Aku tak pernah bercita-cita menjadi pemburu senja
Keruh jingganya seakan menelanjangiku
Ombak yang dibentuk dari lentik bulu mata mu
Yang menyisakan keringat pasir di bola pimpong dada bulat itu
Pohon kering bersepatu sampah tak ingin membungkus awan
Serta jilbab kusut tak berwarna memikul pilu senja dalam karung rongsokan
Aku ingin menyusuri jingga lorong di atas laut
Yang cahayanya menjulur seperti lidahmu yang mengubur mataku
Suara adzan dan musik saling gulung
menggusur senja yang yatim piatu
Diganti hias merah kuning hijau
Yang tak mungkin sebiru cinta kita
Aku adalah selangkangan
yang menghadap laut tanpa terima kasih
Dan kau adalah kursi kosong
yang tak pernah bisa menikmati segala keterlanjuran
Bukan jingga
Jika patah membuatmu kembali tiba
Gelombang yang setia pada kursi dan selangkangan
Yang selalu pulang tanpa jam tangan
Ziarah Aquarium
Oscar si pemburu berdarah beku yang tak bersarung catur
Sepat, si kencur perangkai pelangi yang jujur
Mangap tenang dalam pengap
Seperti gading rumput gajah di tubir wajahmu
Yang terus mendengus curiga tuas tubuhku
Sesaat setelah upacara penyelamatan mimpi dalam bungkus Autan
Kini aku tiba mengendarai amis udang
Di sudut dalam gundukan pasir hitam
Yang karangnya adalah nisan perpisahan kita
Menziarahi periode lusuh yang disisir lumut tua
Aku tak punya kembang, hanya ludah
Ya, ludah…
Kepergianmu atas kita
Ku tanam di dasar aquarium
Di sinilah ia pantas lenyap
Disaksikan ikan-ikan yang takut tenggelam
Arus balik yang menempeleng kaca
Seperti tenggorokanmu yang tersumbat tulang telur mata sapi
Mengingat-ngingat sesuatu yang tak pernah kau kenal
Seperti sapu-sapu, ikan yang tak ingin menghafal dongeng murahan menjaga kebersihan
Ilustrasi: Foto Nico Bolhuy

Lurah Pesantren Al Mudhaffar. Pemuja huruf dan aksara, membaca adalah perlawanan.