SAYA menemukan dua buah buku yang sangat bagus mengkritisi tradisi intelektual NU dan Muhammadiyah dalam menetapkan hukum Islam kontemporer. Buku pertama hasil karya Dr. Rifyal Ka’bah membahas Hukum Islam di Indonesia: Perbandingan antara Hasil Keputusan Lajnah Bahtsul Masail NU dan Lajnah Tarjih Muhammadiyah. Sementara buku kedua karya Dr. Ahmad Zahro yang membincang Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999 Nahdlatul Ulama.
Pada kesempatan ini saya ingin menguraikan terlebih dahulu buku kedua yang merupakan disertasi Ahmad Zahro ketika menempuh pendidikan S3 Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah. Adapun fokus penelitian beliau adalah mengkritisi hasil kajian bahtsul masail NU sejak tahun 1926-1999. Menurut penelusurannya, terdapat beberapa tulisan terdahulu yang mengupas tradisi intelektual NU, termasuk karya Dr. Rifyal Ka’bah di atas dan tesis IAIN Syarif Hidayatullah karya Imam Yahya yang mengangkat isu istinbath Hukum Bahtsul Masail NU pasca Munas Bandar Lampung tahun 1992.
Hasil penelitian Imam Yahya menunjukkan bahwa metode penetapan hukum yang dipergunakan NU dalam memutuskan suatu masalah pada muktamar 1992 Bandar Lampung, Muktamar 1994 Tasikmalaya, dan Munas Alim Ulama di Mataram, NTB 1997 ditemukan urutan sebagai berikut; (1) metode qauli, mengutip langsung dari naskah kitab rujukan, (2) metode manhaji, menelusuri dan mengikuti metode istinbath hukum madzhab empat, (3) metode ilhaq, menganalogikan hukum permasalahan tertentu yang belum ada dasar hukumnya dengan kasus serupa yang sudah ada dalam suatu kitab rujukan, (4) metode istinbath jama’i, penggalian, dan penetapan hukum secara kolektif.
Membaca hasil beberapa penelitian terdahulu, Ahmad Zahro menyimpulkan bahwa penelitiannya ini dikategorikan sebagai penelitian lanjutan dalam rangka pendalaman kitab-kitab rujukan, validitas keputusan yang belum dibahas dan adanya perbedaan yang mencolok terkait istinbath hukum yang disampaikan oleh beberapa peneliti terdahulu sehingga diperlukan klarifikasi dan pelacakan lebih lanjut.
Dari hasil kajiannya, Lajnah Bahtsul Masa’il NU memiliki corak penetapan hukum yang khas yang dipegang secara turun-termurun dan mengalami perkembangan-perkembangan sesuai dengan tuntutan jaman. Beliau mengutip pandangan ahli hukum timur tengah Muhammad Salam Madkur yang membagi metode ijtihad menjadi tiga macam; metode bayani, qiyasi, dan istislahi.
Metode bayani yaitu cara istinbath (penggalian dan penetapan) hukum yang bertumpu pada kaedah-kaedah kebahasaan atau makna lafadz. Metode qiyasi yaitu cara istinbath hukum dengan membawa sesuatu yang belum diketahui hukumnya kepada sesuatu yang sudah diketahui hukumnya melalui nash al-Qurân dan as-sunnah dalam rangka menetapkan atau menafikan hukumnya karena ada sifat-sifat yang mempersatukan keduanya. Metode istislahi yaitu cara istinbath hukum mengenai suatu masalah yang bertumpu pada dalil-dalil umum, karena tidak adanya dalil khusus mengenai masalah tersebut dengan berpijak pada asas kemaslahatan yang sesuai dengan maqashidus syariah yang mencakup kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.
Beberapa metode yang dikategorikan sebagai metode istislahi adalah maslahah mursalah, kemaslahatan yang tidak ada acuan nashnya secara eksplisit, istishab, pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya boleh, barâatudz dzimmah, pada dasarnya seseorang itu tidak terbebani hukum, yang populer dengan istilah asas praduga tidak bersalah, saddudz dzariah, menutup jalan kepada terjadinya pelanggaran hukum dan ‘urf, adat kebiasaan yang baik.
Di kalangan NU sendiri, menurut hasil kajiannya menyimpulkan bahwa metode yang digunakan dalam menetapkan hukum adalah metode qauly, ilhaqi, dan manhaji.
Pertama: Metode Qauly
Metode qauly adalah menjawab pertanyaan yang diajukan umat, langsung merujuk pada bunyi teks (qaul) pendapat-pendapat ulama mazdhab empat. Kalau dimasukkan dalam kategori ijtihad yang disampaikan oleh Salam Madkur di atas, maka metode qauli ini masuk dalam tataran metode ijtihad bayani. Dalam prakteknya, metode qauli ini banyak digunakan dalam menetapkan hukum Bahtsul Masâil, paling tidak terdapat 362 keputusan yang diambil berdasarkan metode ini.
Sebagai contoh soal yang diajukan pada Muktamar I (Surabaya, 21-23 September 1926) mengenai boleh tidaknya menggunakan hasil zakat untuk pendirian masjid, madrasah atau pondok (asrama) karena itu semua termasuk fi sabilillah sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?. Jawaban; Tidak boleh. Karena yang dimaksud dengan fi sabilillah ialah mereka yang berperang dalam sabilillah. Adapun kutipan Imam Qaffal itu adalah daif (lemah). Keterangan dari kitab Rahmatul Ummah dan Tafsir al-Munir juz I.
Barangkali ada yang bertanya, mengapa metode qauli ini digunakan bahkan masih dipertahankan hingga saat ini dalam menetapkan hukum kontemporer?. Dari hasil diskusi dan bacaan saya, barangkali dapat dijelaskan beberapa alasan, diantaranya; bahwa warga NU sangat menghormati bersambungnya sanad keilmuan sejak jaman Nabi, sahabat, tabi’it tabi’in hingga ulama-ulama kontemporer yang musalsal tanpa ada putusnya, sehingga di kalangan santri yang sudah tamat mengaji kitab biasanya diberi ijazah oleh sang kiai.
Artinya, sang kiai setelah membacakan kitab tersebut dihadapan santri sampai khatam, maka sang kiyai melanjutkan sanad pengajian kitab itu kepada santri-santrinya untuk dilanjutkan pengajaran kitab itu kepada santri-santri yunior sehingga pada saatnya nanti dia juga akan memberikan ijazah kepada santri yuniornya tersebut, dan begitu seterusnya.
Karena itu, warga NU melestarikan dan mempertahankan khazanah pengetahuan kitab kuning dari generasi ke generasi dengan mengaji dan mengkajinya di pondok-pondok pesantren. Warga NU tidak menghendaki terputusnya keilmuan dengan langsung merujuk pada nash al-Qurân dan as-Sunnah. Menurut mereka, persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat kontemporer masih bisa dicarikan jawabannya dalam kitab-kitab mu’tabar tersebut.
Dari hasil penilaian Ahmad Zahro bahwa dari segi argumentasi yang mengacu pada kitab rujukan di atas, tidak ada yang menyebutkan secara jelas mengenai hukum jual beli yang menggunakan kata-kata petasan. Misalnya dalam kitab Iânah hanya menjelaskan hukum bolehnya men-tasarruf-kan harta untuk kebaikan dan kesenangan.
Di samping itu, warga NU sangat memuliakan ulama salafus sholih yang telah bersusah payah memelihara khazanah keislaman dalam bidang fiqh mazhab empat, bidang aqidah dan bidang tasawuf. Salah satu cara memuliakannya dengan cara mengkaji pokok pikiran mereka yang tersebar dalam kitab-kitab itu.
Kedua: Metode Ilhaqy
Jika dalam menetapkan hukum tidak bisa diselesaikan dengan metode qauly, maka metode kedua, ilhaqy bisa jadi pilihan. Adapun yang dimaksud dengan metode ilhaqy yaitu menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya) atau menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi.
Ahmad Zahro menemukah 33 keputusan yang menggunakan metode ini. 29 keputusan diambil sebelum Munas Bandar Lampung, 4 keputusan terjadi sesudahnya. Kalau kita perhatikan, cara kerja metode ilhaq seperti di atas sangat mirip dengan cara kerja metode qiyas dan hal ini diamini oleh Ahmad Zahro dengan menamainya qiyas ala NU. Namun demikian terdapat perbedaan antara keduanya. Kalau qiyas itu bersandarkan pada nash al-Qurân dan as-sunnah sedangkan ilhaq bersandar pada teks kitab kuning yang muktabarah yang diakui.
Sebagai contoh, Ahmad Zahro menampilkan apa yang diputuskan dalam Muktamar II (Surabaya, 9-11 Oktober 1927) tentang hukum jual beli petasan (mercon) untuk merayakan hari raya atau penganten atau kegiatan lainnya. Menanggapi pertanyaan ini, musawirin menjawab bahwa jual beli tersebut hukumnya sah, dengan alasan adanya maksud baik, yaitu adanya perasaan gembira menggembirakan hati dengan suara petasan itu. Jawaban tersebut berdasarkan keterangan beberapa kitab diantaranya, Iânatuth Thalibin juz III/121-122. Al-Bajuri/652-654 bab perdagangan, dan Al-Jamal ala Fath al-Wahab juz III/24.
Dari hasil penilaian Ahmad Zahro bahwa dari segi argumentasi yang mengacu pada kitab rujukan di atas, tidak ada yang menyebutkan secara jelas mengenai hukum jual beli yang menggunakan kata-kata petasan. Misalnya dalam kitab Iânah hanya menjelaskan hukum bolehnya men-tasarruf-kan harta untuk kebaikan dan kesenangan.
Dalam al-Bajuri sahnya menjual benda-benda yang dihadirkan asal suci dan bermanfaat, dan bolehnya membeli dan menghisab rokok karena tidak adanya dalil yang mengharamkannya, dalam al-jamal. Jadi menurut beliau, bahwa keputusan ini berdasarkan ilhaq dengan illat atau alasan suci dan bermanfaatnya petasan sebagaimana rokok dan lainnya.
Ketiga: Metode Manhaji
Metode manhaji adalah cara menyelesaikan masalah keagamaan dengan mengikuti jalan pikiran atau kaedah penetapan hukum yang telah disusun imam mazhab. Setidaknya, menurut penelusunan Ahmad Zahro, terdapat enam keputusan Lajnah Bahtsul Masâil yang diselenggarakan sebelum Munas Alim Ulama di Bandar Lampung.
Sebagai contoh keputusan Muktamar I tahun 1926 tentang pahala sedeqah kepada mayat. Jawabannya dapat pahala. Hal ini berdasarkan keterangan dalam kitab al-Bukhari bab Janazah dan kitab al-Muhadzdzab bab wasiat.
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Saw.; sungguh ibuku telah meninggal, apakah dia dapat memperoleh manfaat apabila saya bersedekah untuknya? Maka beliau menjawab; ya, dapat. Dia berkata; sungguh saya mempunyai keranjang buah, maka kupersaksikan kepadamu, bahwasanya saya telah menyerahkannya untuk dia.
Keputusan di atas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhaji karena langsung merujuk pada hadist yang merupakan dalil yang dipergunakan oleh keempat madzhab setelah al-Qurân.
Jadi cara kerja metode manhaji adalah ketika persoalan itu tidak bisa diselesaikan dengan metode qauly dan ilhaqy, maka merujuk langsung pada al-Qurân dan as-Sunnah, jika tidak ditemukan juga, maka mengacu pada kaedah-kaedah ushuliyyah dan kaedah-kaedah fiqhiyyah. Misalnya kaedah daf’ul mafasid muqaddam ala jalbil mashalih. Menolak kemudaratan itu lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan. []
Ilustrasi: Kalikuma Studio
Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Mataram dan Pengkaji Islam dan Budaya Lokal.