Kenangan dan Pelajaran Penting dari Ruma Mari

RUMA MARI merupakan satu di antara banyak sosok perempuan Bima yang memiliki kelebihan dalam ilmu pengetahuan. Beliau bernama lengkap, Dr. Hj. Siti Maryam R. Salahuddin, beliau satu-satunya perempuan Bima yang mengenyam pendidikan tinggi pada zamannya. Sebab, pada saat itu belum banyak perempuan Bima yang mengenyam bangku sekolah apalagi sampai pendidikan tingkat sarjana.

Ruma Mari pernah bercerita, ketika Presiden Soekarno berkunjung ke Bima, Soekarno meminta khusus kepada Sultan Muhammad Salahuddin agar Siti Maryam diijinkan untuk melanjutkan sekolah di Jawa. Dari permohonan itu, Siti Maryam dapat melanjutkan pendidikan di Jawa hingga menyelesaikan kuliah strata satu  di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Tidak sampai di situ, beliau juga melanjutkan pendidikannya hingga doktoral pada Fakultas Sastra Program Doktor Bidang Ilmu Filologi Universitas Padjadjaran Bandung (2008-2010) dengan judul disertasi “Naskah Hukum Adat Bima Perspektif Hukum Islam”.

Karyanya ini, menurut Muma Leon, seorang penyunting buku berbakat di NTB, merupakan salah satu karya brilian yang membahas khazanah naskah-naskah tua di Nusantara. Hal itu membuat Aba Du Wahid membawa karya kemana-mana untuk mempromosikannya, konon sampai Australia.


Karena begitu cintanya dengan dunia ilmu, beliau mewarisi naskah-naskah kuno yang pernah dimiliki oleh Kesultanan Bima yang tersimpan rapi di Museum Samparaja Kota Bima. Dengan menggeluti naskah-naskah kuno tersebut, beliau menjadi salah satu narasumber yang otoritatif tentang budaya dan sejarah Bima.

Hal itu terbukti, misalnya ketika acara Tambora Menyapa Dunia beberapa tahun yang lalu, banyak pemburu berita meminta pendapatnya mengenai sejarah letusan Gunung Tambora, sebab, kejadian tersebut tertulis dalam BO Sangaji Kai.

Di samping itu, beliau telah menghasilkan banyak karya tulis yang bisa dinikmati oleh generasi muda. Di antaranya adalah BO Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima ditulis bersama Henri Chambert-Loir, Pemerintah Adat Kerajaan Bima Struktur dan Hukum, Bo Tanah Bima (Naskah Arab Melayu Peninggalan Kesultanan Bima).

Selain itu, Bandar Bima, Katalog Naskah Bima yang ditulis bersama Mukhlis, Iman dan Diplomasi: Serpihan Sejarah Kerajaan Bima yang ditulis bersama Massir Q. Abdullah, Suryadi, dan Oman Fathurrahman, Sejarah Pemerintahan Adat Kesultanan Bima, dan Aksara Bima Peradaban Lokal yang Sempat Hilang, dan lain-lain.

Baca Juga  Perempuan "Penerang" Islam dari Maroko

Penulis bersyukur diberi kesempatan untuk menimba ilmu kepada beliau. Bahkan beliau menginginkan agar naskah-naskah yang ada di Museum Samparaja selain dirawat dengan baik, diharapkan juga untuk dipelajari oleh generasi muda Bima.

Seperti yang dikatakan oleh Retno Kartini, Peneliti Senior Litbang Kemenag RI yang sempat berkunjung ke Samparaja, “Agar kearifan lokal Bima yang terpendam dalam naskah-naskah kuno itu bisa dikenal luas oleh masyarakat, maka harus segera dikeluarkan”. Maksudnya ditulis ulang isi dan kandungannya, lalu disebarluaskan melalui buku atau media sosial sehingga masyarakat luas dapat membaca dan mengenal budaya Bima.

Dari hasil belajar dengan beliau, penulis banyak sekali mendapatkan pelajaran, ilmu ketelitian dan kecermatan, ilmu sejarah-budaya Bima, ilmu cara membaca teks Arab-Melayu, dan yang lebih penting lagi mengenal aksara Bima.

Khusus mengenai aksara Bima ini, beliau memberi tugas khusus kepada penulis dan Munawar untuk meneliti  tentang aksara Bima sehingga dapat menghasilkan buku mengenai aksara Bima. Hasil penelitian tersebut akhirnya “melihat matahari” dengan judul  Aksara Bima: Peradaban lokal yang sempat hilang.

Beliau sampai akhir hayatnya masih setia mengawal kekayaan intelektual yang dimiliki Kesultanan Bima. Hal ini terungkap dari penjelasan Dewi Ratna Muchlisah, keponakan Ruma Mari, ketika memberikan sambutan pada acara doa dan tahlil memperingati tujuh hari atas meninggalnya Ina Ka’u Mari. Dewi menjelaskan, bahwa Ina Ka’u Mari menitipkan pesan agar naskah-naskah di Museum Samparaja dijaga dan dilestarikan terus menerus.

Kalau diibaratkan manusia, kekayaan intelektual yang terkandung dalam naskah-naskah Meseum Samparaja itu adalah “jantungnya” Bima. Oleh sebab itu, naskah-naskah itu harus berbicara kepada semua orang, tidak boleh dibuat bisu secara terus menerus. Cara mengajak bicara adalah dengan mempelajari, meneliti dan menuliskan kembali kontennya dalam bentuk buku atau tulisan pendek yang disebarluaskan melalui media.

Baca Juga  Argumen Kesetaraan Gender Fatima Mernissi

Tugas mulia ini diberikan sepenuhnya kepada generasi muda Bima, pecinta sejarah dan ilmu pengetahuan untuk speak up menyuarakan konten-konten naskah yang ada di Museum Samparaja pada dunia luar sehingga dikenal dan dihargai eksistensinya sebagai warisan peradaban Bima yang pernah ada.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *