SEJAK pasangan Ganjar-Mahfud diajukan sebagai calon presiden dan wakil presiden untuk Pilpres 2024, sejak itu pula saya cukup yakin pasangan ini tidak akan menang. Terbukti suara mereka kurang lebih sama dengan suara PDI Perjuangan. Meski diajukan oleh sejumlah partai politik, kiranya tidak berlebihan jika mengatakan pemilih Ganjar-Mahfud hanyalah pemilih tradisional PDI Perjuangan.
Faktor terpenting apalagi kalau bukan Jokowi. Presiden yang kader PDI Perjuangan ini terbukti tidak mendukung partainya sendiri. Masalahnya Jokowi mengontrol negara dan melalui itu pula dia secara langsung atau tidak langsung mencegah rakyat memilih calon yang diajukan oleh PDI Perjuangan. Di sisi lain, sikap PDI Perjuangan terhadap Jokowi ambigu. Mereka tampak marah dan kecewa terhadap kader utamanya itu, tetapi enggan melepasnya. Akibatnya serangan Ganjar-Mahfud dalam debat capres-cawapres terhadap arah kebijakan Jokowi menjadi tidak berguna secara elektoral.
Hal lain yang ingin saya sebut adalah faktor Islam. Sejak lama PDI Perjuangan tidak ramah terhadap simbol-simbol Islam, terutama Islam politik. Ucapan Megawati yang sinis terhadap ibu-ibu pengajian, misalnya, membuat umat tidak menyukai partai ini. Keterlibatan sejumlah figur NU, termasuk keluarga Gus Dur, tidak akan membantu karena mereka hanya memiliki basis sosial yang tipis di kalangan santri urban terdidik. Di sisi lain, peranan lembaga internal mereka sendiri seperti Baitul Muslimin tampak seperti pajangan.
Bahkan hingga akhir menjelang pencoblosan, para pemilih PDI Perjuangan masih terjebak dalam framing politik identitas anti-Islam politik yang sangat tebal. Saya belum bisa menaksir dampak pernyataan kontroversial Ahok baru-baru ini yang mengatakan bahwa justru Jokowi, bukan Anies Baswedan, yang membuatnya masuk penjara, tetapi cukup pasti narasi-narasi terkait aksi 212 masih menempel kuat dalam pikiran mereka. Pikiran dikotomis nasionalis vs. Islam membuat PDI Perjuangan dan konstituennya terisolasi dalam ceruk elektoral yang terbatas.
Sementara itu, peranan Mahfud dalam meraup suara amat sangat minimal. Ini tidak mengejutkan karena Mahfud tidak mempunyai basis kelembagaan yang tetap. Pertanyaan mengenai apakah Mahfud itu NU atau bukan, misalnya, telah mengemuka sejak lama. Memang dia berasal dari Madura, tetapi karir sosial keagamaannya lebih sering bersama Muhammadiyah di Yogyakarta di mana dia juga adalah guru besar di UII yang modernis.
Meski demikian, sejujurnya saya kagum dengan keteguhan Megawati. Saya sangat berharap dia akan menjadi oposisi seperti telah diperankannya secara paripurna selama era SBY. Demokrasi Indonesia telah dan akan berterima kasih kepadanya selamanya.[]
Ilustrasi: Kalikuma Studio
Faktor terpenting apalagi kalau bukan Jokowi. Presiden yang kader PDI Perjuangan ini terbukti tidak mendukung partainya sendiri. Masalahnya Jokowi mengontrol negara dan melalui itu pula dia secara langsung atau tidak langsung mencegah rakyat memilih calon yang diajukan oleh PDI Perjuangan. Di sisi lain, sikap PDI Perjuangan terhadap Jokowi ambigu. Mereka tampak marah dan kecewa terhadap kader utamanya itu, tetapi enggan melepasnya. Akibatnya serangan Ganjar-Mahfud dalam debat capres-cawapres terhadap arah kebijakan Jokowi menjadi tidak berguna secara elektoral.
Hal lain yang ingin saya sebut adalah faktor Islam. Sejak lama PDI Perjuangan tidak ramah terhadap simbol-simbol Islam, terutama Islam politik. Ucapan Megawati yang sinis terhadap ibu-ibu pengajian, misalnya, membuat umat tidak menyukai partai ini. Keterlibatan sejumlah figur NU, termasuk keluarga Gus Dur, tidak akan membantu karena mereka hanya memiliki basis sosial yang tipis di kalangan santri urban terdidik. Di sisi lain, peranan lembaga internal mereka sendiri seperti Baitul Muslimin tampak seperti pajangan.
Bahkan hingga akhir menjelang pencoblosan, para pemilih PDI Perjuangan masih terjebak dalam framing politik identitas anti-Islam politik yang sangat tebal. Saya belum bisa menaksir dampak pernyataan kontroversial Ahok baru-baru ini yang mengatakan bahwa justru Jokowi, bukan Anies Baswedan, yang membuatnya masuk penjara, tetapi cukup pasti narasi-narasi terkait aksi 212 masih menempel kuat dalam pikiran mereka. Pikiran dikotomis nasionalis vs. Islam membuat PDI Perjuangan dan konstituennya terisolasi dalam ceruk elektoral yang terbatas.
Sementara itu, peranan Mahfud dalam meraup suara amat sangat minimal. Ini tidak mengejutkan karena Mahfud tidak mempunyai basis kelembagaan yang tetap. Pertanyaan mengenai apakah Mahfud itu NU atau bukan, misalnya, telah mengemuka sejak lama. Memang dia berasal dari Madura, tetapi karir sosial keagamaannya lebih sering bersama Muhammadiyah di Yogyakarta di mana dia juga adalah guru besar di UII yang modernis.
Meski demikian, sejujurnya saya kagum dengan keteguhan Megawati. Saya sangat berharap dia akan menjadi oposisi seperti telah diperankannya secara paripurna selama era SBY. Demokrasi Indonesia telah dan akan berterima kasih kepadanya selamanya.[]
Ilustrasi: Kalikuma Studio

Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional. Penulis buku “Feminisme Kritis: Gender dan Kapitalisme dalam Pemikiran Nancy Fraser“





