Mengapa Kita Takut Menikah?

Fenomena “married is scary” yang sempat viral di TikTok belakangan ini memang jadi pembicaraan hangat, terutama di kalangan orang-orang yang sudah memasuki usia menikah namun masih ragu untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Banyak yang merasa takut menikah, padahal usia sudah cukup matang, ada yang di usia 20-an bahkan 30-an, namun belum menikah juga.

Fenomena ini sebenarnya bukan soal ketakutan terhadap pernikahan itu sendiri, tetapi lebih kepada ketakutan untuk menikah dengan orang yang salah. Banyak yang berpikir, “Married is scary, bagaimana kalau suami kamu suka main tangan?” “Married is scary, bagaimana kalau suamimu tidak pada hal-hal kecil?” “Married is scary, bagaimana kalau suami kamu patriarki?”

Semua ketakutan ini muncul karena banyak kasus perceraian yang terjadi akibat masalah seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perlakuan diam (silent treatment), hingga pola pikir yang tidak adil terhadap perempuan.

Pernikahan itu sebenarnya bukan hanya soal cinta dan janji manis, tapi juga soal komitmen dan saling pengertian. Kita semua pasti tahu, pernikahan itu adalah proses panjang yang melibatkan dua individu dengan latar belakang dan karakter yang berbeda. Dan dalam perjalanan tersebut, masalah pasti muncul.

Tapi, yang sering kali ditakuti adalah masalah-masalah besar yang bisa merusak kebahagiaan dalam pernikahan. Salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Ketakutan seperti ini wajar banget muncul, karena siapa yang mau hidup dalam situasi yang menakutkan dan menyakitkan?

Banyak orang yang merasa takut kalau pasangannya berperilaku kasar, suka main tangan, atau bahkan verbal abuse yang sama-sama menghancurkan mental dan emosi pasangan. Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah yang serius dan tidak boleh dianggap enteng. Faktanya, banyak pernikahan yang berakhir dengan perceraian karena masalah seperti ini.

Selain itu, ada juga yang takut kalau pasangan mereka tidak menghargai hak-hak kecil dalam pernikahan. Banyak cerita tentang suami yang tidak membagi pekerjaan rumah dengan adil, tidak memberi perhatian yang cukup, atau meremehkan hal-hal yang sebenarnya penting dalam membangun hubungan.

Baca Juga  Fatima Seedat: Muslimah Reformis dari Afrika Selatan

 Misalnya, kalau pasanganmu sering menganggap sepele ketika seorang istri meminta bantuan di rumah, atau tidak mau berkomunikasi dengan baik saat ada masalah. Hal-hal kecil yang tidak dihargai ini, kalau dibiarkan, bisa menjadi bom waktu yang suatu saat bisa meledak. Lama-lama, ketidakpedulian itu bisa membuat hubungan semakin renggang.

Dan yang tidak kalah menakutkan adalah pola pikir patriarki yang masih kental dalam kebudayaan kita. Banyak yang merasa takut kalau suami mereka punya pandangan bahwa wanita harus selalu di rumah, mengurus anak, dan tak boleh berpendapat di depan suami.

Pandangan ini sering kali mengarah pada ketidaksetaraan dalam peran dalam rumah tangga, dan sangat merugikan bagi kedua belah pihak. Pernikahan yang sehat itu bukan soal siapa yang dominan, tapi tentang saling menghormati dan berbagi tanggung jawab secara setara.

Tapi, selain ketakutan-ketakutan tersebut, ada satu ketakutan lagi yang cukup banyak dikhawatirkan dalam fenomena ini, yaitu ketakutan kalau pasangan kita selingkuh. Ketakutan tentang “bagaimana kalau suami tidak cukup dengan satu perempuan?” ini sangat relevan di zaman sekarang, di mana sosial media dan dunia digital memberikan banyak peluang bagi orang untuk berinteraksi dengan orang lain di luar pernikahan mereka.

Banyak yang merasa takut jika suami mereka tergoda oleh wanita lain dan akhirnya mengkhianati komitmen dalam pernikahan. Perselingkuhan bukan hanya tentang kehilangan pasangan, tetapi juga tentang hancurnya rasa percaya yang sudah dibangun selama ini. Hal ini menjadi salah satu ketakutan terbesar karena bisa merusak segalanya, rasa percaya, keharmonisan, dan yang paling penting, harga diri.

Tentu saja, tidak semua pernikahan seperti itu. Masih banyak pasangan yang berhasil membangun hubungan yang sehat, saling mendukung, dan tumbuh bersama. Namun, ketakutan-ketakutan tersebut tetap nyata adanya, dan tidak bisa begitu saja diabaikan. Pernikahan seharusnya menjadi tempat yang aman untuk kedua belah pihak, tempat di mana cinta dan komitmen bisa berkembang tanpa ada rasa takut yang berlebihan.

Baca Juga  Menjadi Relawan, Menjadi Pancasilais

Jadi, rasa takut seperti ini sebenarnya sangat wajar. Itu adalah bentuk kewaspadaan yang bisa jadi pengingat agar kita tidak sembarangan memilih pasangan, dan agar kita lebih sadar dalam membangun hubungan yang sehat. Memang, pernikahan bukan tentang mencari orang yang sempurna, tetapi mencari orang yang tepat dan bisa saling menerima kekurangan masing-masing. Dan untuk mencapai itu, komunikasi yang baik, kesabaran, dan saling pengertian adalah hal yang paling penting.

Pada akhirnya, pernikahan itu bukan soal apakah kita takut atau tidak, tetapi apakah kita siap untuk berkomitmen dengan seseorang yang bisa kita percayai dan yang juga siap untuk berkomitmen dengan kita. Jadi, jika kamu merasa takut dengan pernikahan, tidak perlu merasa aneh atau cemas.

Rasa takut itu justru bisa jadi pertanda bahwa kamu siap untuk melangkah dengan hati-hati, agar tidak terjebak dalam pernikahan yang salah. Jangan sampai ketakutan itu malah menghalangi kamu untuk meraih kebahagiaan yang bisa datang dari pernikahan dengan orang yang tepat.

Menikahlah dengan seseorang yang bisa menghargai, mencintai, dan menerima kamu apa adanya. Karena pada akhirnya, pernikahan yang sehat itu adalah tentang membangun kehidupan bersama, bukan hanya tentang perasaan takut yang menghalangi langkah kita menuju kebahagiaan.


Ilustrasi: Tirto.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *