Merariq sebagai Perekat Sosial

MANUSIA merupakan makhluk sosial, artinya manusia membutuhkan manusia lain. Untuk dapat bertahan hidup, maka seseorang harus bisa menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan antar manusia bisa terjalin dengan adanya komunikasi. Tidak bisa dibantah bahwa komunikasi merupakan hal penting agar hubungan manusia dapat berjalan baik.Budaya merupakan hasil warisan nenek moyang secara turun temurun.

Semakin canggihnya teknologi dan majunya zaman tidak lantas membuat suatu budaya adat yang telah melekat dalam masyarakat ditinggalkan begitu saja. Perayaan suatu upacara adat masih terus dilaksanakan dan dilestarikan di wilayah Indonesia terutama masyarakat yang berada di lingkungan pedesaan.

Lombok juga memiliki banyak sekali upacara adat yang terus dilestarikan dan dapat menjadi ciri masyarakat pelaksananya misalnya begawe merupakan salah satu tradisi yang tetap dilestarikan oleh masyarakat Lombok.

Merariq merupakan sarana awal dalam pembentukan keluarga yang kekal dan bahagia. Kehidupan rumah tangga yang harmonis diharapkan mampu mewujudkan masyarakat yang aman, tenteram, dan sejahtera. Karena merariq merupakan pondasi kehidupan masyarakat dan negara. Guna mewujudkan cita-cita tersebut, perlu adanya landasan yang kuat dalam bentuk undang-undang yang berlaku bagi semua warga negara di wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tujuan merariq adalah membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini menunjukkan bahwa ada harapan besar dari pembentuk undang-undang, keluarga yang dibangun atas dasar perkawinan yang sah memiliki ketahanan terhadap konflik dan berkontribusi positif kepada masyarakat.

Tradisi ini dianggap lebih ksatria dibandingkan dengan cara yang lainnya, karena seorang laki-laki telah berani menggambil risiko dan berani bertanggung jawab.

Persoalan merariq juga ditemukan regulasinya dalam khazanah hukum adat. Suatu ikatan merariq bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua. Melainkan juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan, dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.

Masing-masing hukum adat memiliki tradisi merariq yang tidak sama satu dengan lainnya. Bagi masyarakat suku Sasak misalnya, merariq bukan hanya sekedar mempersatukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, tetapi sekaligus mengandung arti mempersatukan hubungan dua keluarga besar, yaitu kerabat pihak laki-laki dan kerabat pihak perempuan.

Jika dilihat dari aspek tujuan yang ingin dicapai, ada tiga tipologi merariq adat masyarakat suku Sasak, antara lain: Pertama, merariq betempuh pisa’ yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam satu kadang waris yang disebut (misan dengan misan/cross cousin).

Kedua,  merariq sambung uwat benang yaitu perkawinan antara pria dan perempuan yang mempunyai hubungan kadang jari (ikatan keluarga). Fungsi perkawinan jenis ini untuk memperkuat hubungan kekeluargaan. Ketiga, merariq antara pihak laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan perkadangan (kekerabatan) disebut perkawinan pegaluh gumi (memperluas daerah/wilayah).

Baca Juga  Lebih dari Sekadar Alih Fungsi Lahan Biasa

Tradisi merariq digunakan sebagai ritual memulai prosesi merariq. Tradisi ini digunakan juga digunakan sebagai sarana mempertahankan harga diri sekaligus menunjukkan sifat maskulinitas laki-laki Sasak karena berhasil melarikan calon istrinya.

Sementara itu, orang tua sang gadis juga merasa enggan memberikan anak gadisnya begitu saja kepada seorang laki-laki dengan cara yang biasa, karena orang tua mengibaratkan anak gadisnya sebagai sesuatu yang berharga sehingga tidak patut jika diminta dengan cara yang biasa.

Sebagaimana ungkapan dalam bahasa Sasak “ara’m ngendeng anak manok baen” (seperti meminta anak ayam saja). Menurut Bapak Hirman, tradisi ini berkaitan erat dengan prestise keluarga pihak perempuan sebagai wujud prestasi (bukan wanprestasi) terhadap rencana merariq.

Seorang gadis yang dilarikan merasa dianggap memiliki keistimewaan tertentu, sehingga menarik hati lelaki. Selain itu, tradisi merariq juga mengindikasikan adanya inferiotas perempuan suku Sasak yaitu ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya.

Penyelesaian tradisi merariq tidak selalu dengan adanya perkawinan, karena tidak tercapainya kesepakatan antara keluarga calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan. Meskipun tradisi melarikan anak gadis sebelum merariq dinilai sebagian kalangan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam karena dikhawatirkan memunculkan berbagai ekses negatif.

Namun, tradisi merariq masih menarik untuk dikaji lebih jauh khususnya berkaitan dengan nilai-nilai budaya yang dibangun dalam tradisi merariq yang dilakukan oleh masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Sebagaimana telah disinggung di atas, tradisi merariq tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari serangkaian proses tata cara merariq adat Sasak. Proses merariq adat sasak di awali dengan tradisi midang atau pinangan. Kedatangan para pemuda ke rumah si gadis pada malam hari dengan maksud ingin menjalin hubungan asmara antara kedua belah pihak.

Kemudian, dilanjutkan dengan tradisi merariq yaitu suatu peristiwa melarikan seorang gadis oleh seorang pemuda untuk dijadikan sebagai istrinya. Mengapa begitu, tradisi ini dianggap lebih ksatria dibandingkan dengan cara yang lainnya karena seorang laki-laki telah berani menggambil risiko dan berani bertanggung jawab.

Baca Juga  Membantah Argumentasi Tidak Pentingnya Agama

Bila terjadi sengketa dalam peristiwa merarik akan diselesaikan dengan cara sebagai berikut: Pertama, mufakat krama waris, yaitu pertemuan keluarga untuk menyepakati sikap yang akan diambil. Kedua, penyelesaian melalui krama adat kampung/pemuka agama. Jika dalam pertemuan krama waris, tidak terjadi kesepakatan tentang penyelesaian tata cara adat, maka sengketa perkawinan merariq difasilitasi oleh kepala kampung dan penghulu kampung. Penghulu dan kepala kampung membuat alternatif penyelesaian untuk ditawarkan kepada kedua belah pihak.

Alternatif tersebut biasanya menyangkut proses acara, jumlah pisuke, tempat waktu acara, tentang wali. Apabila dari pertemuannya secara terpisah terlihat tanda-tanda akan terjadi kesepakatan, setelah itu baru kedua pihak dipertemukan. Ketiga, penyelesaian kepala desa, dihadiri oleh para pihak yang bersengketa masing-masing keluarga didampingi oleh kepala kampung dan masing-masing penghulu kampung. Kemudian kepala desa memimpin acara pertemuan oleh penghulu desa.

Setelah tradisi merariq dilakukan, proses berikutnya adalah mesejati yaitu pemberitahuan yang dilakukan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan bahwa telah terjadi merariq. Mesejati ini dapat dilakukan oleh minimal 4 orang yang terdiri dari kadus, kepala RT/RW dan dari pihak laki-laki. Kemudian dilakukan selabar sebagai kelanjutan dari mesejati.

Selabar yaitu penyebarluasan kepada khalayak ramai tentang peristiwa merariq yang terjadi. Caranya dengan memukul kemong sebanyak tiga kali, dilakukan di depan bencingah (pendopo) desa, di pasar atau di perempatan jalan. Proses selanjutnya yaitu bait wali atau menuntut wali nikah kepada pihak pengantin wanita.

Kedatangan para utusan dari pihak pengantin laki-laki termasuk kiai atau penghulu meminta kesediaan wali atau orang tua dari pihak pengantin wanita untuk datang ke rumah pihak pengantin laki-laki menikahkan kedua pengantin.

Jika wali dari pengantin tidak bersedia menikahkan anaknya, maka boleh diwakilkan, itulah sebabnya pihak laki-laki membawa kiai atau penghulu. Kemudian ijab kabul pada waktu yang ditentukan dengan tata cara Islam. Selesai pengucapan ijab kabul maka pengantin laki-laki akan memberikan mahar kepada pengantin wanita pertanda resmi telah menjadi suami istri.[]


Ilustrasi: Fimela

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *