Amina Wadud: Dari Karya ke Kontroversinya

DARI banyaknya tokoh – tokoh pergerakan perempuan di dunia, mungkin nama Amina Wadud nampaknya lebih kontroversi karena ia pernah menjadi imam salat Jum’at di Amerika dan Inggris pada tahun 2005 dan 2008. Karena menurut Amina Wadud seorang perempuan boleh menjadi imam salat Jum’at apabila tidak ada laki – laki yang bisa menjadi imam dan tidak fasih membaca ayat al-Qur’an, maka wanita bisa menjadi imam salat apabila lebih memenuhi syarat menjadi imam salat.

Amina Wadud lahir di Kota Bethesda, Amerika Serikat pada tanggal 25 September tahun 1952, ayahnya pendeta Methodis dan ibunya keturunan Arab-Afrik, sejak lahir  ia tinggal di lingkungan Kristen. Hidayah dan ketertarikannya terhadap Islam, khususnya dalam masalah konsep keadilan dalam Islam telah mengantarkannya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada suatu hari yang ia sebut sebagai thanks giving day pada tahun 1972.

Baca juga: Khofifah Indar Parawansa: Perempuan Berpolitik, Why Not?

Amina Wadud memperoleh gelar Ph.D-nya dalam studi Islam dari Universitas Michigan pada tahun 1988. Pada saat penulisan buku, ia pun sedang mengajar di Universitas Commonwealth, Virginia. Berkat ketekunan dan kesungguhan dalam studi keislaman, ia akhirnya bisa menjadi seorang pemikir yang diakui keilmuannya dalam studi Islam.

Amina bergabung ke dalam komunitas muslim di Amerika. Komunitas minoritas di Amerika tersebut, berjuang keras dalam meneguhkan identitas mereka di tengah tuduhan sebagai kelompok radikalis. Adapun identitas Amina tersebut sangat membantunya dan juga masyarakat muslim kulit hitam dalam mempertahankan kehormatan mereka dari ancaman pelecehan ras karena keturunan Afrika-Amerika masih sangat rentan mengalami diskriminasi rasis di negara adidaya tersebut.

Karya Monumental

Beliau pernah menulis buku yang cukup populer pada masanya, yang berjudul “Qur’an and Woman: Rereading The Sacred Text From a Woman’s Perspective”. Ia begitu tertarik mengkaji al-Qur’an, karena menurutnya al-Qur’an merupakan katalisator perubahan politik, sosial, spritual, dan intelektual.

Baca Juga  Islam dan Perempuan dalam al-Qur'an dan Kitab Kuning (2-Habis)

Dia bekerja sebagai guru pada sebuah asosiasi di Global Islamic College of Malaysia dari tahun 1989 hingga 1992. Buku karyanya menjadi rujukan utama bagi para akademisi dan aktivis untuk hak-hak perempuan. Karena isinya yang dianggap provokatif dan membangkitkan sentimen agama, buku itu tidak diizinkan untuk diedarkan di Uni Emirat Arab.

Amina Wadud menggunakan model penafsiran klasik bernuansa patriarki dalam karya ini, anggapan mendasar yang menjadi dasar pemikirannya adalah bahwa al-Qur’an adalah sumber nilai tertinggi yang secara adil menempatkan laki-laki dan perempuan pada tingkatan yang sama.

Menurutnya, perintah dan larangan dalam ayat-ayat al-Qur’an harus dilihat dalam konteks sejarah tertentu, khususnya dilihat secara sejarah ayat itu diturunkan dan kondisi budaya saat ayat tersebut diturunkan karena mempengaruhi terjemahan dari ayat tersebut.

Lebih lanjutnya, menurutnya, al-Qur’an bukanlah yang membatasi ruang gerak perempuan. Melainkan penafsiran atas al-Qur’an itulah yang membatasi. Baginya, al-Qur’an dan penafsiran adalah dua hal yang berbeda. Hal ini perlu dipegang sebagai prinsip dalam kajian al-Qur’an dan tafsir.

Teori Hermenutika Gender Amina Wadud

Salah satu asumsi dasar yang menjadi kerangka berfikir oleh Amina Wadud adalah bahwasannya al-Qur’an merupakan sumber nilai tertinggi yang mendudukkan laki-laki serta perempuan dalam posisi yang setara.

Baca juga: Malala Yousafzai: Perempuan Pemberani dari Negeri Seribu Cahaya

Sehingga, pesan-pesan kudus yang termuat dalam al-Qur’an seharusnya ditafsirkan dalam konteks historis yang spesifik dan tidak general. Dengan kata lain, situasi sosio-historis-kultural tatkala al-Qur’an turun harus menjadi perhatian seorang mufasir ketika ia hendak menafsirkan al-Qur’an. Tak hanya itu, latar belakang mufasir pun tidak boleh diabaikan dalam membongkar ketimpangan tafsir al-Qur’an yang bias gender.

Atas dasar pandangan tersebut, Amina meyakini bahwa tak ada suatu penafsiran yang benar-benar objektif. Karena seorang mufasir tak jarang terjebak dalam asumsi subjektif yang seringkali mereduksi dan mendistorsi makna al-Qur’an.

Baca Juga  Autoetnografi Gender: Pengalaman Menjadi Minoritas sebagai Anak Perempuan (2)

Untuk mendapatkan penafsiran yang relatif objektif, Amina mensyaratkan, seorang mufasir harus kembali pada prinsip-prinsip dasar al-Qur’an sebagai kerangka paradigma penafsiran. Adapun wujud dari syarat tersebut, seorang mufasir harus mampu dalam melihat secara menyeluruh apa yang diwacanakan oleh al-Qur’an terutama perihal relasi baik laki-laki maupun perempuan.

Dalam bukunya, Amina mencoba menggunakan metode penafsiran al-Qur’an yang digunakan atau dikemukakan oleh Fazlur Rahman. Dia menganjurkan agar semua ayat yang turun pada titik sejarah tertentu serta dalam suasana umum maupun khusus, diungkap menurut waktu dan suasana penurunannya.

Namun, pesan yang terkandung dalam ayat tersebut tidak terbatas pada waktu maupun suasana historis. Selain itu, seorang pembaca harus memahami maksud dari ungkapan-ungkapan al-Qur’an menurut waktu dan suasana penurunannya guna menentukan makna yang sebenarnya.

Sehingga, makna inilah yang menjelaskan maksud dari adanya ketetapan atau prinsip yang terdapat dalam suatu ayat. Adanya pandangan baru mengenai bahasa al-Qur’an yang kaitannya dengan gender sangat diperlukan terutama karena tidak ada kata Arab yang bersifat netral. Meskipun setiap kata dalam bahasa Arab banyak dinyatakan secara maskulin.

Namun, bukan berarti bahwa setiap penyebutan oknum laki-laki dan perempuan selalu merujuk pada jenis kelamin yang disebutkan melalui perspektif petunjuk al-Qur’an yang universal. Sebuah teks suci harus mengatasi keterbatasan-keterbatasan alamiah dari bahasa yang menjadi alat komunikasi manusia.[]

Bacaan:
Amina Wadud Muhsin, Qur‟an and Woman, 1999.| Ma’mun Mu’min, Ilmu Tafsir : dari ilmu tafsir konfensional sampai kontrofersional, Kudus : Daros, 2008.

1 komentar untuk “Amina Wadud: Dari Karya ke Kontroversinya”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *