Bersembunyi dari Diri Sendiri, Bisakah?

RAMADAN kini semakin dekat, artinya masa penantian atas doa-doa yang kita panjatkan di ujung Ramadan setahun yang lalu akan terjawab. Dan ingatlah bahwa misi serta nilai dari kehadiran Ramadan adalah untuk menempa kita agar menjadi manusia ihsan dalam melakukan aktivitas ibadah. Yakni beribadah kepada Tuhan seakan-akan kita melihat-Nya, jika kita tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia pasti melihat kita.

Maka saatnya kita untuk mempersiapkan diri, terutama menata keyakinan di dalam hati untuk benar-benar percaya bahwa Tuhan menyaksikan apa saja yang terjadi pada diri kita, baik dalam bentuk angan-angan, bisikan, apalagi aksi nyata, karena sikap ini yang sering abai dari kita dalam melakukan aktivitas apa saja dan di mana saja.

Dan ketahuilah bahwa setiap kehadiran Ramadan, ia ingin melihat keseriusan kita dalam menunjukkan kekuatan dan keistikamahan diri, bahwa kita percaya seyakin-yakinnya, seluruh aktivitas Ramadan yang kita jalankan benar-benar disaksikan, sehingga puasa itu bukan hanya lelah, tetapi ada nilai.

Selama ini kita sering sembunyi-sembunyi dalam melakukan hal-hal yang tak pantas, bersembunyi dalam menjalankan ritual yang tidak wajar atau tak semestinya, dan sembunyi-sembunyi dalam mengklaim sesuatu yang bukan hak kita. Kita hanya bersembunyi dari penglihatan orang lain, hanya bersembunyi di balik tirai, dan hanya bersembunyi dari sepengetahuan manusia.

Baca juga: Ramadan; Bulan yang Memuliakan

Dalam konteks persembunyian ini, kita sesungguhnya tidak bersembunyi, karena hakikat dari persembunyian itu adalah tidak diketahui dan tidak kelihatan oleh siapa pun. Dalam konteks ini, sebenarnya kita hanya berdamai dengan diri kita sendiri, dengan berbagai alasan yang kita paksakan untuk kita rasionalkan.

Seperti pembenaran dalam ungkapan-ungkapan: sekali ini saja, ini darurat, tak seberapa dibanding kelelahan kita, wajar karena kita yang telah berjuang, dan masih banyak model diksi yang kita anggap benar dan cukup meyakinkan diri ini.

Baca Juga  Memaknai Hari Bumi dalam Bingkai Ekofenomenologi

Sebagai orang yang sadar, seharusnya sikap dan tindakan seperti itu tidak layak terjadi, jika kita jujur dengan hati nurani, kita sesungguhnya telah melawan  dan memusuhi hati nurani kita sendiri.

Sadarkah kita bahwa mungkin kita merasa nyaman hanya karena kita bisa bersembunyi dari penglihatan orang lain dan dari sepengetahuan orang lain, sementara kita tidak menyadari bahwa kita tidak bisa bersembunyi dari diri kita sendiri?

Kita sering lalai dari diri kita sendiri, sering bermain petak umpet dengan keyakinan yang kita miliki, bahkan sering kita berbohong dan melawan nurani kita sendiri.

Jika memang selama ini kita amat berat untuk konsisten dalam keyakinan bahwa Tuhan Mahamelihat apa saja yang kita katakan, lakukan, dan pikirkan, atau mungkin kita belum memiliki keyakinan yang kuat bahwa Tuhan di mana-mana dan mengawasi setiap gerak gerik hamba-Nya, sehingga masih enteng dalam melakukan kebohongan dan manipulasi (kalau kita enggan mengatakan berbuat maksiat). Paling tidak kita berusaha untuk bisa bersembunyi dari diri kita sendiri.

Barangkali keyakinan kita akan keberadaan yang tak nampak (gaib) belum memberi dampak yang signifikan terhadap perilaku kita, dalam arti perilaku kita masih didominasi oleh sesuatu yang kelihatan atau yang nampak, maka cobalah untuk bersembunyi dari diri sendiri dalam melakukan hal-hal yang tak pantas dan tak wajar (Baca: maksiat), sebagai bentuk penegasan atas kualitas keyakinan diri kita. Jika kita bisa bersembunyi dari diri kita sendiri, maka yakinlah Tuhan akan mengkategorikan perbuatan yang tak wajar dan tak pantas yang kita lakukan itu sebagai perbuatan orang awam yang sedang lupa.

Baca juga: Marhaban Ya Ramadan

Bila kita renungkan dengan mendalam perilaku kita dalam melakukan hal-hal yang tak pantas dan tak wajar, kadang lucu, tetapi memang itulah kenyataannya. Kita memang bisa bersembunyi dan menghindar dari penglihatan dan pandangan orang lain, tetapi sayang sekali kita tidak bisa bersembunyi dari diri kita sendiri.

Baca Juga  Masih Belum Terlambat

Maka sebagai orang yang diberi keyakinan dan kemampuan rasional oleh Tuhan, selayaknya kita tunduk dan takluk pada kenyataan, bahwa jangankan mau bersembunyi dari Tuhan dalam melakukan hal-hal yang tak pantas dan tak wajar, bersembunyi dari diri kita sendiri saja tidak bisa.

Wajar kalau ada statement dari orang bijak, bahwa melakukan kemaksiatan dalam bentuk apa pun secara sembunyi-sembunyi, di tempat yang gelap, dalam posisi yang amat rahasia, dan dalam keadaan sendirian sekalipun, sama artinya bersembunyi di tempat terang, karena Tuhan pasti melihat dan mengetahuinya.  

Ya’lamu mā fis-samāwāti wal-arḍi wa ya’lamu mā tusirrụna wa mā tu’linụn, wallāhu ‘alīmum biżātiṣ-ṣudụr”. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan yang kamu nyatakan. Dan Tuhan Mahamengetahui segala isi hati. (QS. at -Taghabun: 4)

Sebagai catatan akhir, bahwa Ramadan itu akan hadir beberapa hari lagi dalam rangka menyoal kesadaran rasional kita, yang mungkin selama ini terbiasa berdamai dengan diri sendiri terkait dengan praktik dari tindakan-tindakan yang tak wajar dan tak pantas. Dan Ramadan sekaligus akan menempa “hasrat melawan” yang selama ini kita praktikkan, agar tunduk dan patuh pada suara dan bisikan kebenaran yang datang dari siapa pun dan dari mana pun.[]

2 komentar untuk “Bersembunyi dari Diri Sendiri, Bisakah?”

  1. Cukup menarik.
    Sesungguhnya tidak ada tempat bersembunyi di dunia ini. Hatta pada diri sendiri pun tidak ada tempat. Apa yang kita lakukan hatta sebesar zarrah akan dibalas. Artinya semua tercatat dengan terang. Hanya karena kebijakan Tuhan (rahmat-Nya) kita ditutup di balik tirai dan akan dihapus (diampuni) jika dikehendaki.
    Hanya kepada-Nyalah kita memohon pertolongan dan ampunan. Wassalam.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *