Dinasti Abbasiyah dan Kebijakan Dua Khalifahnya (1)

ISLAM mempunyai ciri khas yakni sifatnya yang terdapat di mana-mana. Oleh karena itu, kita harus lebih memahami dan menggali Islam dari tiga arti: agama, negara, dan budaya. Pemikiran tentang kegiatan dakwah secara khusus menggambarkan perkembangan dakwah.

Sejauh pengamatan penulis, berbeda dengan kajian ilmu-ilmu lain dalam Islam seperti bidang hadis, fikih, tafsir, sejarah Islam yang telah banyak dikemukakan konsep oleh ahli-ahlinya.

Munculnya “pemikiran Islam” sebagai cikal bakal kelahiran peradaban Islam, pada dasarnya sudah ada sejak awal pertumbuhan Islam, yaitu sejak pertengahan abad ke-7 M, ketika masyarakat Islam dipimpin oleh Khulafaurasyidin.

Adapun yang dimaksud “pemikiran Islam” itu adalah suatu kegiatan umat Islam dalam mencari hubungan sebab akibat atau asal mula dari suatu materi ataupun esensi serta renungan terhadap suatu wujud. Baik dari sisi materinya maupun esensinya, sehingga dapat dijelaskan hubungan sebab dan akibat dari suatu materi atau esensi asal mula kejadiannya serta substansi dari wujud atau eksistensi sesuatu yang menjadi objek pemikiran tersebut.

Baca juga: Pram, Sejarah, dan Perlawanan Sastra

Dalam dunia ilmu dan pemikiran, mutlak mempertimbangkan hal di atas sebagai variabel yang dapat memberikan jaminan bagi diterimanya suatu produk ilmu dan pemikiran. Juga, landasan kontekstual bagi historisitas suatu pemikiran. Maka tidak salah jika dinyatakan bahwa, ilmu dan produk-produk pemikirannya dalam Islam sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan politik yang berkembang pada saat produksi pemikiran itu terjadi.

Islam sebagai agama universal, memberikan pedoman hidup bagi manusia menuju suatu kehidupan yang bahagia, yang pencapaiannya sangat bergantung pada pendidikan. Pendidikan merupakan kunci pembuka kehidupan manusia dan tempat bersemainya berbagai pemikiran.

Adapun bahan kajian sejarah “pemikiran Islam” menyajikan kajian tentang ajaran-ajaran pokok dan perkembangan pemikiran dalam Islam, sejak awal mula Islam diturunkan, masa pra-Islam, hingga masa kontemporer.

Baca Juga  Jai Ho: Di Film dan di Dunia Nyata

Sejarah Bani Abbasiyah

Kekuasaan Dinasti Bani Abbas atau Kekhalifahan Abbasiyah, sebagaimana disebutkan, melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para pelopor dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali Abdullah ibn al-Abbas.

Berdirinya Dinasti Abbasiyah diawali dengan dua strategi yaitu: pertama, mencari pendukung dan penyebaran ide secara rahasia, hal ini sudah berlangsung sejak akhir abad pertama hijriah yang bertempat di Syam dan al-Hamima, sistem ini berakhir dengan bergabungnya Abu Muslim al-Khurasani.

Pada Jumiyah sepakat atas terbentuknya Daulah Abbasiyah. Sedangkan strategi kedua, dilanjutkan dengan berterus terang dan melakukan himbauan-himbauan di forum-forum resmi untuk mendirikan Daulah Abbasiyah, selain itu terjadi juga peperangan melawan Daulah Umayyah.

Penduduk Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas Kekhalifahan Islam, karena mereka bagian dari Bani Hasyim, yang secara garis keturunan lebih dekat dengan Nabi saw. Menurut mereka kaum Umayyah secara paksa menguasai khilafah melalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan suatu Dinasti Abbasiyah, mereka melakukan gerakan pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah.

Masa Dinasti Abbasiyah merupakan masa di mana penerjemahan buku-buku dari luar arab, khususnya Yunani, Persia, Romawi dan India jamak dilakukan. Penerjemahan ini terjadi pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dan puncaknya terjadi pada masa Khalifah al-Ma’mun. Pada masa keduanya, berbagai ilmu pengetahuan dipelajari dan dikembangkan. 

Baca juga: Peran Ulama NU Dalam Mengusir Penjajah

Adapun sistem pemerintahan Dinasti Abbasiyah yakni meniru cara Dinasti Umayyah, bukan mencontoh sistem yang dipakai khulfaurasyidin yang didasarkan atas pemilihan khalifah. Para khalifah Dinasti Abbasiyah menggunakan gelar wakil Tuhan di bumi  (khalifah fil ardy) untuk melegitimasi kekuasaan mereka.

Khalifah Harun al-Rasyid

Harun al-Rasyid lahir pada tahun 763 M di Rayy. Ayahnya bernama Al-Mahdi bin Abu Ja’far al-Mansyur, yang merupakan khalifah dari Bani Abbasiyah. Ibunya bernama Khaizuran, seorang wanita sahaya dari Yaman yang dimerdekakan oleh al-Mahdi.

Harun al-Rasyid dididik oleh keluarga Barmaki, Yahya bin Khalid merupakan salah seorang anggota keluarga Barmak yang berperan di pemerintahan Bani Abbas, sehingga ia menjadi terpelajar yang cerdas, fasih berbicara dan memiliki kepribadian yang kuat.

Baca Juga  Nawal El Saadawi; Dari Kekejaman Rezim hingga Perempuan di Titik Nol

Dia menjadi yang menangani penentuan para hakim, pemecatan mereka, satu mengawasi sikap dan tindakan mereka dialah orang yang pertama menetapkan para hakim dengan pakaian khusus yang membedakan dengan manusia.

Karena kecerdasan yang ia miliki, walaupun usianya masih muda ia sudah ikut andil dalam urusan pemerintahan ayahnya. Ia pun menempuh pendidikan ketentaraan. Pada masa pemerintahan ayahnya, Harun al-Rasyid telah dipercaya dua kali untuk memimpin ekspedisi militer untuk menyerang Bizantium (779-780 M) dan (781-782 M) sampai ke pantai Bosporus. Ia didampingi oleh para pejabat tinggi dan jenderal veteran.

Dinasti Abbasyah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid ini. Harun merupakan khalifah yang sangat taat beragama, saleh, dermawan dan hampir bisa disamakan dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah. Jabatan khalifah tidak membuatnya sombong, ia turun langsung ke jalan-jalan pada waktu malam hari, tujuannya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dan menimpa kaum yang lemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan pertolongan.[]
Ilustrasi: Republika.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *