satu hal; mitos keagamaan tidak pernah mati. Ia berubah fungsi, dari ritus menjadi retorika, dari doa menjadi perlawanan. Mitos memberi struktur makna bagi penderitaan dan sekaligus menjawab pertanyaan: Mengapa kita tertindas? Siapa kita sebenarnya? Ke mana kita menuju?

Apa yang dilakukan Malcolm X adalah dekolonisasi spiritual—menolak teologi kolonial yang memaksa orang kulit hitam bersabar dan mencintai penindas. King memurnikan agama dari kekerasan, Malcolm memurnikannya dari kepatuhan palsu. Keduanya mengembalikan iman pada fungsi awalnya—menantang kekuasaan yang menindas manusia. Jika Musa hidup di abad ke-20, ia akan menyeberangi perbatasan sosial, bukan Laut Merah; membawa megafon dan poster protes, sementara King dan Malcolm X adalah Musa modern, masing-masing dengan api yang berbeda—kasih sayang dan kemarahan yang suci.

Gerakan Black Lives Matter (BLM) hari ini adalah warisan langsung dari dua tradisi itu. Dari King, ia mewarisi strategi tanpa kekerasan, mobilisasi publik, dan moralitas inklusif. Dari Malcolm X, BLM mengambil keberanian untuk marah, analisis sistemik terhadap rasisme, dan tekad membangun otonomi komunitas. Eksodus belum berakhir—Mesir selalu punya wajah baru, dan Musa selalu muncul dalam bentuk lain.

Kita sering diajarkan bahwa iman adalah urusan pribadi dan kepatuhan, tetapi sejarah membuktikan sebaliknya, bahwa iman bisa menjadi api, dan api bisa menjadi pembebasan. Ketika ketidakadilan menindas atas nama ketertiban, iman tidak lagi bisa diam, ia menyalakan kembali narasi kuno; keluar dari Mesir, melintasi padang gurun, dan menuntut Tanah Perjanjian. Iman sejati bukan ketaatan tanpa kritik, tetapi keberanian menentang ketidakadilan. Mitos tidak mati; ia berganti wajah. Dan ketahuilah bahwa setiap kali iman berubah menjadi api, sejarah pun bergerak.

Baca Juga  Pemikiran TGH. Munajib Khalid tentang Literasi dan Pendidikan Pondok Pesantren

Api moral yang menyalakan nurani dan menentang ketidakadilan, dalam konteks Indonesia bermakna bahwa keberagamaan tidak cukup diukur dari kesalehan pribadi, tetapi juga dari keberanian moral untuk melawan diskriminasi, ketimpangan sosial, dan penyalahgunaan kekuasaan. Seperti halnya King dan Malcolm X, iman seharusnya mendorong elemen bangsa untuk menjadi umat yang aktif memperjuangkan keadilan, bukan pasif dalam menghadapi penindasan.

Dua arus besar dalam kisah di atas—teologi cinta (King) dan teologi kemarahan suci (Malcolm X)—menawarkan dialektika moral yang juga dibutuhkan Indonesia. Cinta mencegah kekerasan dan menjaga kemanusiaan, sementara kemarahan suci menolak kompromi terhadap kezaliman. Bangsa Indonesia dapat belajar bahwa perubahan memerlukan keseimbangan antara kasih sayang yang mempersatukan dan keberanian yang mengguncang ketidakadilan. Dalam konteks ini, cinta bukan kelemahan, dan kemarahan bukan dosa—keduanya menjadi energi etis untuk memperjuangkan kebenaran.

King menegaskan bahwa perjuangan keadilan bukan hanya urusan kelompok tertentu, tetapi panggilan moral seluruh bangsa. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, nilai ini meneguhkan pentingnya solidaritas lintas agama, etnis, dan kelas sosial. “Tanah Perjanjian Indonesia” hanya dapat dicapai bila setiap warga merasa diakui martabatnya, dihormati haknya, dan dilibatkan dalam perjalanan menuju keadilan sosial. Dengan demikian, iman tidak memecah, tetapi menyatukan perbedaan di bawah cahaya kemanusiaan.

Ketika iman berubah menjadi api, ia menggerakkan kesadaran kolektif dan mendorong perubahan sosial. Indonesia memerlukan spiritualitas yang hidup—iman yang berani turun ke jalan keadilan, iman yang tidak diam di mimbar, tetapi hadir di ruang publik, di tengah rakyat kecil, di antara mereka yang tertindas. Di sinilah iman menjadi kekuatan pembebasan, bukan pelarian dari kenyataan.

Sebagai catatan akhir, bahwa kisah Eksodus menjadi mitos pembebasan yang hidup kembali dalam perjuangan hak sipil kulit hitam Amerika melalui dua tafsir besar: Martin Luther King Jr. dengan teologi cinta, non-kekerasan, dan integrasi moral bangsa; serta Malcolm X dengan teologi kemarahan, pemisahan, dan dekolonisasi spiritual. Keduanya menjadikan iman sebagai kekuatan politis dan moral untuk menentang penindasan. Warisan mereka hidup dalam gerakan Black Lives Matter yang memadukan moralitas King dan militansi Malcolm, menandakan bahwa iman sejati bukanlah kepatuhan pasif, melainkan api pembebasan yang terus menyalakan perubahan sejarah. Iman sejati adalah keberanian moral untuk menyalakan api kebenaran di tengah kegelapan sosial. Hanya bangsa yang imannya menyala—dengan cinta, keberanian, dan kesadaran moral—yang akan mampu menyalakan peradaban yang bermartabat.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *