Puisi Mempunyai Tugas Profetik

Puisi, sebagaimana dipaparkan oleh Prof. Abdul Wahid dalam pagelaran sastra dan diskusi buku Imaji Air Api, bukanlah sekadar rangkaian kata indah atau permainan bahasa yang memanjakan telinga pembacanya. Lebih dari itu, puisi memiliki misi yang luhur: menjalankan “tugas kenabian” atau profetik.

Dalam pandangan beliau, puisi hadir untuk melampaui kepentingan duniawi sang penulis, bahkan melampaui dirinya sendiri. Setelah sebuah buku diterbitkan, ia bukan lagi milik penulis, melainkan milik publik yang bebas menafsirkan. Maka, puisi menjadi ruang dialog, ruang spiritual, dan ruang sosial bagi siapa pun yang membacanya.

Pemahaman bahwa puisi mempunyai tugas profetik membawa kita pada wilayah yang sangat dalam: puisi sebagai medium pembebasan dan penyadaran. Ia tidak lahir sekadar untuk mencari popularitas atau keuntungan, melainkan untuk menggugah nurani, menyuarakan keresahan, dan menyampaikan cinta yang tulus, sama halnya seperti yang ditunjukkan oleh seorang sufi besar, Rabiah al-Adawiah.

Dalam pengantarnya, Prof. Wahid menyinggung kisah legendaris Rabiah al-Adawiah. Suatu hari, Rabiah berjalan dengan air di tangan kiri dan lilin di tangan kanan. Ketika ditanya apa yang ia lakukan, ia menjawab bahwa ia ingin memadamkan api neraka dengan air di tangan kirinya, dan ingin membakar surga dengan api di tangan kanannya. Tujuannya sederhana namun mendalam: ia ingin menunjukkan bahwa kecintaannya kepada Allah tidak berlandaskan rasa takut akan neraka atau harapan akan surga, melainkan murni karena cinta kepada Allah itu sendiri.

Kisah ini sesungguhnya dapat dibaca sebagai metafora yang indah bagi fungsi puisi. Rabiah menolak logika imbalan-hukuman, ia memilih jalan yang tulus, jalan cinta. Demikian pula puisi—ketika ditulis dengan hati yang bersih dan niat yang jernih—hadir bukan untuk keuntungan, bukan untuk posisi sosial, melainkan untuk menyampaikan sesuatu yang lebih hakiki: kerinduan akan kebenaran, pencarian makna hidup, serta usaha memanusiakan manusia.

Maka, bila Rabiah mengajarkan spiritualitas yang murni, puisi pun mengajarkan kesadaran yang sama. Puisi yang benar-benar lahir dari kegelisahan terdalam seorang penyair akan mampu membangunkan pembacanya dari tidur panjang materialisme. Ia menghadirkan energi batin yang sering terabaikan dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga  Hoax itu Apa, Lalu Harus Bagaimana?

Buku Imaji Air Api yang menjadi bahan diskusi menegaskan bahwa puisi adalah simbol perlawanan. Perlawanan ini tidak melulu bersifat politis atau ideologis, melainkan juga spiritual dan eksistensial. Ketika doa-doa dengan bahasa agama tidak lagi membumi, puisi hadir untuk membumikannya kembali. Ia menjembatani jurang antara bahasa langit dan realitas bumi, antara teks suci yang agung dan pengalaman hidup sehari-hari yang penuh luka dan keresahan.

Dalam konteks sosial, puisi juga sering lahir dari jeritan kaum terpinggirkan. Buruh, nelayan, petani, atau kelompok lain yang sering dilupakan sejarah menjadi sumber inspirasi bagi penyair. Dalam hal ini, puisi bukan sekadar hiburan intelektual, tetapi juga bentuk keberpihakan. Ia berpihak pada yang lemah, yang tak bersuara, yang terpinggirkan.

Itulah mengapa Prof. Wahid menyebut bahwa puisi mempunyai tugas profetik. Ia mengambil sebagian peran nabi: menyampaikan kebenaran, menyuarakan keadilan, dan menggugah kesadaran moral masyarakat.

Lebih jauh, puisi tidak hanya berbicara tentang manusia dan masyarakat, tetapi juga tentang Tuhan. Puisi menggugah kesadaran ilahiyah, kesadaran akan energi batiniah yang tersembunyi dalam diri manusia. Di tengah kehidupan modern yang serba materialistik, puisi mengingatkan kita bahwa ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kepuasan jasmani. Ada kerinduan spiritual, ada pencarian makna, ada dialog batin yang tidak dapat diisi oleh benda-benda duniawi.

Dalam fungsi profetiknya, puisi seolah mengambil peran kecil kitab suci. Ia mengangkat nilai-nilai keilahian ke dalam bahasa yang lebih membumi, bahasa yang mampu menyentuh hati manusia. Puisi memadukan keindahan kata dengan kedalaman makna, sehingga ia tidak hanya dipahami dengan logika, tetapi juga dirasakan dengan jiwa.

Hal menarik yang juga ditegaskan Prof. Wahid adalah bahwa seorang penulis atau penyair, pada dasarnya, sudah “mati” setelah karyanya diterbitkan. Maksudnya, karya itu sudah bukan lagi miliknya secara penuh. Ia telah menjadi milik publik. Orang lain bebas menafsirkan, bahkan mungkin menafsirkannya berbeda dari maksud awal sang penulis.

Baca Juga  Ujung dari Agama

Di sinilah letak keindahan dan kerendahan hati seorang penyair sejati: ia tidak lagi mengejar kepentingan pribadi, tetapi menyerahkan karyanya untuk dibaca, diperdebatkan, dan ditafsirkan oleh masyarakat.

Dengan demikian, puisi tidak lagi berdiri sebagai ekspresi ego seorang penulis, melainkan sebagai ruang bersama. Ia menjadi milik orang banyak, milik sejarah, milik generasi. Penyair hanya perantara, medium kecil dari sesuatu yang lebih besar: keresahan, kebenaran, cinta, dan keadilan.

Dari seluruh uraian Prof. Abdul Wahid dalam diskusi buku Imaji Air Api, kita dapat menarik kesimpulan bahwa puisi mempunyai dimensi profetik yang tidak bisa diabaikan. Ia bukan sekadar karya seni, melainkan juga pesan moral, spiritual, dan sosial. Puisi adalah suara bagi yang bisu, cahaya bagi yang gelap, pengingat bagi yang lalai.

Kisah Rabiah al-Adawiah memberi teladan tentang cinta yang murni, dan puisi berusaha menghidupkan cinta yang sama dalam ruang publik. Dalam dunia yang penuh hiruk pikuk, puisi hadir sebagai napas, sebagai doa yang membumi, sebagai renungan yang membebaskan. Tugas profetik puisi adalah membangkitkan kesadaran ilahiyah sekaligus kesadaran kemanusiaan, agar manusia tidak terjebak dalam pusaran materialisme dan lupa akan hakikat dirinya.

Akhirnya, sebagaimana ditegaskan Prof. Wahid, puisi lahir dari kegamangan dan keresahan seorang penyair, terutama atas nasib mereka yang terpinggirkan. Karena itu, puisi bukan hanya tentang estetika, melainkan juga tentang etika. Ia adalah panggilan jiwa, seruan kebenaran, dan tugas profetik yang harus dijalankan demi kemanusiaan.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *