Be-rajah dalam terminologi Sasak secara sederhana dapat diartikan dengan belajar dalam bahasa Indonesia. namun dari kajian linguistik, makna yang terkandung dalam kata be-rajah bagi orang Sasak-Lombok, lebih mendekati pada model pembelajaran peer to peer (Frank Emmerich, Peer Teaching, 1973), atau belajar antar teman sebaya (Benjamin Bloom, The 2 Sigma Problem: The Search for Methods of Group Instruction as Effective as One-to-One Tutoring, 1984), yang tidak mengharuskan kehadiran seorang guru atau mentor.
Adapun belajar pada seorang ahli, mentor, atau guru, oleh masyarakat Sasak mengistilahkannya dengan terma be-guru. Jadi terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara istilah be-rajah (dengan tanpa mengharuskan kehadiran seorang guru) dengan istilah be-guru (yang juga memiliki makna belajar, namun kehadiran seorang guru adalah sebuah keharusan).
Karenanya, ditemukan kemudian istilah: batur berajah ngaji (teman belajar ngaji), batur berajah bejait (teman belajar menjahit), batur berajah betaletan (teman belajar bercocok tanam) dan lain sebainya. Demikian pula sebutan yang melekat pada tradisi be-guru (belajar yang membutuhkan guru) dengan istilah be-guru ngaji (belajar mengaji pada seorang guru), be-guru silat (belajar pencak silat pada ahlinya), be-guru ilmu dalem (belajar ilmu kanuragan pada yang menguasai) dan lain sebagainya.
Baca juga: Pinje-Panje, Sesenggaq, dan Lelakaq: Tiga Pilar Paradigma Edukatif Suku Sasak
Berbeda halnya dengan be-waran, menurut orang Sasak-Lombok, adalah transformasi pengetahuan secara naratif, menyangkut tentang berbagai hal, oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda lebih senior terhadap yang junior. Biasanya dalam tradisi be-waran, tanpa didukung oleh panduan literasi yang kuat, be-waran merupakan aktualisasi tradisi lisan masyarakat Sasak-Lombok.
Beberapa perbedaan yang sangat menonjol antara be-rajah dan be-waran yaitu: Pertama, terletak pada perbedaan usia atau senioritas. Jika tidak terdapat perbedaan, usia maupun keahlian, maka dikategorikan be-rajah, namun ketika terdapat perbedaan yang mencolok diistilahkan dengan be-waran.
Kedua, dalam tradisi be-rajah terjadi dialektika yang berimbang antara peserta, serta tidak ada yang lebih dominan antara peserta yang satu dengan yang lain, dan tidak berbeda status sosial, misalnya: sama-sama remaja, sama-sama anak-anak, dan lain-lain.
Sementara dalam tradisi be-waran, cenderung monolog, hampir tidak ada perdebatan sama sekali, dan terdapat kesenjangan dalam status sosial, misalnya: bapak dan anak (bapak sebagai pe-waran dan anak yang te-waran).
Ketiga, be-waran lebih identik dengan bercerita, memberitahu, menggambarkan pertimbangan, dan wawasan. Proses be-waran dalam tradisi Sasak-Lombok ini dapat diidentikkan dengan metode bercerita modern yang tertuang dalam sejumlah literatur.
Misalnya, Joseph Campbell “The Hero with a Thousand Faces” 1949, Robert McKee “Story: Substance, Structure, Style, and the Principles of Screenwriting” 1997, Christopher Vogler “The Writer’s Journey: Mythic Structure for Writers” 1992, John Truby “The Anatomy of Story” 2007.
Adapun be-paosan, merupakan puncak dialog keilmuan, dialektika dan kematangan literasi masyarakat Sasak-Lombok. Be-paosan adalah sebuah tradisi berkumpulnya para pujangga yang memiliki kemampuan dan keilmuan dalam berbagai bidang terkait literasi Sasak-Lombok, mereka kemudian berdiskusi, bermusyawarah, atau malakukan kajian terhadap buku dan tema tertentu.
Dalam tradisi be-paosan, terangkum tradisi be-rajah (saling mengisi antara para pujangga), dan be-waran (pujangga senior memberikan pencerahan kepada yang junior) menjadi satu kesatuan. Perbedaan yang paling menonjol dalam tradisi be-paosan ini adalah, terstruktur, sistematis, dan sangat literatif (selalu berpedoman pada literasi).
Tingkatan dan tahapan pendidikan Sasak-Lombok ini sejalan dengan pembagian tingkatan dan jenjang pendidikan menjadi: pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi yang dikenal hingga sekarang ini, dan sejalan dengan dengan konsep “piramida pendidikan” Edgar Dale pada tahun 1948.
Adalah Ki Hajar Dewantara (Raden Mas Soewardi Soerjaningrat), seorang tokoh pendidikan Indonesia yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, (2 Mei 1889 – 26 April 1959), mengemukakan sebuah frase monumental terkait tingkatan, level, dan jenjang pendidikan: Ing Ngarso Sung Tulodo: berarti “di depan menjadi teladan”. Artinya, kita harus menjadi contoh yang baik bagi orang lain, terutama dalam hal perilaku dan etika.
Kemudian, Ing Madyo Mangun Karso: berarti “di tengah mengerjakan tugas”. Artinya, kita harus bekerja keras dan fokus pada tujuan kita, tanpa terganggu oleh godaan atau gangguan dari luar, dan Tut Wuri Handayani: berarti “di belakang memberikan dorongan”. Artinya, kita harus membantu dan mendukung orang lain untuk mencapai kesuksesan, terutama mereka yang lebih muda atau kurang berpengalaman.
Baca juga: Sesenggaq: Kebijaksanaan Metodis Pendidikan Sasak
Ketiga frase ini, sejalan dan selaras dengan tradisi proses pendidikan berjenjang dalam masyarakat Sasak-Lombok. Sebagai orang Sasak, ingin menegaskan, bahwa jauh sebelum sistem pendidikan nasional di negara ini dibagi menjadi tiga tingkatan pendidikan (pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi), masyarakat Sasak-Lombok sudah mengenal tiga tingkatan, jenjang, dan level pendidikan yang identik dengan hal tersebut: be-rajah, be-waran dan be-paosan.
Dikarenakan mayoritas penduduk Sasak-Lombok beragama Islam, dan identitas yang selalu dilekatkan pada mayarakat Lombok adalah muslim, karenanya bingkai dan warna dari masing-masing tiga tingkatan pendidikan (be-rajah, be-waran, dan be-paosan) bercorak pendidikan agama Islam.
Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai melalui tiga tingkatan pendidikan tersebut adalah nilai-nilai kejujuran, kerja keras, kepemimpinan yang baik, dan rasa empati terhadap orang lain, hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan agama Islam dalam pandangan al-Ghazali yang termuat dalam kitab “Ihya Ulumuddin” atau “The Revival of Religious Sciences“, yaitu membentuk individu yang berakhlak mulia, berpengetahuan luas, dan bisa ibadah dengan baik.
Mengakhiri narasi ini, penulis menutup dengan sebuah pepatah Arab al-mahfudzat “Li kulli maqoomin maqoolun wa likulli maqoolin maqoomun” yang artinya secara kontesktual: bahwa setiap tempat ada diskusi dan temanya tersendiri, demikian pula setiap tema dan diskusi ada tempatnya tersendiri.[]
Dosen UIN Mataram
Luar biasa pak Dr.Kamarudin Zaelani dalam menarasikan sebuah bahasa-bahasa yang lokalitas kita yang kaya dengan pesan pendidikan..
Pingback: Be-rajah dan Be-guru: Epistem Afeksi Masyarakat Sasak-Lombok – Alamtara Institute