“Gagap Bermedsos akan melahirkan malapetaka” iklan ini tidak hanya untuk mereka yang alay-alay saja tapi sepertinya kadang kita pula pelakunya. Maka waspadalah! waspadalah!
Sedari awal tujuan dibuatnya media sosial sebagai wadah silaturahmi elektronik para pengguna atau user jarak jauh. Namun dengan pengguna yang membludak dimungkinkan adsens (iklan) bertengger di jendela-jendela para pengguna, mulailah para users memiliki pengikut (followers) yang mungkin karena konten-kontennya yang menarik atau sejak awal si user merupakan tokoh yang berpengaruh (influencer).
Pergeseran fungsi media sosial dari ajang silaturahmi ke ajang pamer diri atau pencitraan diri yang mengarah pada perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Fenomena tersebut dinamakan narsis. Disadari atau tidak media sosial memfasilitasi kita untuk narsis, di mana mungkin kita akan meng-upload foto diri kita sendiri. Iya, diri kita sendiri adalah paling utama karena yang lain hanya figuran atau tokoh pembantu dalam sebuah film.
Selain menjadikan kita narsis, media sosial juga mampu memberi jalan pintas untuk populer hingga imbasnya mendapatkan uang banyak karena jumlah subscribe dan viewers yang banyak pula. Maka orang bisa berbuat apa saja demi like, share, comment dan subscribe. Di media sosial dunia realitas didesain melalui algoritma atas apa yang kita senangi saja, sehingga kita hanyut dalam simulasi.
Tidak ada kenyataan di media sosial karena kenyataan telah terjadi dan berlalu sekian detik, menit, jam, hari yang lalu. Tidak ada kenyataan di media sosial karena kebenaran seutuhnya ketika kamu berada di TKP melihat langsung dengan mata kepalamu sendiri. Tidak ada narasi yang bebas dari kepentingan sang pemosting karena ia perlu dipilih dan dipilah kemudian diedit lalu di-posting. Jangan mudah bangga dengan quote dan puisi dari temanmu karena bisa jadi hanya copy-paste dari akun sebelah.
Kesadaran bahwa lebih banyak kita dalam kepura-puraan: pura-pura dermawan, pura-pura rajin belajar, pura-pura ke kampus, pura-pura puitis, pura-pura bijak, pura-pura alay, pura-pura cerewet, pura-pura kritis, pura-pura cantik, pura-pura gagah, pura-pura dewasa, pura-pura berkulit putih, pura-pura memimpin, serta pura-pura dalam kepura-puraan di media sosial akan menjadikan kita maklum atas kelucuan kita karena kepura-puraan diri kita sendiri (absurd).
Keabsurdan itu tidak hanya menjangkiti masyarakat menengah ke atas, namun juga menjangkiti kaum papa yang bangga menjadi orang miskin. Mungkin terinspirasi dari prank gembel para influencer di kanal YouTube atau karena pencitraan para politisi desa yang kentara demi menang dua periode atau estafet menuju kursi dewan perwakilan rakyat daerah.
Bak pepatah mengatakan “kontenmu harimaumu” begitulah kira-kira yang dirasakan Pria pembuat konten TikTok yang bernada menghina Palestina yang akrab dipanggil Ucok oleh teman-temannya kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ibarat tembakan anak panah yang melesat ke mana-mana, dan sayangnya sekali melesat tidak bisa ditarik kembali. Ia sudah kadung mengenai dan melukai setiap yang disentuhnya.
Begitulah jejak digital yang kamu tinggalkan di media sosial yang karena sudah dibagikan ke mana-mana, sulit sekali untuk di-delete bahkan hingga kapanpun. Tidak hanya pria yang mengaku khilaf dalam video klarifikasinya yang mau menyebut babi Israel tapi eh malah nyasar ke Palestina itu, namun beberapa minggu yang lalu pesakitan juga dialami oleh akun bernama Ni Putu Rediyanti Shinta mengunggah tulisan Melalui Facebook, yang diduga menghina alm. Ustad Tengku Zulkarnain.
“Syukurlah, satu persatu perusuh bangsa tersingkirkan. Entah wafat atau dipenjara. Yang wafat akhirnya ketemu deh sm ribuan bidadari syurganya,” tulisnya, Senin, 10 Mei 2021.
Di tahun 2019 yang lalu Polres Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), mengamankan seorang pemuda Abdul Halid (32) karena diduga menghina ulama. Dia diduga melakukan penghinaan lewat akun Facebook-nya. Sebagaimana dikutip dari www.detik.com “Informasi awal berdasarkan hasil wawancara atau interogasi kepada pihak keluarga, diketahui bahwa Abdul Halid mengalami gangguan kejiwaan.”.
Peristiwa ini sepertinya akan terus terjadi di masa depan dan kita sudah bisa tebak akan berujung di jeruji besi atau selesai hanya dengan minta maaf saja. Motif awal bagaimana viral telah mereka dapatkan dengan dibagikan berulang kali ke grup-grup WhatsApp, Telegram, Instagram, Facebook dan Twitter namun menyisakan efek domino yang dahsyat yang mungkin tidak terpikir. Mereka harus menanggung akibat dari clotehan, cuitan dan postingan mereka yang berbuntut pada ketersinggungan pihak-pihak yang merasa simpati atau bahkan dirugikan.
Nasib yang menimpa tiga orang (dan mungkin banyak orang yang telah dan akan terjadi dalam skala nasional) di atas bisa pula menimpa diri kita jika tidak super hati-hati. Selain faktor apes, faktor gagap bermedsos juga bisa mengakibatkan hal serupa. Sebab demokrasi di Indonesia bagi sebagian orang menjamin kebebasan berpendapat namun belum tentu bebas setelah berpendapat. Seseorang dapat dituntut dengan undang-undang ITE karena menghina elit dan rezim penguasa.[]
Ilustrasi: pepnews.com
Penulis buku Runtuhnya Karisma Tuan Guru, Sasak Siap, Bagaimana dan Mau Ke mana?, pembelajar dan penggiat sosial