Fatima Mernissi adalah seorang feminis Arab muslim perempuan yang berasal dari Maroko. Dia lahir di salah satu harem di Kota Fez, Maroko Utara pada tahun 1940. Mernisi seorang Profesor di Universitas Muhammad V Rabat yang fokus dalam kajian sosiologi.
Mernissi sangat memperhatikan nasib kaum perempuan di negaranya yang cenderung terkekang dengan tradisi-tradisi yang membatasi kebebasan perempuan. Oleh karena itu, sebagai ilmuwan, Mernissi aktif membuat tulisan-tulisan yang berkaitan dengan masalah-masalah perempuan.
Fatima Mernissi lahir dan dibesarkan di lingkungan yang cenderung memandang perempuan sebagai makhluk kelas 2 di bawah kaum laki-laki. Dia berpendapat bahwa, pemahaman keadaan posisi perempuan yang diproleh dari ibu dan neneknya tidak sesuai dengan realita dimana perempuan dipandang dan diperlakukan tidak adil.
Selain itu, keberadaan perempuan dalam keluarga pun berada di bawah penguasaan kaum laki-laki. Kondisi seperti ini menggambarkan adanya ketimpangan posisi, peran, dan hak masih kental terjadi akibat perbedaan gender secara biologis.
Berkat didikan ibu dan neneknya, Fatima Mernissi berhasil menembus tebalnya tembok harem yang begitu ketat membatasi ruang gerak perempuan, sehingga berhasil menempuh pendidikan yang tinggi dan berhasil melewati batas-batas kekangan lingkungannya. Dialah perempuan pertama di Timur Tengah yang berhasil membebaskan dirinya dari isu kesenjangan dan penghianatan kultural.
Baca juga: Tawakkul Karman: Sang Iron Women dari Yaman
Harem secara harfiah berarti “tempat suci yang tidak boleh diganggu” atau “anggota perempuan dalam sebuah keluarga” adalah bagian rumah yang khusus diperuntukkan untuk keluarga dan merupakaan tempat terlarang bagi pria dewasa kecuali tuan rumah atau kerabat dekat. Ruangan ini terdapat penjaga pintu yang selalu mengawasi dengan ketat terhadap perempuan agar tidak keluar.
Kesan Negatif dengan Qur’an dan Sunnah
Selama masa kanak-kanak, Mernissi aktif belajar al-Quran di sekolah al-Quran tempat tinggalnya. Namun demikian, pengalaman yang dirasakanya selama belajar al-Quran justru menimbulkan hubungan perasaan yang bertentangan dengan al-Qur’an, karena di sekolah al-Qur’an, mereka diajar dengan cara yang keras dan penuh dengan penekanan-penekanan, seperti hukuman bagi murid yang tidak bisa melafalkan atau menghafalkan al-Quran.
Pada masa remaja, Fatima Mernissi mulai berkenalan dengan pelajaran al-Sunah. Beberapa hadis yang bersumber dari Imam Bukhari, sering dikisahkan oleh beberapa gurunya yang membuat hatinya terluka dan tidak puas. Di mana Rasulullah bersabda: “Anjing, keledai, dan perempuan, akan membatalkan salat seseorang apabila ia melintas dihadapan mereka, menyela diantara orang yang shalat dan kiblat”.
Mendengar hadis ini membuatnya terguncang dan setelah itu ia tidak mau lagi membaca dan mengingat-ingat hadis tersebut, berharap bisa melupakannya dalam ingatan. Sebagai remaja yang berusia 16 tahun yang memiliki gairah dan antusiasme hanya mampu berkata dalam dirinya: “Bagaimana mungkin Rasulullah mengatakan hadis semacam itu?
Sikap emosional serta kecenderungan untuk memberontak dengan apa yang dipelajari dari teks-teks al-Qur’an dan al-Hadis, bukanlah satu-satunya hal yang memonopoli biografi masa kanak-kanak dan remaja Fatima Mernissi, bahkan ketika dewasa. Pernah, Mernissi bertanya kepada salah seorang pedagang sayur langganannya di Maroko tentang kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui opini masyarakat. Apa jawaban pedagang sayur itu, “Na’udzubillahi min dzalik” berseru dengan kaget kemudian membacakan salah satu hadis Nabi yang artinya, bahwa “Tidak akan jaya suatu kaum apabila menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan”. Mernissi terdiam, karena dalam Islam, hadis memiliki kedudukan tinggi bukanlah sesuatu yang sembarangan.
Pada tahun 1990, Mernissi pertama kali berkenalan dengan dunia Barat, ia terheran dan terkesima dengan demokrasinya. Dunia barat dalam segala hal tidak pernah membedakan laki-laki dan perempuan, anak-anak, orang dewasa maupun orang tua. Hak-hak asasi benar-benar ditegakkan di sana dalam kehidupan.
Pengalaman-pengalamn inilah yang banyak mempengaruhi pola pikirnya terutama mengenai hak-hak asasi perempuan. Lalu terbersitlah dalam benaknya, bagaimana dengan Islam? Kenapa dalam Islam justu terdapat banyak teks-teks keagamaan yang terkesan mengekang dan merendahkan perempuan?
Mernissi dan Kesetaraan Gender
Fatima Mernissi adalah tokoh pemikir muslimah yang sangat radikal dan keras, terutama dalam membahas teks-teks keagamaan yang berkaitan dengan perempuan dan kedudukannya. Dia berusaha mendobrak dan ingin mengembalikan perempuan pada cita-cita universal Islam.
Semangat inilah yang kemudian dituangkan dalam beberapa tulisannya, seperti: “Setara dihadapan Allah”, “Menengok kontroversi peran perempuan dalam politik”, “The Forgotten Queen of Islam“, yang telah diterjemahkan berjudul “Ratu-ratu Islam yang terlupakan” dan “Women and Islam“.
Baca juga: Perempuan yang Menyuluh Obor: Tribute untuk Atun Wardatun
Dalam buku yang terakhir ini, Mernissi mempermasalahkan keabsahan beberapa hadis yang dinilai merendahkan kedudukan perempuan, sebagai contoh hadis tentang kepemimpinan perempuan “Tidak akan jaya suatu kaum apabila menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan”.
Dan hadis tentang pensejajaran perempuan dengan anjing dan keledai “Anjing, keledai, dan perempuan, akan membatalkan salat seseorang apabila ia melintas dihadapan mereka, menyela di antara orang yang salat dan kiblat”.
Oleh karena itu dia berusaha mengkaji hadis-hadis tersebut benarkah hadis-hadis tersebut bersumber dari Rasulullah saw?
Dalam usahanya merekonstuksi hadis yang diasumsikannya sebagai hadis misoginis, Mernissi melakukan langkah takhrij dan melakukan penelitian ulang terhadap hadis-hadis mulai dari sanadnya hingga para perawinya bahkan termasuk matan hadisnya. Hal ini dilakukan untuk mendalami hadis Nabi kemudian merekonstuksinya sebagai legitimasi memperjuangkan kesetaraan gender. Serta berperan memberikan wacana dan gagasan dalam demokratisasi.
Hasil dari penelitiannya, Mernissi tidak menemukan ajaran Islam yang merendahkan perempuan. Subordinasi perempuan bukan karena kelemahan biologis perempuan atau karena ajaran agama, namun lebih banyak disebabkan oleh konstruksi sosial tentang peran perempuan yang sering menimbulkan ketimpangan.
Kesetaraan gender mempunyai arti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-hak yang sama sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan seperti: politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lain sebagainya.
Fatima Mernissi menyatakan bahwa, Islam memberikan kebebasan kepada kaum perempuan, oleh karena itu kaum perempuan mempunyai kebebasan penuh untuk ikut terjun ke dalam ranah politik dan memiliki kemampuan dan prestasi cemerlang seperti yang dimiliki kaum laki-laki dalam bidang politik.[]
Ilustrasi: MVSLIM.
Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram