Pesan Khutbah Idul Fitri: Jangan Masuk Surga Sendirian*)

KUMANDANG takbir, tahmid, dan tahlil membahana di seluruh jagat raya, sejak hari kemarin, lebih-lebih sampai pagi hari ini. Bukan hanya di negeri-negeri Muslim, tapi juga di negeri-negeri bukan Muslim. Kita semua memekikkan takbir, tahmid dan tahlil itu untuk mengekspresikan perasaan rindu yang mendalam karena bulan Ramadhan telah meninggalkan kita.

Dulu, sebulan yang lalu, kita menyambutnya dengan hati riang gembira, hari ini kita melepaskannya kembali seperti kita berpisah dengan sang kekasih yang pergi jauh dan lama. Namun, pada saat yang sama, hari ini rona muka kita bergembira karena dalam perpisahan itu ada janji Allah bagi yang berpuasa untuk kembali menjadi manusia suci, seperti bayi yang baru dilahirkan, tanpa dosa dan siap untuk mengalami proses pembentukan kembali.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar

Kita manusia ini, tak terkecuali manusia mukmin, adalah hamba yang liar. Cenderung menjauh, bertindak maksiat dan mungkar. Namun, berkat terpatrinya iman, manusia menyadari segala kelemahan dan kekurangannya itu, lalu bersimpuh. Sunan Bonang seakan mewakili kesadaran kita akan kekeliruan itu, ia bermunajat: “Wahai Allah, ampunilah. Sudah jauh kami tinggalkan agama!”. Kesadaran jauh dari Allah itu sudah ada sejak Nabi Adam as. Sang Nabi menjerit, “Rabbanaa dholamnaa anfusanaa… – kami telah mendholimi diri kami sendiri, wahai Rabb. Jika bukan karena ampunanMu niscaya kami sungguh merugi”

Pala kai kasi adena mawancu na’e, ndai Ruma Allah Ta’ala hemba ro dumpa mbali na samenana ndai mawancu riko ro daro ake. Kamoci ro kabuana ndai kai Puasa ade Wura Ramadhan.

Bulan Ramadhan menyirami kita dengan kelimpahan spiritual-ruhaniah. Lorong dan rongga spiritual di dalam tubuh kita dibersihkan dan ditaburi cahaya. Kita pun mengalami transendensi, yakni kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap tarikan nafas. Getaran dan cahaya Allah yang telah merasuk dalam diri kita itu membelah kegelapan, membentangkan jembatan sirathal mustaqim bagi kehidupan yang baik.

Manusia beriman yang telah lulus dari pendidikan Bulan Ramadhan bukan saja selamat dari kesesatan, tapi bahkan menjelma emas-mutiara dan matahari, yang siap dan selalu memberi hiasan dan suluh bagi seluruh alam. Penampakannya adalah wajah-wajah berseri dan bercahaya sebagaimana kita dapati diri kita hari ini.

Kita membutuhkan hadirnya Bulan Ramadhan sebagai siklus dimulainya perubahan, momentum untuk menata kembali pribadi, masyarakat, bahkan sistem kehidupan. Perubahan dalam sejarah umat manusia selalu bermula dari kegairahan dalam jiwa setiap orang. Ramadhan sendiri penuh dengan nuansa perubahan. Kata Ramadhan secara harfiyah bermakna panas atau behubungan dengan api. Ramidha qadamaihi, melepuh dua telapak kakinya, kata orang Arab menggambarkan suasana panas padang pasir dan bebatuan di jazirah Arabia.

Benar adanya secara hukum alam, perubahan bentuk suatu benda selalu melalui tahapan panas atau api. Besi yang kaku dibentuk menjadi barang bermanfaat setelah melewati proses pemanasan. Emas dipisahkan dari unsur bukan emas melalui panas. Jikalau kita mengalami kebekuan yang membelenggu, maka kita memerlukan ‘api’ untuk membebaskan kembali kita menjadi manusia bergelora, bergerak, dan siap mengemban tanggungjawab sebagai khalifatullah fil ardl.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar

Diwajibkan atasmu berpuasa, supaya engkau bertaqwa. Taqwa, karakter impian orang berpuasa, bukanlah ketakutan rendahan yang menghasilkan kebungkaman, keterpakuan, dan penarikan diri. Taqwa adalah kegelisahan yang melahirkan gerakan, kebangkitan, keterlibatan, dan kesegeraan dalam berbuat kebaikan. Manusia taqwa bukanlah mereka yang sibuk menggalang energi batinnya demi kedekatan intensif-individualnya dengan Allah lalu masuk syurga sendirian. Muttaqin adalah orang yang khawatir, galau kalau tugas yang diembannya sebagai manusia tidak dapat ia tunaikan danpertanggungjawabkan kepada Allah kelak dan di hadapan manusia kini dan di sini.

Baca Juga  Tuhan pun Berselawat

Manusia taqwa adalah mereka yang selalu mengambil peran untuk kemaslahatan umum. Atau jika mereka tidak memiliki kesempatan untuk berbuat kebaikan dan maslahat, meraka melakukan imsak, menahan diri, mengekang nafsunya untuk tidak berbuat madharat, keburukan.

Badaloa katu’u, aina dumba ka iha… Badaloa karawi, aina kabata ro sungge… Badaloa ngguda ro ntadi, aina wongge ro ngoho… Badaloa karaso, aina kasampu ro kanggele… Badaloa ndadi walikota, batu weapu nggahi ro kalampa na mataho ro ambi

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar

Puasa itu ibadah sirr, ritual rahasia antara sang abid dengan sang Khaliq. Tersembunyi siapa sedang berpuasa siapa tidak. Jika ibadah mahdhah yang lain jelas fungsinya sebagai pembeda antara yang Muslim dan bukan Muslim, maka puasa tidak demikian, karena puasa adalah ibadah inklusif dan ibadah sosial.

Puasa adalah praktik beragama universal, bukan milik kaum Muslim saja. Umat agama lain juga melaksanakan puasa, tentu dengan waktu, kadar, dan tata cara yang berbeda satu sama lain. Bahkan puasa sudah dipraktikkan jauh sebelum ia disyari’atkan oleh agama Islam. Kamaa kutiba ‘alal ladziina min qablikum.

Puasa ibadah yang fleksibel. Bisa dilaksanakan di mana saja, sambil mengerjakan pekerjaan duniawi. Kita tidak bisa sholat sambil facebook-an atau ngobrol, tetapi kita bisa berpuasa sambil mengetik laporan di kantor atau sambil main futsal di gelanggang. Itu artinya puasa mengajarkan modusmendekati Allah secara simultan dan beragam cara. Kita bisa bertemu-Nya di atas sajadah, di masjid, atau di mana saja di bumi Allah. Bukankah Allah sendiri telah menginformasikan dirinya berada di mana-mana: “ainama tuwalluu fatsamma wajhullah,” di mana kita mengarahkan wajah dan langkah Dia selalu bisa ditemui, menyambut dan memesrai kita. Walillahil masyriqu wal maghribu Ainama takuunu ya’tibikumullahu jami’an.

Ini semua berarti puasa mengajarkan sikap keagamaan inklusif, yakni beragama yang tidak terlalu menonjolkan simbol-simbol formal. Atau menerapkan identitas-identitas yang kaku. Memang, simbol dan identitas penting, tetapi juga harus ada ruang dan waktu di mana kita bisa berbagi dengan orang lain yang berbeda latar sosial, budaya, bahkan agama. Telah terbukti di banyak sejarah, hidup yang dikuasai oleh kekakuan identitas dan simbol, melahirkan tindakan saling mengecilkan dan mengucilkan,pertumpahan darah, dan hancurnya suatu peradaban.

Baca Juga  Memaknai Hari Bumi dalam Bingkai Ekofenomenologi

Jikalau semangat inklusi puasa seperti ini telah merasuk ke dalam diri kita, maka menjadilah kita orang-orang yang gemar merangkul, bukan memukul… mengajak, bukan mengejek… mengajar, bukan menghajar… membina, bukan menghina… mengobati, bukan melukai…

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar

Nilai dan keberkahan puasa janganlah cepat berlalu. Maka ibadah susulan yang bernama zakat mengikat dan menyempurnakan. Zakat memperkuat ikatan sosial, melihat orang lain sebagai diri sendiri, bahkan sebagai representasi Tuhan di hadapan kita. Perpaduan kedua jenis ibadah ini adalah proses aktifasi iman dan hidayah yang tersimpan di hati. Dengan puasa yang diikuti zakat, kanzan makhfiyyan, perbendaharaan batin induvidual yang tersembunyi, bergerak keluar menghasilkan kualitas komunal. Maka, keimanan dan hidayah tidak lagi abstrak, tetapi mewujud dalam kesadaran, ilmu pengetahuan, harta benda, kewenangan, dan tindakan yang mengacu kepada kebaikan bersama.

Jikalau kita telah sampai pada level kesadaran seperti ini, maka itulah tanda muttaqin. Itulah kemenangan. Sekarang kita sambut hari kemenangan itu, sambil mengantarkan Ramadhan semoga akan kita temui di tahun depan. Maka, bangunlah dari tidurmu, keluar dari selimutmu, bangkitlah, bukalah pintu, keluar dan berjalanlah… Ya ayyuhal muddatssir qum faanzir warabbaka fakabbir watsiabaka fatahhir… di luar sana Ar ruh wal mala’ikat bershaf-shaf menyambutmu! … Yauma yaqumurruhu walmalaikatu shaffan la yataqallamuna illa man azina lahu rrahmanu waqala shawaba.[]


*
) Khutbah ini disampaikan pada momen Sholat Idul Fitri 1444 H, di halaman Kantor Pemerintah Kota Bima, 22 April 2023. Beberapa bagian dipetik dari buku Dua Suara Tuhan (Abdul Wahid, 2020).

1 komentar untuk “Pesan Khutbah Idul Fitri: Jangan Masuk Surga Sendirian*)”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *