SEJAUH ini, penelusuran penulis dalam Kamus Berbahasa Sasak, belum menemukan arti kata sesungguhnya dari paos, paosan, pepaosan, dan beragam kata yang merupakan derivasi atau kata jadian dari kata tersebut. Akan tetapi, istilah-istilah tersebut sangat populis pada masyarakat Sasak-Lombok, Nusa Tenggara Barat. Khususnya kalangan intelektual, kaum terpelajar, pelaku seni-budaya dan sebagian masyarakat.
Bagi sebagian masyarakat dan sebagian pelaku seni dan budaya, pepaosan merujuk pada istilah tempat pada sebuah acara (Sasak: Berugak) bisa berbentuk sekepat atau sekenem, yang menjadi tempat duduk para tokoh dan pakar di bidangnya yang kebetulan keahliaan dan kepakaran mereka tersebut dibutuhkan atau memiliki hubungan dalam acara yang sedang berangsung.
Berugak tersebut sekaligus menjadi ruang tamu dan jamuan mereka. Adapun pembahasan yang berlangsung pada paosan ini, bisa beragam, mulai dari hanya duduk santai hingga diskusi tentang beragam literatur lokal dan lain lain.
Baca juga: Be-rajah dan Be-guru: Epistem Afeksi Masyarakat Sasak-Lombok
Dalam terminologi ini, paosan merujuk pada tempat yang dijadikan tempat duduk sekaligus ruang tamu bagi para ahli, seperti pujangga dan cendekia. Sehingga, sudah berbudaya ketika ada yang datang dalam sebuah acara dengan kriteria dimaksud.
Tuan rumah atau panitia akan mengarahkan tamunya dengan berbahasa silak niki lek paosan taok melinggih (silakan duduk di paosan), atau akan terdengar dalam kalimat perintah tidak langsung pesilak temue nike melinggih lek paosan (persilahkan para tamu untuk duduk di paosan). Makna paosan yang merujuk pada pengertian tempat ini juga tertuang dalam lagu-lagu tradisional Sasak yang menegaskan paosan bermakna tempat.
Bagi sebagian pelaku budaya, seperti pembayun, penembang, sebagian tokoh agama dan sebagian pujangga, memiliki konsep dan pandangan yang berbeda tentang arti kata paosan dengan pandangan sebelumnya. Jika pandangan sebelumnya, paosan, merujuk pada sebuah tempat, namun pandangan yang kedua ini terletak pada materi dan kegiatan yang berlangsung, yang juga tetap dilakukan di berugak (pada kesempatan berbeda penulis akan menjelaskan berugak ini).
Kegiatan dimaksud adalah membaca literatur Sasak (lontar), secara bersama-sama. Terminologi ini mulai populis dalam beberapa waktu terakhir ini ini: seperti dikutip dari artikel Rumah Belajar baru-baru ini, dalam artikel tersebut menegaskan bahwa pepaosan adalah bahasa yang digunakan khas bahasa Sasak yang berarti pembacaan naskah lontar.
Lebih jauh, artikel ini memaknai pepaosan secara harafiah yang berarti membaca (maos, mepaos, pepaosan, memaca). Selain itu, sebuah artikel diterbitkan oleh Dinas Pariwisata Provinsi NTB, pada tanggal 30 Januari 2023, secara kebetulan bersamaan dengan sebuah pesta dan festival tradisional Bau Nyale, memberikan arti pepaosan adalah tradisi pembacaan lontar yang dilakukan oleh para tokoh adat sehari sebelum Bau Nyale dilaksanakan. Masih banyak lagi pandangan serupa tentang arti kata paos atau paosan yang sekilas berbeda yang dilekatkan pada kejadian dan acara yang sedang berlangsung.
Mencermati narasi di atas, beberapa hal yang perlu dipertegas terlebih dahulu sebelum melanjutkan analisa dan penjelasan lanjutan; Pertama, bahwa paosan merupakan perbendaharaan kata masyarakat Sasak, yang hingga kini sangat populis. Kedua, secara umum terdapat dua kelompok yang memiliki perbedaan dalam mengartikan dan memahami kata paosan.
Ketiga, perbedaan tersebut terletak pada pemaknaan kata paosan sebagai sebuah tempat dan sebuah kegiatan keilmuan. Keempat, pemaknaan paosan sebagai sebuah tempat (berugak khusus) atau kegiatan keilmuan seperti membaca, keduanya merupakan hal-hal (tempat dan kegiatan) yang sangat prestisius bagi masyarakat Sasak.
Sebagaimana disinggung pada edisi be-rajah, be-waran dan be-paosan lalu, melalui kajian pendekatan sejarah yang penulis lakukan, awalnya paosan merupakan sebuah tradisi berkumpul atau silaturahmi antar para pujangga yang memiliki kemampuan dan keilmuan dalam berbagai bidang terkait literasi Sasak-Lombok, kemudian berdiskusi, bermusyawarah, atau malakukan kajian terhadap buku dan tema tertentu.
Tradisi dan forum silaturahmi tersebut bisa bersifat accidental ataupun melalui perencanaan sebelumnya. Dalam tradisi silaturahmi tersebut, pokok persoalan yang menjadi topik pembahasan adalah persoalan-persaolan keilmuan. Persoalan keilmuan dimaksud bisa be-rajah dan bisa juga be-guru, atau melakukan kajian bersama perspektif pendidikan agama Islam diistilahkan muroojaah.
Kaitnnya dengan titik temu antara pemaknaan paosan sebagai tempat dan kegiatan, narasi singkatnnya sebagai berikut: bahwa dahulunya masyarakat Sasak tidak memiliki ruang tamu sebagaimana kondisi rumah dan tempat tinggal hunian sekarang.
Baca juga: Be-waran: Inklusi Pola Pendidikan Moral Sasak
Orang Sasak secara umum, dulunya menerima tamu dengan duduk-duduk biasa, atau menyelesaikan urusan sambil bekerja di sawah dan ladang, atau membicarakan persoalan-persoalan pokok di tempat-tempat umum, seperti tempat mandi umum dan tempat ibadah sembari beribadah.
Ruang tamu masyarakat Sasak dahulunya hanya berupa (berugak), yang bisa berbentuk sekepat atau sekenem. Kepemilikan berugak ini tidak diempu oleh satu kepala keluarga, namun kepemilikannya secara kolektif dalam satu pemukiman (Sasak: gubuk), yang terdiri dari beberapa kepala keluarga dalam satu lingkungan tertentu.
Terdapat perbedaan makna gubuk dalam Bahasa Sasak dan Bahasa Indonesia/Melayu. Dengan demikian yang akan duduk atau didudukkan dalam tempat yang dimaknai paosan adalah orang-orang penting yang akan membahas keperluan dan kemasalahatan bersama.
Fase dan tahapan berikutnya, mengantarkan kehidupan masyarakat Sasak, sedikit demi sedikit mulai mengalami peningkatan sehingga pada akhirnya mampu membedakan ruang publik dan ruang privat. Sehingga kepemilikan berugak/paosan menjadi lebih khusus dalam satu pekarangan, yang tidak hanya dalam satu gubuk saja.
Hingga kini, keberadaan berugak dalam satu pekarangan ini masih dijumpai di Sasak. Populasinya semakin meningkat, zaman semakin berkembang sehingga kepemilikan berugak/paosan oleh sebagian masyarakat Sasak menjadi kepemilikan satu kepala keluarga. Pada akhirnya dijumpai berugak/paosan selain sebagai ruang tamu, juga dijadikan tempat be–rajah, be–guru, dan membahas beragam persoalan lainnya.
Dijelaskan pada tiga edisi sebelumnya, yang sekaligus menjadi ruang kompromi antara pendapat pertama dan kedua, bahwa be-paosan, selain menjadi bentuk akhir dari adaptasi sosial masyarakat Sasak. Dalam perspektif pendidikan, be-paosan merupakan puncak dialog dan dialektika keilmuan, serta kematangan budaya literatur masyarakat Sasak-Lombok.
Dalam tradisi be-paosan, terangkum tradisi be-rajah (saling mengisi antara para pujangga), dan be-waran (pujangga senior memberikan pencerahan kepada yang junior) menjadi satu kesatuan. Perbedaan yang paling menonjol dalam tradisi be-paosan ini adalah, terstruktur, sistematis, dan sangat literatif (selalu berpedoman pada literasi).
Dengan demikian, semakin memperkuat argumen dan alasan untuk menyematkan bahwa be-paosan merupakan simbol keberadaan pendidikan tinggi lokal masyarakat Sasak-Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Mengakhiri narasi ini, penulis mengutip hadit populer yang tertuang dalam shahih Bukhari – Kitab al-Adab al-Mufrad, sunan Abu Dawud – Kitab al-Adab, dan sunan Tirmidzi – Kitab al-Birr wa al-Silah, yang artinya: “Ajarilah anak-anakmu, karena kalian telah mengamankan masa depan kalian sendiri“.[]
Dosen UIN Mataram