Islam dan Perempuan dalam al-Qur’an dan Kitab Kuning (2-Habis)

Separuh Harga Laki-laki

Kitab kuning, dalam tata kehidupan sosial, menempatkan perempuan sebagai makhluk yang separuh harga laki-laki. Misalnya, dalam hal menyembelih hewan akikah, anak laki-laki  minimal 2 ekor kambing, perempuan 1 ekor kambing.

Dalam hal diyat (ganti rugi) pembunuhan, nyawa seorang laki-laki diganti dengan 100 ekor unta, sedangkan nyawa seorang perempuan diganti dengan 50 ekor unta. Dalam hal persaksian, persaksian 2 orang perempuan  sama dengan persaksian 1 orang laki-laki. Dalam hal pembagian waris, 2 orang anak perempuan sama dengan bagian satu anak laki-laki.

Baca juga: Islam dan Perempuan dalam al-Quran (1)

Ada analisis, laki-laki bertanggung jawab untuk memberi nafkah keluarga sedangkan perempuan tidak. Maka meskipun laki-laki dapat 2 bagian tapi kotor, sedang wanita dapat 1 bagian tapi bersih. Dalam hal menikah, laki-laki boleh menikahi empat orang wanita dengan syarat yang ketat, sementara wanita mutlak hanya satu suami saja. 

Sejajar dengan Laki-laki

Dalam penelusuran Masdar F. Masudi, kitab kuning juga menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki dalam hal spiritualitas ketuhanan. Pendirian ini dapat ditelusuri ketika mereka menafsirkan QS. al-Hujurat: 13 yang artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa”. Juga dalam QS. al-Nahl: 97 yang artinya: “Barangsiapa yang beramal saleh, apakah ia laki-laki atau perempuan dan ia beriman, maka niscaya akan kami hidupkan ia dengan kehidupan yang sangat baik”.

Dalam kedua ayat tersebut, dijelaskan bahwa siapa saja yang beramal saleh dan patuh kepada Allah Swt baik laki-laki maupun perempuan, maka ia berhak mendapatkan derajat yang mulia di sisi Allah Swt.

Dua ayat yang tampak mengandung posisi setara antara laki-laki dan perempuan di akhirat tersebut, dikhawatirkan oleh Masdar karena dalam banyak kitab kuning dijelaskan bahwa laki-laki mendapatkan wanita di dunia paling banter 4 orang saja, sementara di surga nanti seorang laki-laki bisa memiliki 40 orang bidadari sekaligus, bahkan bisa jauh lebih banyak lagi.

Baca Juga  Racun Demokrasi itu Bernama Dinasti Politik

Perempuan Lebih Tinggi di Atas Laki-laki

Pandangan ini muncul berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw yang menjelaskan bahwa “Ridhanya Allah tergantung pada ridhanya kedua orang tua”. Adapun orang tua yang harus dihormati terlebih dahulu oleh sang anak adalah ibunya, baru setelah itu bapaknya.

Mendahulukan penghormatan kepada ibu, berdasarkan hadis yang cukup terkenal di kalangan pesantren, yaitu; “Pada suatu saat datang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad saw, siapakah yang paling berhak diberi penghormatan? Nabi menjawab: Ibumu! Kemudian? Tanya sabahat, ibumu. Kemudian? Tanya sahabat lagi. Ibumu. Kemudian? Tanya sahabat lagi, bapakmu, jawab Nabi.

Terdapat hadis lain juga yang dikutip oleh kitab kuning dalam memberikan posisi terhormat kepada ibu, yaitu hadis yang cukup terkenal juga, dan sudah dihafal di luar kepala oleh para santri bahkan anak TK sekalipun. “Surga berada di bawah telapak kaki ibu”. Hadis ini menegaskan bahwa betapa tingginya posisi dan derajat ibu yang harus dipandang oleh anak laki-laki maupun perempuan.

Baca juga: Siti Raihanun Zainuddin Abdul Majid: Ulama Perempuan dan Pendamping Umat

Mengomentari posisi perempuan dalam kitab kuning ini, diakhir tulisannya, Masdar, menekankan bahwa memang kalo kita memandang dari kacamata Barat yang penuh dengan tuntutan kesamaan hak antara pria dan wanita, maka kesan negatif akan timbul. Tapi kalau kita fair melihatnya, maka kesan negatif itu akan sirna seketika, karena kita diajarkan bagaimana kita memperlakukan teks itu.

Masdar menjelaskan kenapa kitab kuning memperlakukan wanita seperti itu. Menurutnya terdapat beberapa faktor, di antaranya: Pertama, ajaran al-Qur’an dan hadis Nabi sendiri memang tidak punya pretensi untuk menyejajarkan perempuan dan laki-laki, sekurang-kurangnya sebagaimana diobsesikan oleh penganjur emansipasi wanita masa kini.

Kedua, para penulis kitab kuning hampir semuanya laki-laki, bias kelaki-lakiannya pun menjadi sulit terhindarkan. Ini juga yang menjadi kritik Amina Wadud mengapa kitab kuning dan tafsir banyak yang bias gender. Ketiga, kitab kuning sendiri adalah produk budaya zamannya, zaman pertengahan Islam yang didominasi oleh cita rasa budaya Timur Tengah yang secara kekerabatan menganut kekerabatan patrilineal, pro maskulin. 

Baca Juga  Angsa Hitam dan Fluktuasi Harga Jagung

Dari situ, maka kita akan arif memaknai suatu karya dengan tidak langsung men-judge bahwa karya ini negatif atau karya itu positif. Mari kita resapi terlebih dahulu siapa penulisnya, bagaimana latarbelakangnya, kapan karya itu ditulis, dan mengapa dia menulis masalah itu. Itulah kira-kira model pembacaan cerdas-akademik dalam menilai suatu karya.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *