Malala Yousafzai, akrab dipanggil Malala, lahir pada 12 Juli 1997 di Mingora, Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan. Namanya berasal dari Malalai Maiwand, seorang penyair dan pejuang Pasthun. Nama ayahnya adalah Ziauddin Yousafzai dan nama ibunya adalah Tul Pekai Yousafzai.
Ayahnya adalah seorang penyair, aktivis pendidikan, dan juga pemilik sekolah tempat ayah Malala mendirikan sekolah yang bernama Kushal Public School. Dua tahun setelah kelahiran Malala, lahir adik laki-lakinya yang bernama Kushal.
Lima tahun kemudian, lahir Atal adik laki-laki kedua Malala. Keluarga Malala tinggal di rumah kecil dengan dua ruangan, dia dan ibunya tidur di satu ruangan, dan ayahnya tidur di ruang tamu. Malala lahir dari keluarga Pasthun dan dia menganut Islam sunni.
Bagi etnis Pasthun, anak perempuan tidak bisa dibanggakan. Kelahirannya tidak dirayakan seperti anak laki-laki. Namun, ayah Malala tidak seperti kebanyakan keluarga Pasthun. Saat itu, ia tetap merayakan kelahiran putri sulungnya.
Malala berusia 10 tahun ketika Taliban mulai menguasai Lembah Swat. Pemimpin mereka bernama Maulana Fazrullah dan dia pengisi siaran radio. Fazrullah begitu kharismatik sehingga banyak orang yang terhipnotis hingga jatuh hati padanya.
Baca juga: Perempuan Penerang Islam dari Maroko
Apalagi ditambah beberapa ceramahnya yang banyak ditujukan untuk perempuan. Dengan pengaruhnya ini, ceramahnya mengingatkan perempuan untuk banyak tinggal di rumah dan hanya laki-laki yang pergi bekerja, dan perempuan tidak boleh keluar kecuali dalam keadaan darurat.
Perjuangan Malala Yousafzai
Terlahir dari keluarga berpendidikan membuat semangat belajar dari Malala tak pernah padam. Akan tetapi, semua itu sirna karena pada tahun 2008 deputi Maulana Fazlullah, Maulana Shah Dauran mengumumkan bahwa mulai Januari 2009 anak perempuan akan dilarang bersekolah. Hal itu membuat Malala dan teman-teman sekolahnya tidak bisa bersekolah lagi.
Seorang teman ayah Malala yaitu Abdul Hai Kakar, koresponden radio BBC di Peshwar yang saat itu mencari seorang guru perempuan atau anak sekolah untuk menulis buku harian selama pendidikan di Taliban. Malala dengan semangat yang tinggi berinisiatif ingin menulis ceritanya di buku harian tersebut guna ingin menunjukkan pada dunia pendidikan Taliban.
Walaupun Malala tidak memiliki pengalaman menulis, tetapi antusiasmenya tidak berkurang untuk belajar, sebab dia ingin memberi tahu dunia tentang kondisi pendidikan Taliban. Pendidikan Taliban yang tampaknya semakin tidak adil karena anak perempuan dilarang untuk bersekolah. Tulisan-tulisan Malala kebanyakan dalam bahasa Urdu dengan menggunakan nama samaran yaitu “Gul Makai”.
Dalam tulisannya tersebut, Malala juga mengungkapkan ketakutannya untuk pergi ke sekolah, karena ia terlihat diawasi oleh tentara Taliban sepanjang ia bersekolah. Malala juga berbicara tentang paksaan memakai pakaian putih ke sekolah dan menyembunyikan buku-bukunya untuk menghindari perhatian kelompok Taliban. Pada 14 Januari 2009, Taliban pun menutup resmi sekolah Ziauddin. Tak cukup sampai di situ, Taliban juga menghancurkan sekolah-sekolah di area tersebut.
Pada bulan Mei, Ziauddin menerima ancaman pembunuhan dari seorang komandan Taliban setelah muncul sebuah siaran radio kepada ayahnya, ternyata di lain waktu, Malala juga mengalami ancaman demikian dan diculik jika dia tidak menghentikan kampanyenya tersebut.
Kondisi tersebut diperkeruh setelah film dokumenter New York Times dirilis, karena Malala menarik perhatian media dunia. Malala berbicara banyak tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan. Dia juga sangat aktif dalam mengkampanyekan tujuannya melalui Facebook, di mana dia mendapat banyak dukungan dari remaja lain di seluruh dunia. Namun, semakin ia terkenal, maka semakin besar pula rintangan dan tantangan yang dia hadapi.
Pembunuhan oleh Taliban
Siang hari, tepatnya pada tanggal 9 Oktober 2012, Malala dan teman-teman sekolahnya sedang duduk di bus sekolah setelah baru saja menyelesaikan ujian di lembah Swat. Seorang pria bersenjata bertopeng naik ke bus dan berteriak, “Siapa Malala?”. Begitu wajah Malala dikenali, Malala langsung ditembak tepat di kepala, leher, dan bahu. Dua gadis lainnya, Kainat Riaz dan Shazia Ramzan pun juga terkena tembakan, tetapi masih dalam kondisi stabil sehingga masih bisa untuk diinterogasi setelah penyerangan itu.
Tragedi upaya pembunuhan Malala memicu kemarahan dan simpati dari berbagai negara seluruh dunia. Demonstrasi pun diadakan di banyak kota di seluruh Pakistan untuk memprotes tragedi tersebut. Juru bicara utama Taliban, Esanullah Esan, akhirnya mengaku bertanggung jawab atas penyerangan Malala waktu itu. Malala dituduh menjadi korban cuci otak ayahnya. Ia menyebut Malala adalah simbol “kekafiran”.
Baca juga: Nawal El Saadawi; Dari Kekejaman Rezim hingga Perempuan di Titik Nol
Pelaku penembakan Malala adalah seorang pemuda berusia 23 tahun yang bernama Atta Ullah Khan. Walaupun Malala sempat mengalami koma dikarenakan luka tembakan serius di kepalanya sehingga dilarikan ke rumah sakit dan sampai dirujuk ke Rumah Sakit Elizabeth Hospital Birmingham, Inggris untuk menjalani perawatan intensif. Tak berselang lama, akhirnya keajaiban datang padanya. Malala sembuh tanpa mengalami kerusakan otak.
Sebagai pengakuan atas kegigihan Malala, aktivis Afrika Selatan, Desmond Tutu menominasikan Malala untuk penghargaan International Children’s Peace Prize of the Dutch pada Oktober 2011. Dan pada 19 Desember 2011, Perdana Menteri Yousaf Raza Gillani menganugerahinya National Peace Award For Youth. Malala seorang aktivis dengan tetap memperjuangkan hak-hak utamanya bagi perempuan Pakistan untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin.
Bacaan:
Magdalena, Merry Magdalena, Sepak Terjang 10 Wanita Muslim Terpopuler (Jakarta: Kompas Gramedia, 2014)
Malala’s Diary Inspires Pasthun Girls Yearning for Education, diakses dari situs Hindustan Times”. Diakses tanggal 14 Maret 2023
Tighe, Siobhann (18 April 2017). “Malala Yousafzai’s mother: Out of the shadows”. BBC News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Maret 2023.[]
Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram