Ilustrasi: Liputan6.com
TIDAK hanya masyarakat Indonesia, masyarakat dunia mengalami kekagetan dan ketidaksiapan ketika pasien Covid-19 diumumkan di Cina awal Januari 2020 silam. Seluruh dunia seketika menjadi panik dan sejenak tidak mampu berbuat apa-apa. Peraturan, regulasi, tindakan dilakukan pemerintah terkait dengan protokoler kesehatan untuk mencegah wabah tidak makin menyebar.
Reaksi dan respons masyarakat juga beragam; dintara patuh, acuh, bahkan ricuh. Ada masyaraat yang patuh terhadap anjuran pemerintah. Ada pula yang acuh tak acuh, entah dengan alasan ketidatahuan, terdesak kebutuhan hidup, hingga ideologi dan pemahaman yang tidak berterima. Tak sedikit pula yang membangkang, melakukan perlawanan hingga berefek ricuh dan rusuh.
Di tengah persebaran Covid-19 yang belum melandai, Indonesia menggaungkan istilah New Normal untuk merujuk pada kondisi bentukan baru, dimana masyarakat dapat melakukan aktivitas lama dengan mengikuti protokoler kesehatan. Kondisi bentukan baru ini nyatanya membawa akibat yang tidak normal. Hingga 15 Agustus 2020, jumlah pasien terpapar berjumlah 137.468, yang meninggal sebanyak 6.071, dan yang sembuh berjumlah 91.321 (GTPP Covid-19, 2020).
Datatersebut menunjukan telah terjadi peningkatan jumlah pasien Covid-19 justru ketika pemerintah mendeklarasikan era New Normal. Kebijakan New Normal ini nyatanya melahirkan kontrol yang lebih longgar, baik pada tataran kebijakan, maupun pada tataran aksi. Disisi lain, era New Normal dimaknai masyarakat sebagai kehidupan yang kembali seperti sedia kala, dengan cenderung mengabaikan dan mengenyampingan protokoler kesehatan.
Padahal galibnya, hidup ditengah new normal memerlukan ketentuan dan persyaratan khusus. New normal mempersyaratkan ketersediaan dan keterpenuhan perangkat dan instrumen tertentu. Hidup new normal adalah hidup dengan syarat dan ketentuan berlaku, alias hidup yang tergantung pada instrumen dan perangkat, di bawah kendali intrumen, yaitu hidup yang terinstrumentalisasi.
Di era new normal manusia, akan selamat dan survive jika memiliki dan mampu beradaptasi dengan perangkat dan instrument tertentu yang berlangsung pada hampir semua aspek kehidupan manusia. Pada sisi ekonomi, kehidupan masyarakat mesti adaptatif terhadap pola-pola transaksi secara digital dan online. Proses belajar mengajar pada aspek pendidikan berlangsung secara online atau dengan sistem jarak jauh.
Jaminan kesehatan masyarakat membutuhkan ketersediaan perangkat kesehatan yang memadai, dengan tak lupa kesadaran individu untuk makin meningkatkan imun tubuh dan pola hidup sehat. Praktek-praktek adat dan kultur masyarakat membutuhkan penyesuaian dan negosiasi dengan system jaga jarak. Demikian halnya dengan perhelatan politik yang dibatasi jumlah masa tertentu dan system kampanye dengan memanfaatkan media online.
Hidup manusia yang terintrumentalisasi pada masa new normal akan mengantarkan manusia pada kondisi up normal, yaitu hidup yang dialami di atas normal, di atas rata-rata yang pernah terjadi sebelumnya dan dengan didukung perangkat yang layak dan memadai (Abdullah, 2020)
Kehidupan up normal levelnya lebih tinggi dari normal dan mampu diadaptasi oleh individu-individu agar tetap survive. Konsekuensinya adalah siapapun individu yang tidak siap dengan perangkat tersebut, maka ia akan tersingkir, tertinggal, dan terbelakang.
Persoalannya adalah masih sangat banyak masyarakat yang masih belum memiliki akses bagi perangkat tersebut, baik akses ekonomi (kemampuan untuk membeli), pengetahuan (kemampuan untuk memahami dan menggunakan), maupun kontrol (kebijakan untuk kapan dan dimana menggunakan). Kondisi up normal pada akhirnya hanya akan menghantarkan masyarakat terbagi dalam kelas-kelas dan kategori sosial yang timpang, antara kategori mampu dan tidak mampu, literasi dan illiterate.
Jika hidup manusia di era New Normal tidak mengindahkan perangkat dan instrumen tersebut, maka masyarakat akan berada dalam kondisi chaosyang mengakibatkan situasi tidak terkendali. Kondisi ini akan menyebabkan manusia hidup dalam situasi dibawah normal, yaitu kondisi abnormal, sebuah kondisi yang bahkan lebih buruk dari kondisi normal itu sendiri.
Gejala abnormal ditandai dengan kelonggaran aturan dan kontrol, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Gejala lain adalah pesan-pesana pemerintah yang tidak sampai pada masyarakat atau bahkan terdistorsi. Contoh akan hal ini bisa ditunjukan dengan penggunaan istilah mudik dan pulang kampung yang didefinisikan secara berbeda oleh Presiden Joko Widodo. Selain itu penggantian istilah-istilah seputar Covid-19 yang lebih bernuansa asing tinimbang menggunakan Bahasa Indonesia.
Akibatnya adalah, masyarakat tidak menjadi bagian dari penanganan sebaran Covid-19, sebab diksi yang digunakan adalah diksi yang tidak familiar bagi telinga masyarakat Indonesia. Belum lagi misrepresentasi atau ketidakhadiran tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh budaya yang tidak digandeng bahkan diabaikan oleh pemerintah dalam menyampaikan pesan-pesan Covid-19.
Gejala abnormal juga ditimbulkan olehs sebab kejenuhan masyarakat terhadap protokoler kesehatan. Rasa sumpek, jenuh serta panas ketika mengggunakan masker, repotnya bolak-balik mencuci tangan, anjuran tinggal di rumah yang menimbulkan kebosanan, larangan beribadah berjama’ah yang direspon dengan acuh tak acuh, pembatasan jarak yang menegasikan psikologi keintiman dan kehangatan hubungan, merupakan kondisi-kondisi yang dapat mengantarkan pada abnormal jika tidak sempat dikontrol dan diperbaharui.
Masyarakat yang diperhadapkan secara tiba-tiba pada pergantian masa dan kondisi mengalami keguncangan budaya (cultural shock), mulai dari masa normal, pandemic, dan new normal. Belum hilang kepanikan dan ketidakstabilan pada masa pandemic, dipaksa dengan penamaan dan kondisi baru yang makin membingungkan tanpa ada penjelasan logis dan empiris.
Data-data kematian belum melandai, belum lagi jumlah pasien yang sembuh belum mengalami penurunan secara signifikan. Pemerintah lalu mengumumkan penamaan masa New Normal dengan menggantinya dengan istilah adaptasi kebiasaan baru. Selain itu juga seketika mengganti pula penamaan dengan istilah asing baru, seperti suspek, probable, konfirmasi, kontak sebagai pengganti ODP, PDP dan OTG sebagaimana dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020. Penggantian diksi ini terkesan tanggung, sebab dengan alasan mengganti bahasa asing tetapi tetap juga menggunakan bahasa asing pada istilah lainnya. Cultural shockmewujud dalam bentuk panic buying, hoax, pembangkangan (menolak melakukan rapid test dan Swab), atau penjemputan paksa jenazah covid-19.
Masyarakat juga dalam masa transisi mengalami penyimpangan budaya (cultural gap). Terdapat larangan untuk berkumpul tetapi titik kumpul terbuka secara terang benderang dalam wujud pasar, mall, hotel, misalnya. Masyarakat dihimbau menggunakan masker, sementara persediaan masker langka dan harga melambung. Larangan bepergian yang tidak sinkron dengan ketersediaan secara terang-terangan lokus pulang pergi, seperti bandara, terminal, pelabuhan, stasiun, dan agen perjalanan
Pilihan ada ditangan diri sendiri, mau hidup dalam kondisi new normal dengan pola hidup yang up normal atau justru hidup dalam kondisi abai dalam arti abnormal. Namun pilihan tersebut tidak dapat dimaknai secara mutlak dan berdiri sendiri.
Ada keterkaitan atau keterhubungan dengan pilihan-pilihan lain agar hidup menjadi lebih mapan. Persoalanya adalah bukan pada anda lebih condong pada pilihan yang mana, tetapi bagaimana individu dan masyaraat dikondisikan untuk memilih pilihan yang tepat dan selamat, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat.
Dengan demikian, maka new normal, up normal dan abnormal adalah pilihan dengan syarat dan ketentuan berlaku. Namun lagi-lagi pertanyaannya adalah seberapa siap kita dan sampai kapan hidup demikian berakhir?
Dosen IAIN (Institute Agama Islam Negeri) Kendari
Sangat menginspirasi