DIJELASKAN pada edisi sebelumnya, bahwa be-waran, menurut orang Sasak-Lombok, adalah transformasi pengetahuan secara naratif, tentang berbagai topik, oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda, oleh senior kepada junior, dan yang lebih mengetahui kepada yang belum tahu. Walau tanpa didukung oleh panduan literasi yang kuat, artinya keabsahaan dan kebenaran dari materi dalam be-waran membutuhkan kajian dan penggalian lanjutan.
Menelisik lebih jauh kamus berbahasa Sasak, penulis belum menemukan arti etimologis yang pas yang didenotasikan atau dikonotasikan pada arti kata waran atau be-waran dalam bahasa Sasak. Namun secara terminologi dengan mencermati penggunaan kata dan istilah waran atau be-waran dalam sosio-kultural masyarakat Sasak-Lombok: terma waran atau waranan merujuk pada materi yang akan disampaikan yang umumnya meliputi; pengetahuan, nasehat, dan motivasi. Sementara be-waran adalah proses penyampaian (tranformasi) waranan tersebut.
Sebagai sebuah langkah mempermudah pemahaman terkait be-waran ini, setidaknya ada beberapa istilah yang perlu di-stressing lebih dahulu di antaranya: waran/waranan (materi yang akan disampaikan), pe-waran (orang yang menyampaikan materi atau waranan), dan yang te-waran (seseorang atau sekelompok orang yang diwarankan), be-waran (merujuk pada prosesinya).
Prosesi be-waran lebih sering terjadi karena faktor aksidental yang irregular. Maksudnya, terjadi karena keadaan, atau kebutuhan dari salah satu pihak, baik pewaran atau te-waran (yang diwarankan). Adapun, keadaan yang mendorong terjadinya proses ini karena dorongan pe-waran seperti keinginan untuk memberikan nasehat, tuntunan, dan peringatan atau penjelasan-penjelasan tertentu yang berhubungan dengan pengetahuan, sejarah maupun moralitas, atau karena terjadi keadaan atau kekeliruan dan ketidaksesuaian dalam pandangan pe-waran, sehingga diperlukan waranan.
Atau yang dilatarbelakangi oleh permintaan dan permohonan yang te-waran (yang diwarankan) seperti dilatarbelakangi keingintahuan tentang sesuatu, sehingga meminta waranan kepada orang yang dianggap mampu memberikannya atau me-waran-kan (memberitahu, menjelaskan, atau menunjukan).
Dalam konsep umum pendidikan Islam, istilah yang disebutkan al-Qur’an dan al-Hadis yang dimaknai dengan pendidikan dalam tiga istilah yaitu ta’lim (pengajaran/aspek kognisi), ta’dib (pembentukan budi pekerti dan ahklak atau aspek psikomotorik, dan tarbiyah (penghayan dan pemahaman/aspek afeksi).
Baca juga: Be-rajah dan Be-guru: Epistem Afeksi Masyarakat Sasak-Lombok
Hal ini sesuai dengan tulisan, Syah, Ahmad. 2008. Term Tarbiyah, Ta’lim, dan Ta’dib dalam Pendidikan Islam Tinjauan dari Aspek Semantik. Jurnal Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman. Vol. 7. No. 1. Bandingkan dengan Nasution, Ali Anas. 2014. Konsep Dasar Pendidikan Islam, Istilah Term Pendidikan Islam dalam al-Quran. Jurnal Thariqah Ilmiah. Vol. 01. No. 01. Hal senada juga diungkapkan oleh K. Zaelani dalam Seri Disertasinya Nilai-nilai Pendidikan Islam dan Teks Menak Sarehas Yasadipura 1, 2023, di Pascasarjana UIN Mataram.
Merujuk pada konsep dan teori pendidikan di atas, be-waran juga merupakan bagian dari proses belajar (be-rajah atau be-guru), namun hal substantif yang menjadi ciri dan karakteristik be-waran adalah pada prosesi dan porsinya yang tidak terjadwal, tidak terdapat perencanaan yang matang dan jelas, serta tidak dalam satu kajian materi khusus tertentu.
Adapun belajar (be-rajah atau be-guru), jelas tujuan dan target yang ingin dicapai. Berpatokan pada konsep perencanaan pendidikan modern, dalam tradisi be-waran tidak memiliki standar kompetensi dan tujuan, tidak pula kejelasan kompetensi dasar maupun indikatornya, serta tidak ada tahapan evaluasi.
Selain ciri dan karekterisitik tersebut, dalam be-waran, selalu dilakukan dengan cara yang baik dan bermartabat. Dalam prosesinya, be-waran lebih prestisius dari pada be-rajah atau be-guru. Be-rajah atau be-guru, memungkinkan terjadinya komunikasi dialektik antara peserta maupun antara guru dan murid. Akan tetapi tidak demikian dengan be-waran, perihal dan kondisi dalam tradisi be-waran lebih tertutup untuk ruang berdialog dan lebih bersifat monolog.
Relitas ini dilatarbelakangi oleh materi waranan (pengetahuan, nasehat, dan motivasi) yang dalam prosesinya selalu disampaikan oleh orang yang lebih tua, dewasa, berpengetahuan kepada yang sebaliknya, lebih muda dan belum berpengalaman.
Lazimnya be-waran dilaksanakan dengan cara duduk, tenang dan santai dengan kondisional waktu (tidak ada ketentuan batasan waktu). Dalam prosesinya yang di-waran-kan selalu mengedepankan sikap hormat kepada pe-waran dan menunjukan sikap yang sangat membutuhkan atas materi waranan.
Berbeda dengan kondisi be-rajah maupun be-guru, yang memungkinkan dijumpai sikap kurang semangat dan tidak peduli terhadap materi yang disampaikan. Karenanya dipastikan be-waran dalam prosesinya lebih bermartabat dan prestisius dari be-rajah dan be-guru.
Namun, seperti laksana sebuah titik lemah, kecuali hal-hal yang berhubungan nilai-nilai moralitas dan nasehat, dalam perspektif akurasi literasi faktual, materi-materi dalam waranan tidak memiliki kekuatan yang solid sebagaimana be-rajah dan be-guru. Hal ini dilatarbelakangi oleh tradisi be-waran lepas dan bebas dari literasi.
Dalam prosesi be-waran, tingkat keabsahan data-data faktual hanya mengandalkan kemampuan personal dari pewaran. Misalnya, terkait waktu, nama, dan kejadian-kejadian tertentu. Akan tetapi, terkait nasehat dan pendidikan moral, be-waran adalah yang terbaik. Karena lazimnya setiap pe-waran akan selalu menasehati berangkat dari pengalaman atau menasehati pada hal-hal yang sudah dilakukan dan mampu dicontohkannya.
Baca juga: Be-rajah, Be-waran, dan Be-paosan: Tiga Jenjang Pola Pendidikan Sasak Pembentuk Kepribadian
Dengan narasi singkat di atas, dapat diformulasi sebuah hipotesis awal bahwa be-waran, sebenarnya instrumen dan media masyarakat Sasak-Lombok untuk mengajarkan budi pekerti dan moralitas. Seiring perkembangan dan keadaan, materinya be-waran kemudian berkembang menjadi sejarah yang teraktualisasi dalam legenda dan cerita rakyat, dan pengetahuan sehingga menjelma menjadi sebuah ritual dan tradisi. Tentunya hipotesis ini membutuhkan kajian dan penelusuran yang lebih serius untuk menyimpulkan kebenaran yang sesungguhnya.
Namun, penulis sebagai orang Sasak, memberanikan diri untuk mengatakan bahwa hipotesis tersebut mendekati kebenaran, karena seringkali dalam pergaulan keseharian, menemukan seseorang yang sedang diberikan nasehat diistilahkan dengan ye te-waranan (sedang dinasehati), yang berbeda dengan orang yang menjelaskan tentang pengetahuan tertentu yang disebut ye te ajah (dia sedang diajar).
Mengakhiri narasi ini, penulis menutup dengan sebuah hadis Nabi Muhammad saw, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, yang artinya: “Barangsiapa yang mengajarkan satu ilmu, maka ia akan mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkannya.” (HR. Muslim)[]
Dosen UIN Mataram