Pinje-Panje (Kecerdasan Terselubung Masyarakat Sasak)

BERBEDA dengan dua metode pendidikan sebelumnya (sesenggaq dan lelakaq), pinjepanje selain sebagai salah satu kahazanah yang turut menyemarakkan ragam metodis pembalajaran tradisional Sasak, juga memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri, sebagai sebuah media pengembangan perangkat pembelajaran dan pengembangan imajinasi.

Pinjepanje lebih merupakan teka-teki tradisional Sasak yang hingga sekarang belum ada kajian khusus tentang sejarah dan asal-muasalnya.

Mencermati teka-teki tradisonal Sasak pinjepanje, dengan menggunakan teori (Danandjaja, 1991: 39-41), jenis pinjepanje sebagai sebuah teka-teki, telah mencukup lima jenis teka-teki modern, yakni pertama, Riddling Questions atau Clever Questions yaitu pertanyaan teka-teki cerdik. Kedua, Punning yaitu permainan kata-kata. Ketiga, Problem atau Puzzle permainan pemecahan masalah. Keempat, Catch Questions atau pertanyaan jebakan. Kelima, Riddle Joke atau pertanyaan dalam nada bercanda.

Adalah M. Heri Hermawan, dalam kajiannya terhadap makna dan gaya bahasa pinje panje di Desa Mekar Sari Narmada, 2014, dengan mengutip Abdul Rozak Zainudin et. al. (1994: 35), mengkategorikan pinjepanje sebagai sastra anak yang merupakan karya sastra sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan penikmatan yang didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut, yang lahir dari bentuk apresiasi kegiatan langsung maupun tidak langsung, kegiatan kreatif dan dokumentatif.

Baca juga: Lelakaq: Kebijakan Metodis Pendidikan Sasak

Sebagai salah satu instrumen pendidikan tradisional Sasak, pinjepanje memiliki beberapa manfaat seperti: pembentukan moral dan perilaku mulia (ethic), menumbuh-kembangkan potensi dan nilai seni serta keindahan (esthetic), wadah dan wahana pendidikan (educative), memupuk rasa kepedulian social (social solidarity), menambah wawasan dan pengalaman (behavior concept learning), dan lain-lain.

Pinjepanje, yang bentuknya tidak seperti sesenggaq maupun lelakaq¸ yang memiliki karakteristik khusus dan teratur, terdiri dari sampiran dan makna atau isi, dan pemberian maknanya berdasarkan pertimbangan bunyi dalam penyebutaan lafal bahasa Sasak.

Pinjepanje berbentuk lebih bebas, lebih terbuka, sehingga daftar pertanyaan atau pernyataan bisa satu pertanyaan atau lebih hingga tidak terbatas tergantung imajinasi penyoal (pemanje).

Secara semiotik, pinjepanje teridiri dari dua kata yang sekaligus menunjukan terminologinya. Pinje merujuk pada soal atau subyek yang memberikan soal teka-teki, panje merujuk pada jawaban atau subyek yang menjawab teka-teki.

Baca Juga  Sesenggaq: Kebijaksanaan Metodis Pendidikan Sasak

Berikut di sajikan beberapa contoh pinjepanje dari ribuan jumlah yang berkembang dan populer di Sasak-Lombok, sekaligus menggambarkan kandungan teka-teki modern dan manfaatnya.

Ape teriq surakan dirik ? “apakah yang jatuh dan meneriakkan dirinya sendiri”.

Jawab: Bobok (daun kelapa yang sudah kering).

Arak langan, laguk ndarak montor,

arak kote, laguk ndarak bale,

arak gunung, laguk ndarak batu,

arak oloh segare, laguk ndarak aik,

“ada jalan, tapi tidak ada kendaraan”

“ada kota, tapi tidak ada rumah”

“ada gunung, tapi tidak ada bebatuan”

“ada sungai dan lautan, tapi tidak ada air.

Jawab: Peta

Bebaris ndek ne pasukan, tesekok ndek ne penjahat

“berbaris bukan pasukan, diborgol bukan penjahat”

Jawab: Lambah  (Pagar)

Bilang bale taok ne bedelat

“disetiap rumah dia menjilat”

Jawab: Sapu

Inak ne momot, anak ne ngesul

“ibunya diam, sementara anaknya berjoget”

Jawab: cobek

Inak ne bekelombas, anak ne bekelambi

Inak ne be empar-empar, anak ne  bepunjung

“ibunya telanjang, sementara anaknya berpakaian rapi”

“ibunya rambut terurai, sementara anaknya rambut diikat rapi”

Jawab: lolon tereng dan rembaung (pohon bambu dan anaknya).

Kanak kodek angkat kelabang empat

“anak kecil, mengangkat empat kelabang (alat untuk menjemur tembakau)”

Jawab: kedie (capung)

Nangis lamun dateng inak ne, tedok lamun lalo inak ne

Dia menangis jika ibunya datang, dan akan diam jika ibunya pergi

Jawab: kekiriq (kincir angin)

Dan masih banyak lagi contoh-contoh pinje-panje yang berkembang dan masih dijadikan guyonan mendidik di Sasak hingga sekarang ini.

Mencermati dan memperhatikan beberapa contoh pinjepanje di atas, dalam perspektif hermeneutik, terlihat jelas beberapa gaya bahasa yang ditemukan dalam pinjepanje seperti:

Pertama, gaya bahasa hiperbola, berupa ungkapan dan pernyataan yang berlebihan dan menuntut perhatian. Kedua, gaya bahasa metofora berupa ungkapan atau pernyataan yang menggunakan perbadingan. Ketiga, gaya bahasa epistrofa yaitu ungkapan dan pernyataan yang berisi pengulangan kata atau frase secara berurutan, baik di awal kalimat maupun di akhir,

Baca Juga  Be-rajah dan Be-guru: Epistem Afeksi Masyarakat Sasak-Lombok

Keempat, gaya bahasa metonimia, ungkapan atau pernyataan yang menggunakan kata-kata tertentu yang memiliki pertalian dan hubungan yang dekat dengan sesuatu yang ingin ditegaskan. Kelima, gaya bahasa mesodiflosis, ungkapan atau pernyataan yang mengalami repetisi pengulangan kembali di tengah kalimat secara berurutan.

Keenam, gaya bahasa anaphora yaitu pengulangan atau repetisi pada kata-kata pertama dalam kalimat. Ketujuh, gaya bahasa alitrasi dan gaya bahasa asonansi berupa ungkapan atau pernyataan yang mengulangi bunyi vocal dan konsonan yang sama dalam kalimat. Kedelapan, gaya bahasa personifikasi berupa ungkapan atau pernyataan yang menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, seperti benda mati dengan manusia.

Baca juga: Sesenggaq: Kebijaksanaan Metodis Pendidikan Sasak

Pinjepanje sebagai sebuah khazanah keilmuan Sasak, saat ini berada dalam persimpangan modernitas milenial, akankan warisan adiluhung ini akan menjadi sejarah belaka, ataukah akan ikut ambil bagian dalam membentuk sejarah guna mencerdaskan anak bangsa, jawabannya ada di tangan kita semua dan bagaimana menata serta mempersiapkan generasi mendatang.

Mengakhiri narasi ini sekaligus akhir dari seri metodis pendidikan Sasak, perspektif pendidikan intiqo’i, sekaligus sebagai semangat dan gugahan untuk melestarikan khazanah lokal yang adiluhung, penulis mengutip ungkapan ulama yang secara kebetulan dijadikan kata kunci oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr. (H.C.) Drs. KH. Ma’ruf Amin, pada Selasa (21/7), melalui video konferensi dari kediaman resmi Wapres, Jalan Diponegoro Nomor 2, Kota Administrasi Jakarta Pusat, Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta.

Seperti dilansir dari laman http://www.wapresri.go.id/, Prof. KH. Ma’ruf Amin menjadi narasumber utama (keynote speaker) sekaligus membuka acara  Dies Natalis Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA) VII.

Acara ini mengangkat tema “Berlari Menuju Universitas Terkemuka dan Unggul, ialah al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, yakni memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *