Lelakaq: Kebijakan Metodis Pendidikan Sasak

Pada edisi sebelumnya, sudah didiskusikan tentang sesenggaq, yang identik dengan peribahasa dan merupakan aktualisasi kearifan dan kematangan metodologis mendidik masyarakat Sasak-Lombok. Kesempatan kali ini, adalah melanjutan narasi sebelumnya (Sabtu, 02, Februari 2023), satu tahapan langkah maju masyarakat Sasak, ketika mampu mengkombinasi dan menggabungkan beberapa sesenggaq.

Gabungan beberapa sesenggaq, dalam satu rangkaian tema yang memiliki makna dan tujuan khusus, dikenal dengan istilah lelakaq.  Sehingga lelakaq jika diidentikan dengan istilah kebahasaan populis, lebih menyerupai pantun.

Setidaknya demikian yang ditegaskan oleh Jamaludin, I.K. Seken, L. P. Artini, dalam e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Volume 2 Tahun 2013), Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna Lelakaq dalam Acara Sorong Serah pada Ritual Pernikahan Adat Sasak; bahwa lelakaq, merupakan pantun yang terdiri dari empat baris, dua baris sampiran dan dua baris isi atau arti.

Sejauh pengamatan penulis, bahwa lelakaq di Sasak, tidak terbatas dalam empat baris, namun dijumpai juga lelakaq, dalam dua baris. Lelakaq dalam dua baris bercirikan: baris pertama merupakan sampiran dan baris kedua menjadi makna dan isi, sementara lelakaq dalam empat baris bercirikan baris pertama dan kedua adalah sampiran sementara baris ketiga dan keempat adalah isi dan makna.

Baca juga: Sesenggaq: Kebijaksanaan Metodis Pendidikan Sasak

Secara hermeneutis, sesenggaq, yang awalnya merupakan ungkapan bebas – sehingga dapat dimaknai secara denotatif maupun konotatif (sangat memungkinkan terjadinya pengembangan dan pembaharuan makna sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman) – ketika digabungkan dan mengambil bentuk menjadi lelakaq,  mengalami degradasi dan penyempitan makna yang disesuaikan dengan tujuan tertentu. Namun dalam konteks ini, goal serta sasaranya lebih mendalam dan lebih ditampakkan.

Salah satu contoh dari bilangan lelakaq yang berkembang di Sasak seperti:

Olah-olah daun kesune

Onya’-onya’ jari terune

Lelakaq di atas merupakan lelakaq dua baris: baris pertama adalah sampiran yang tetap dapat dimaknai secara denotatif  “daun bawang putih bisa dibuat jadi gado-gado atau daun bawang putih merupakan bahan yang bisa dibuat jadi gado-gado”, baris kedua adalah isi dan makna, yang dikarenakan berbentuk lelakaq sehingga bermakna khusus sesuai dengan tujuan (mengalami pembatasan makna) “sebagai pemuda hendaknya harus berhati-hati”. Jika dalam bentuk sesenggaq bisa saja akan dimaknai: onya’onya’ idup lek dunie, solah-solah ntan becerite…, dll. Dalam hal ini pemberian arti dan makna tidak bisa dikiaskan dan dikonotasikan pada hal-hal lain lagi.

Baca Juga  Lombo' Mirah Sasak Adhi

Bau paku leq sedin oloh

Jari kandoq mangan tengari

Pacu-pacu pade sekolah

Jari sangote lemaq muri

Pada lelakaq di atas, baris pertama dan kedua merupakan sampiran yang makna denotasinya: “pohon pakis selalu dan biasanya tumbuh di tepi sungai atau tempat basah”. “Mangan” dalam terminologi Sasak adalah makan siang, sementara makan pagi nyampah, dan makan malam disebut ngerampak”.

Demikan pula halnya dengan arti pada baris ketiga dan baris keempat yang merupakan isi dari lelakaq di atas yang khusus, sesuai dengan tujuan (pembatasan makna). “Rajin-rajinlah bersekolah, jadi bekal besok di kemudian hari”, dan tidak bisa dikonotasikan pada hal-hal lainnya.

Berangkat dari pemaparan di atas, beberapa hal yang perlu dipertegas: Pertama, sesenggaq merupakan sampiran dari lelakaq. Kedua, pemberian arti dan makna terhadap sampiran “sesenggaq” dalam lelakaq, berdasarkan pertimbangan kesesuaian bunyi dalam pengungkapan bahasa Sasak.

Baca juga: Lombo Mirah Sasak Adhi

Ketiga, lelakaq yang baik dan benar, adalah yang sampiran “sesenggaq”-nya, memiliki tetap makna denotasi yang benar dan sesuai. Ditemukan beberapa lelakaq Sasak yang sampirannya tidak dapat dimaknai secara denotatif, dalam budaya keilmuan, hal tersebut juga termasuk lelakaq, namun secara ekspresif belum dikategori lelakaq yang bagus. 

Beberapa lelekaq sering dikelompokkan berdasarkan: tema dan kandungan, waktu dan keadaan, serta emosi dan nuansa estetis. Berdasarkan kandungannya, ada lelakaq yang bertemakan agama, pendidikan, pituah dan lain sebagainya.

Berdasarkan waktu dan keadaan, ada lelakaq yang didendangkan ketika bertani, memomong bayi ‘bedangah”, berpacaran “beberaye” atau upacara pernikahan, dll. Sementara berdasarkan muatan keadaan dan emosi, ada lelakaq yang bertemakan cinta dan kekecewaan, perjuangan dan keputusasaan.

Dalam kajian metodologis, lelakaq merupakan sesenggaq yang maknanya sengaja difokuskan untuk tujuan tertentu.  Lelakaq,  merupakan pengejewantahan fokus dan tujuan yang ingin dicapai, yang tadinya  dikonotasikan secara bebas dan terbuka menjadi lebih spesifik, khusus, dan tematis.

Dari narasi singkat ini, semakin mempertegas tahapan-tahapan kematangan metodologis masyarakat Sasak dalam mendidik dan memahami kerangka ilmu pengetahuan “transformation of knowledge”. Melalui lelakaq, masyarakat Sasak sudah mengenal tujuan khusus dan fokus dalam melakukan sesuatu.

Di sisi lain lelakaq juga menunjukan kompleksitas khazanah keilmuan masyarakat Sasak dalam bingkai perbendaharaan pengetahuan lokal, khususnya terkait materi dan metode pendidikan. 

Baca Juga  Menganak: Apresiasi dan Manifestasi Penghambaan Masyarakat Sasak kepada Yang Maha Kuasa

Sejauh ini, penulis belum menjumpai – waktu kapan tepatnya – lelakaq, mulai ada dan berkembang secara masif serta menjadi salah satu elemen literasi keilmuan lokal Sasak. Namun mengamati nomena dan fenomena budaya, seni dan karifan lokal yang berkembang, satu hal yang dapat dipertegas, bahwa lelakaq, dengan keunikannya tersendiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ensiklopedia khazanah keilmuan Sasak. lelakaq, sebagaimana sesenggaq, merupakan bagian dari identitas Sasak.

Dikarenakan belum adanya literasi khusus yang membahas tentang sejarah dan asal mula lelakaq, hal ini berimplikasi pada kesulitan penulis untuk menyebutkan dan atau mengukuhkan seseorang menjadi pioneer, atau seorang ahli yang khusus mendalami tentang lelakaq.

Sebagaimana pembagiannya di atas, lelakaq dalam nafas agama, sering disampaikan olah para mubalig, dan tuan guru, baik secara lisan maupun tertulis, demikian pula dalam iramanya sebagai hiburan jiwa dan mengisi ruang kesibukan bekerja, lelakaq juga sering didendangkan olah ibu-ibu yang memomong bayinya, pada petani, nelayan, atau pengerau “mereka yang membabat hutan”. Dalam nuansa formalnya lelakaq, kerap kali terdengar melalaui acara pernikahan “sorongserah”, pertunjukan seni, pepaosan dan lain-lain.

Sebagai generasi bangsa yang akan melanjutkan tongkat estafet perjuangan dan pembangunan dalam bingkai keilmuan, perspektif hermeneutika pembebasan, tentunya hal ini menuntut aksi nyata, untuk mengembalikan lelakaq sesuai dengan cirinya  (baik sampiran dan isinya dapat dimaknai) serta tidak tercerabut tanpa makna. Sehingga dengan demikian akan jelas dan terang-benderang, kelompok lelakaq yang benar-benar bagus, atau hanya selentingan ringan pengisi ruang.

Apakah di kemudian hari, lelakaq, akan ikut andil menorehkan sejarah? ataukah lelakaq, nantinya akan menjadi dan mengisi romatika sejarah? Jawaban semua ini menunggu aksi intelektual dan cerdik pandai generasi bangsa ini.

Menutup narasi tentang lelakaq, sebagai sebuah provokasi dan penyemangat pendidikan, penulis mengutip ungkapan pujangga Mesir, Syeikh Musthafa al-Ghulayaini: “Inna fi yadd al-syubban amr al-ummah wa fi aqdamihim hayataha”  yang artinya; “Sungguh, di tangan para pemudalah urusan umat ini. Dan di bawah kaki pemudalah hidup mereka.”[]
Ilustrasi: Etnis.id.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *