Percik-Percik Pemikiran Nurcholish Madjid

MEMBACA Nurcholish Madjid yang biasa disapa Cak Nur khususnya dalam pemikiran Islam, dibutuhkan suatu pembacaan yang holistik, di awal kemunculannya dalam dunia pemikiran Islam, beliau banyak disalahpahami, dituduh sangat liberal bahkan ada yang menuduh sesat.

Cak Nur memang lebih dikenal sebagai tokoh pembaru pemikiran Islam, sekalipun Cak Nur kalau dibaca latar belakang pendidikan dimulai dari pesantren tradisional, Darul Ulum, Jombang kemudian pindah ke Pesantren Modern Gontor, kemudian lanjut ke IAIN Syarif Hidayatullah mengambil jurusan Sejarah Kebudayaan Islam kemudian lanjut ke Amerika.

“Setiap pembaru di mana pun dimuka bumi ini, hampir pasti dilawan, dicaci maki, dan dimusuhi, tetapi ajaibnya, diam-diam  diikuti. Ini juga berlaku atas Nurcholish Madjid yang telah bekerja keras untuk mengawinkan keislaman dan keindonesiaan.”

Kalau kita membaca Cak Nur secara holistik, mungkin tidak akan timbul kesalahpahaman terhadapnya, namun kebanyakan dari tokoh-tokoh yang mengkritisi Cak Nur itu tidak terlalu paham jalur pemikiran  Cak Nur, penilaian mereka terhadap Cak Nur sangatlah parsial, mereka lebih banyak dipengaruhi hawa nafsu.

Namun, sudah menjadi hal yang lumrah bahwa setiap ada pembaru yang muncul, pasti akan timbul kontroversi – mengutip Buya Syafii Maarif – seorang teman Cak Nur di Amerika waktu belajar Islam kepada Fazlur Rahman, yang juga mantan ketua PP Muhammadiyah.

Beliau mengatakan “Setiap pembaru di mana pun dimuka bumi ini, hampir pasti dilawan, dicaci maki, dan dimusuhi, tetapi ajaibnya, diam-diam  diikuti. Ini juga berlaku atas Nurcholish Madjid yang telah bekerja keras untuk mengawinkan keislaman dan keindonesiaan.”

Cak Nur, salah satu tokoh cendekiawan muslim yang berhasil mengawinkan ilmu klasik Islam dengan ilmu kemodernan, dianggap kontroversial karena kadang dia membongkar suatu kemapanan dalam pemikiran Islam pada masa klasik dengan menerjemahkan ulang di masa modern.

Cak Nur tetap tidak meninggalkan yang klasik, karena penguasaannya yang sangat mendalam terhadap kitab klasik yang menjadi referensi kaum santri, ditambah dengan penguasaannya terhadap ilmu sosial yang merupakan ciri khas kemodernan, sehingga dia berhasil mengawinkan terhadap kedua ilmu tersebut.

Cak Nur dapat diterima oleh tokoh elite antara kedua organisasi terbesar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah. Dalam term yang menjadi landasan orang NU dikatakan “Al Mufadzatu alal qadiimissalih wal akhdzu bi ljadidil aslah“, memeliharah hal klasik yang dianggap baik dan mengambil hal yang baru yang lebih baik.

Baca Juga  Puisi dan Politik Sepanggung: Kita Bertepuk Tangan

Itu term yang dicoba diterjemahkan ulang Cak Nur dalam dunia modern saat itu. Kita bisa melihat siapa yang menjadi model tokoh yang membentuk Cak Nur, Cak Nur lahir dari keluarga kiai, dan menimba ilmu tradisional atau ilmu alat dari kiai kampung, tapi dalam proses perkembangan mereka lebih banyak dipengarui oleh tokoh tokoh modernis, mulai dari M. Natsir, Buya Hamka, Abd Hamid Hakim, dan tokoh sekaliber Fazlur Rahman, seorang cendekiawan ternama dari pakistan yang hidup di Amerika. Cak Nur juga banyak mengutip ulama besar yang menjadi rujukan ulama wahabi yakni Ibnu Taimiyah.

Kalau kita merujuk ke pembagian ilmu-ilmu keislaman yang dicoba diklasifikasi oleh Prof. Harun Nasution dalam bukunya Islam ditinjau dari berbagai aspek, ada aspek teologi, aspek hukum, aspek filsafat, aspek sejarah, mistisisme atau tasawuf dan aspek pembaruan.

Cak Nur masuk dalam kategori penguasaan terhadap filsafat Islam dan pembaruan pemikiran Islam, walaupun ilmu-ilmu lainnya tidaklah asing baginya. Misalnya aspek teologi, Cak Nur di sebagian karyanya banyak mengupas konsep-konsep eskatologis tentang keimanan.

Pendekatan-pendekatan dalam mengupas teologi Islam diramu dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, itu karena penguasaan grammar bahasa Arab dan linguistiknya sangat ia kuasai. Sehingga dengan mudah dia menerjemahkan teologi yang begitu rumit dengan polesan penjelasan yang sifatnya kekinian dan mudah dipahami.

Begitupun ketika mengupas tentang tauhid  ajaran yang sangat prinsipil dalam Islam. Cak Nur tidak mengupas dengan pendekatan konvensional yang kaku, dia mencoba menerjemahkan dengan pendekatan yang humanis, tanpa meninggalkan akar tauhid yang bisa menjerumuskan manusia dalam perbuatan syirik.

Dalam satu bukunya Pintu-Pintu menuju Tuhan, salah satu buku yang cukup bergizi, yang merupakan kumpulan tulisan  yang mengupas berbagai ajaran dasar Islam, dengan penjelasan yang singkat, bermakna dan mudah dipahami.

Di situ, Cak Nur mengupas tentang makna iman yang dinamis, dicoba dikaitkan dengan term amanah dan term aman, ketiganya asal kata yang sama, artinya bahwa seorang yang beriman yang benar mestilah dia seorang yang amanah, dan orang ada di sekitarnya seharusnya ada rasa aman di lingkungannya. Begitulah Cak Nur dalam mengupas  berbagai persoalan keagamaan, dia sangat kaya dengan berbagai konsep kunci tentang wawasan keislaman.

Baca Juga  Kiai Imam Mawardi: Maqasid al-Syari’ah As a Total Approach

Begitupun ketika mengupas tentang tauhid  ajaran yang sangat prinsipil dalam Islam. Cak Nur tidak mengupas dengan pendekatan konvensional yang kaku, dia mencoba menerjemahkan dengan pendekatan yang humanis, tanpa meninggalkan akar tauhid yang bisa menjerumuskan manusia dalam perbuatan syirik.

Dia sangat mengedepankan visi kemanusiaan dalam ajaran tauhid, bahwa manusia itu adalah makhluk yang terdepan di antara makhluk-makhluk ciptaan Tuhan (QS: 95. 4). Dalam pengamatan Cak Nur, jangan sampai manusia jatuh dalam hal yang sifatnya tidak substantif padahal pada dirinya terdapat potensi yang sangat berharga.

Semua makhluk memberi penghormatan kepada manusia ketika Adam diciptakan oleh Tuhan, artinya bahwa manusia punya kapasitas modal yang sangat besar, malaikat pun makhluk yang terdekat kepada Tuhan juga harus memberikan penghormatan kepadanya karena kapasitas memori seorang Adam lebih di atas dari pada malaikat, itulah yang digambarkan Cak Nur ketika mencoba memberikan interpretasi terhadap kalimat tauhid.

Dalam memaknai tauhid, Cak Nur mencoba memberikan peringatan kepada kita, supaya membebaskan nilai-nilai kepalsuan yang disimbolkan “laa ilah“, atau membebaskan diri kita terhadap kepercayaan yang palsu yang tidak memberikan nilai-nilai eskatologis kita ke depan yaitu hari akhir. Lalu menekankan kalimat sesudahnya yakni “illallah” sebagai afirmatif atau penegasan bahwa Allah-lah Tuhan yang sebenarnya.

Itulah sekelumit percik-percik pemikiran yang dapat diramu yang tentu saja, seorang tokoh besar pembaharuan Islam yang dimiliki Indonesia, tulisan ini kami persembahkan untuk haul Cak Nur yang ke-14, mudah-mudah banyak tokoh yang bisa melanjutkan visi Islam yang digaungkan oleh Cak Nur, sebagai tokoh inklusif, moderat, pluralis, dalam visi keislaman, kemoderenan, dan keindonesiaan.[]

Ilustrasi: Kalikuma Studio

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *