PERNAHKAH kita renungkan bahwa selama Ramadan dalam hitungan tiga puluh hari kalender, kita telah benar-benar berada pada kesaadaran rabbani atau kesadaran spiritual? Yakni kesadaran dalam mematuhi perintah Tuhan secara ikhlas, patut, dan tunduk.
Dan kesadaran itu mungkin tidak banyak dari kita yang menyadarinya, baru di ujung Ramadan kita sadar bahwa ternyata kita mampu berpuasa—menahan lapar dan dahaga di siang hari selama sebulan penuh, ternyata kita mampu berdiri salat tarawih dengan jumlah rakaat yang banyak setiap malam selama satu bulan penuh, ternyata kita mampu membaca al-Qur’an di sela-sela waktu luang setiap hari dan setiap malam selama satu bulan penuh, dan ternyata kita mampu bangun di sepertiga malam untuk santap sahur dan qiyamullail setiap malam selama satu bulan penuh.
Kesaadaran rabbani ini hendaknya kita pelihara dan kita warisi pasca Ramadan. Tatkala di bulan Ramadan kita mampu menahan lapar dan dahaga selama sebulan lamanya, maka setidaknya pasca Ramadan kita harus mampu menghidupkan suasana tersebut dengan menahan lapar dan dahaga selama dua hari saja dalam satu seminggu (Senin dan Kamis) untuk melakukan puasa sunnah, agar nuansa Ramadan itu tetap hidup dalam jiwa dan raga kita.
Kesadaran berikut, kita mampu berdiri di tengah-tengah shaf salat tarawih dalam jumlah rakaat yang banyak selama satu bulan lamanya di bulan Ramadan, setidaknya pasca Ramadan kita dapat hadir di shaf-shaf salat, minimal magrib dan isyak setiap malamnya, agar supaya nuansa tarawih itu tetap terasa hidup dalam ghirah salat berjamaah.
Kemudian kita juga mampu membaca al-Qur’an setiap ada waktu luang di siang dan malam hari Ramadan, maka setidaknya pasca Ramadan kita biasakan membacanya sekadar satu muka saja dari lembaram halaman al-Qur’an secara rutin walau hanya sedikit. Dengan demikian al-Qur’an akan menjadi literasi dalam kehidupan kita secara berkelanjutan, karena al-Qur’an tidak akan mengintervensi kita kalau kita tidak membacanya.
Lalu kesadaran berikut, kita ternyata mampu bangun di sepertiga malam setiap malam selama satu bulan di bulan Ramadan untuk sahur dan salat malam (qiyamullail), saya kira kita bangun bukan karena kita hanya ingin makan—karena kita kadang sering tidak enak makan di saat waktu sahur, maka kita bangun tentu semata-mata didominasi oleh keinginan menghidupkan sepertiga malam.
Kiranya pasca Ramadan bisa kita teruskan kebiasaan itu untuk terjaga di sepertiga malam, supaya dalam diri kita tetap terasa nuansa kepatuhan dan ketundukan sebagai hamba Allah, sebagai mana saat kita berada dalam bulan Ramadan.
Kita harus ingat, bahwa Tuhan sangat senang kepada hamba-Nya yang bangun di pertengahan malam hanya untuk berkomunikasi dengan-Nya, berkeluh kesah atas masalah dan problem kehidupan yang dirasakannya.
Semua kesadaran rabbani itu hendaknya kita warisi sebagai wujud karakter dan penciri kita sebagai hamba-Nya yang beriman dan bertakwa kepada-Nya. Jangan sekali-sekali kita menjadikan Idulfitri dalam makna kembali kepada perilaku buruk sebelum menjalankan ritual Ramadan, akan tetapi betul-betul kita kembali kepada kesucian (menjadi manusia terbarukan) setelah melakukan riadhah (latihan) selama sebulan lamanya.
Apabila kita kembali melakukan kebiasaan-kebiasaan buruk pasca Ramadan, setelah kita ditempa oleh ritual Ramadan selama satu bulan, maka kita sama saja dengan kisah seorang wanita pemintal benang yang mengurai kain yang sudah dipintalnya menjadi benang kembali.
Alkisah, ada seorang perempuan salehah yang taat lagi kaya raya, dia menjadi perawan tua, dan setiap hari merundung nestapa, karena tak seorang pun laki-laki datang melamarnya. Setelah lama menjadi perawan tua, atas doa-doa yang dipanjatkan setiap malam, tiba-tiba seorang kerabatnya dari Bani Tamim mengunjunginya. Bukan kunjungan biasa, sang kerabat membawa serta seorang pria muda bernama Sukhr yang akan melamar Rithah.
Betapa girang hati Rithah. Penantian panjangnya telah terjawab, kesendiriannya akan berakhir. Rithah pun menikah dengan Sukhr dan menjadi wanita paling bahagia.
Namun ternyata kebahagiaan Rithah hanya sekedipan mata. Suaminya tiba-tiba menghilang bak di telan bumi. Sukhr kabur membawa harta yang sangat banyak milik Rithah. Ia pun lantas mencari suaminya.
Namun betapa menyakitkan hati Rithah, ternyata Sukhr justru menolaknya kembali, dengan alasan Rithah terlalu tua untuk dirinya. Sukhr mengaku menikahi Rithah hanya karena ingin mengambil hartanya saja.
Mendengar itu, betapa hancur hati Rithah. Ia pulang ke rumahnya untuk kembali menjadi seorang wanita yang kesepian. Hari demi hari berlalu, Rithah menyendiri di rumahnya yang megah dengan harta yang tak kunjung habis meski sudah banyak yang dicuri oleh suaminya.
Setiap hari Rithah hanya bisa meratapi jalan hidupnya. Ia menangis siang dan malam tanpa henti. Hingga suatu hari, Rithah memegang alat pintal benang milik ibundanya. Ia kemudian memintal benang dengan alat tersebut.
Keesokan harinya, Rithah nampak tak lagi berduka. Ia pergi ke pasar membeli benang dalam jumlah yang banyak dan memintalnya. Hasil pintalan itu tak pernah ia jual ataupun ia kenakan pribadi. Karena ternyata setiap malam, Rithah selalu mengurai benang yang telah dipintalnya. Keesokan harinya, ia memintal benang kembali. Namun malam hari Rithah akan menguraikan benang itu lagi dan lagi. Demikianlah aktivitas Rithah sehari-hari.
Kisah Rithah si wanita pemintal benang ini, ternyata Tuhan abadikan di dalam al-Qur’an sebagai sebuah perumpamaan yang sangat indah bagi siapa saja yang sudah melakukan amal ibadah, lalu kembali lagi melakukan aktivitas yang buruk.
Maka jika kita kembali melakukan kebiasaan buruk setelah Ramadan usai, malas membuka lembaran al-Qur’an, malas merapat di shaf-shaf salat, malas qiyamullail di pertengahan malam, enggan memberi kelebihan rezeki, sulit untuk menahan diri, maka sama artinya kita telah memintal benang untuk menjadi kain, lalu setelah menjadi kain kita urai lagi menjadi benang.
“Wala takunu kallati naqadhat gazlaha min ba’di quwatin ankatsa”. Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali… (QS. an-Nahl: 93)
Jikalau amalan yang sudah dilaksanakan maksimal di bulan Ramadan tidak dipertahankan, atau pasca Ramadan malah kembali lagi dengan kebiasaan lama bermalas-malas dan lalai dalam beribadah, maka itulah amalan yang diumpamakan seperti pemintal benang dalam ayat di atas.
Di kalangan ulama salaf ada satu untaian kalimat yang indah, “Kun rabbaniyan, wala takun Ramadhaniyan”. Jadilah kamu sebagai hamba Allah yang rabbani sepanjang waktu, jangan kamu menjadi hamba Allah yang rabbani hanya di bulan Ramadan.
Hendaknya kita dapat menjadikan kebiasaan Ramadan yang menjadi kesadaran rabbani selama sebulan lamanya, menjadi identitas kita sebelas bulan ke depan.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram