Tidak akan Ada Negara yang Maju, Jika Tidak Mengutamakan Guru!

Guru adalah garda terdepan pendidikan. Mereka bukan hanya menyampaikan pelajaran di kelas, tetapi juga mendidik, merawat, dan membentuk karakter generasi bangsa. Ketika orang tua menyerah dalam mendidik anak, gurulah yang mengambil peran. Ketika masyarakat berharap lahir manusia mandiri dan siap menghadapi pasar kerja, gurulah yang menanggung tanggung jawab besar itu. Namun ironisnya, profesi yang begitu strategis bagi masa depan bangsa ini justru kerap diperlakukan seolah tidak bermakna, bahkan dipandang sebagai beban.

Berita terbaru dari Kota dan Kabupaten Bima memperlihatkan luka lama yang kembali dibuka. Ribuan guru swasta turun ke jalan, mendesak kesetaraan hak dengan guru negeri, khususnya terkait pengangkatan sebagai ASN PPPK. Mereka berorasi di depan Gedung DPRD dan Kantor Kementerian Agama menuntut agar aspirasi mereka didengar dan ditindaklanjuti. Guru-guru ini meminta agar sekolah swasta dan madrasah tidak terus-menerus dipinggirkan, agar mereka pun mendapat hak yang sama dengan guru negeri dalam regulasi ASN. (halobima.com, 18 September 2025).

Kebijakan pemerintah memang sering hadir dengan janji-janji. Program PPPK, tunjangan, sertifikasi, hingga kebijakan makan siang gratis, semuanya digadang sebagai bukti perhatian negara. Namun di lapangan, hal-hal itu tidak benar-benar menjawab akar persoalan. Status kerja guru yang terfragmentasi—antara PNS, PPPK, honorer, dan swasta—menciptakan jurang kesejahteraan yang lebar. Guru swasta dan PPPK sering kali tidak memperoleh tunjangan penuh, tidak punya jenjang karir yang jelas, bahkan tak punya jaminan pensiun. Padahal mereka menjalankan beban yang sama dengan guru negeri.

Demo Guru Honorer Madrasah Swasta di Depan Kantor DPRD Kabupaten Bima (18/9/2025)

Ketidakpastian ini makin diperparah oleh regulasi yang lambat dan tidak tegas. Pemerintah memang menyebut ada wacana penyetaraan PPPK dengan PNS, tapi hingga kini regulasi pelaksana dari UU ASN belum kunjung disahkan (detik.com, 2024). Guru pun hanya bisa menunggu, sementara hidup mereka berjalan dalam ketidakpastian.

Lebih menyakitkan lagi, adalah pernyataan sebagian pejabat yang meremehkan profesi guru. Belum lama ini, publik digegerkan oleh video yang menyebut guru sebagai “beban negara.” Meskipun belakangan terungkap bahwa video itu merupakan hoaks, tetap saja muncul kesan bahwa pejabat kita sering salah kaprah memandang guru. Pernyataan yang membandingkan beban anggaran pendidikan dengan kontribusi masyarakat menimbulkan luka. Guru tidak seharusnya dipandang sebagai angka di dalam APBN, melainkan sebagai investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa (detik.com, 2024).

Fakta di lapangan menunjukkan betapa guru sering harus berjuang sendirian. Ada kepala sekolah yang diberhentikan hanya karena menegur anak pejabat. Ada operator sekolah yang harus “ngamuk” ke dinas agar dana BOS cair. Ada pula guru yang diminta ikhlas mengajar, seolah pengabdian identik dengan menerima ketidakadilan. Pertanyaan yang menggelayut di benak banyak orang adalah: sampai kapan profesi guru dianggap remeh? Sampai kapan bangsa ini tidak menempatkan guru di posisi yang layak?

Tidak ada negara yang maju jika tidak mengutamakan guru. Korea Selatan, Finlandia, Jepang—negara-negara yang kini dipuji karena sistem pendidikannya—justru berhasil karena menempatkan guru di posisi paling terhormat dalam kebijakan publik. Di Indonesia, sebaliknya, guru sering menjadi pihak terakhir yang dipikirkan dalam kebijakan negara.

Sudah saatnya bangsa ini sadar bahwa guru bukan beban, melainkan penolong bangsa. Guru adalah investasi jangka panjang yang harus dijaga kesejahteraannya. Negara perlu segera menghapus diskriminasi status kerja dengan menyetarakan hak PPPK dan guru swasta dengan PNS, mempercepat regulasi pelaksanaan UU ASN, serta memastikan transparansi anggaran pendidikan agar benar-benar sampai ke tangan guru.

Lebih dari itu, pejabat negara harus berhati-hati dalam berbicara. Ucapan yang meremehkan guru tidak hanya menyakiti hati ribuan pendidik, tetapi juga melemahkan martabat bangsa. Menghargai guru bukanlah soal basa-basi di Hari Pendidikan Nasional, melainkan tindakan nyata dalam kebijakan dan anggaran.

Guru bukan beban negara. Mereka adalah penopang utama bangsa ini. Tanpa guru, tidak ada dokter, insinyur, pejabat, bahkan presiden. Jika negara terus mengabaikan kesejahteraan mereka, maka sesungguhnya negara ini sedang meruntuhkan fondasinya sendiri.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *