Writer’s Block: Sebuah Cerpen

 

Tidak ada pembunuh berdarah dingin yang lebih kejam membunuh kreativitas selain rutinitas

-Andrea Hirata

Kebun seluas 1 hektar itu memang dibuat untuk dapat memenuhi hampir segala kebutuhan hidup. Di sebelah selatan, berbatasan langsung dengan hutan pinus, terdapat segala jenis tanaman sayuran dan umbi-umbian yang bisa kau bayangkan. Berderet-deret tanaman cabai merah dan tomat yang ranum siap untuk dipetik. Di sebelahnya, menyeruak dari tanah bagai air mancur kecil-kecil, tumbuhlah kubis yang hijau dan besar-besar. Jika kau terus berjalan ke selatan maka akan menemukan batang-batang pohon singkong tumbuh hingga batas hutan.  Selain itu tumbuh pula seledri, selada, bawang merah, bawang putih, kemangi, sebut saja kemungkinan besar kebun ini memilikinya.

Jika kau berjalan terus ke utara dari hutan pinus, melewati deretan pohon-pohon buah manggis, rambutan, durian hingga kakao, kau akan menemukan kandang-kandang dengan segala jenis hewan ternak. Kambing, domba, sapi dan kerbau. Jika ingin memakan telur maka terdapat juga kandang hewan-hewan unggas seperti ayam dan bebek yang menghasilkan telur yang cukup lumayan setiap harinya. Jika kau bertolak ke utara maka kau akan bertemu dengan dua ekor kuda jantan di dalam istal kuda yang kebersihannya dijaga dengan baik. Kuda-kuda tidak dikonsumsi namun semata untuk dimanfaatkan tenaganya untuk rekreasi.

Di tengah-tengah kebun berdirilah sebuah rumah panggung sederhana. Terbuat dari kayu jati kualitas bagus yang sudah menghitam pertanda rumah panggung sudah lama berdiri di situ.

Iskandar duduk di dalam rumah di depan jendela menghadap istal kuda. Dengan jurnal di tangan kiri dan pulpen di tangan kanan, tinta mengalir deras dari pulpen ke atas kertas membentuk kata-kata, kata-kata terangkai menjadi kalimat-kalimat, kalimat-kalimat terjalin menjadi paragraf-paragraf . Alisnya bertaut dan tubuhnya yang tinggi kurus membungkuk sedikit, gaya khasnya ketika sedang fokus. Sudah sangat lama Iskandar tidak mengalami letupan kreatifitas seperti ini lagi. Pada saat ia merasa seakan akan jurnal dan pulpen yang dipegangnya menyatu dengan tubuhnya menjadi perpanjangan tangannya.

Iskandar adalah siswa di sebuah SMA boarding yang cukup prestisius. Ia ingin menjadi seorang penulis selama yang bisa diingatnya. Orang tuanya yang pertama mengenali bakat anaknya ketika ia banyak menulis cerita-cerita pendek untuk tugas sekolah dasar. Seperti yang sering dikatakan oleh ayahnya, Iskandar memiliki karunia untuk “merengkuh” pembaca dengan kata-kata yang dituliskannya. Bahkan nama “Iskandar” pun diberikan orangtuanya karena terinspirasi dari The Great Library of Alexandria (Iskandar) yang merupakan perpustakaan terbesar pada masa kuno. Harapannya agar kelak Iskandar dapat menjadi anak yang cerdas.

Baca Juga  Gadis Berambut Panjang Terakhir

Dengan dukungan orangtua, Iskandar terus menulis hingga SMP. Tidak terbatas pada cerpen, Ia juga mulai menulis artikel dan puisi. Banyak karyanya yang diterbitkan di koran dan surat kabar. Iskandar berada pada jalan menjadi penulis yang hebat. Jika ditanya apa cita-citanya? Iskandar dengan percaya diri menyeru: “Aku ingin menjadi penulis!”.

Namun, memasuki SMA, Iskandar dihadapkan pada kehidupan dan rutinitas baru. SMA-nya adalah SMA yang terkenal dengan prestasi peserta didiknya. Maka di SMA, Iskandar dituntut untuk terus lebih tekun belajar. Dari bangun tidur hingga tidur lagi, ia terus memacu pikiran dan fisiknya untuk dapat memenuhi ekspektasi sekolah dan orangtua. Hari-harinya kini dipenuhi dengan belajar lalu mengerjakan tugas, lalu belajar lagi lalu mengerjakan tugas lagi. Maka kebiasaan menulis Iskandar perlahan-lahan berkurang, memudar dan akhirnya lenyap.

Pada suatu minggu sore, usai mengerjakan tugas yang menumpuk, Iskandar memutuskan untuk menulis lagi. Ia mengambil pulpen dan jurnal lalu menempelkan ujung pulpen di atas kertas. Namun tidak satu huruf pun yang ditulisnya. Iskandar mencoba mencari tempat yang lebih nyaman untuk menulis, barangkali itulah masalahnya. Tidak juga, Iskandar berulang kali menulis beberapa kata lalu mencoretnya lalu menulis lagi dan mencoret lagi. Tidak ada gagasan yang membanjiri pikirannya layaknya dulu sebelum memulai kehidupan SMA. Iskandar mengalami writer’s block, kebuntuan kreatif bagi seorang penulis.

Mulai saat itu, Iskandar kehilangan ketajamannya. Ia urung bercita-cita menjadi penulis. Kini jika ditanya cita-cita, ia hanya menjawab: “Entah, aku belum menentukannya”. Tidak ada tulisan baru yang dihasilkannya selama 2 tahun ia menjalani kehidupan SMA. Menjelang libur semester ia mendapatkan sebuah ide cemerlang. Bergegas ia menghubungi orang kepercayaannya, ibu.

Baca Juga  Perempuan Kedua

“Ibu, liburan semester ini aku tidak akan pulang kampung”

“Lalu ke mana kau akan pergi nak?” tanya ibu.

“Saya akan berlibur di kebun paman Darwis saja”

Iskandar adalah anak yang bertanggung jawab sehingga ibu mengizinkannya namun tidak sebelum Iskandar kenyang oleh nasihat-nasihat ibu.

“Baiklah nak, baik-baik dengan pamanmu!”

Maka ketika liburan tiba, Iskandar menaiki kereta menuju pinggir kota, tempat kebun paman Darwis berada. Paman Darwis adalah kakak tertua dari ibu. Dulunya paman Darwis adalah seorang pengacara masyhur di ibukota. Namun ia pensiun dini demi mencari ketentraman hidup. Paman Darwis lalu membeli sepetak tanah di kaki gunung jauh dari keramaian ibukota dan menyulapnya menjadi kebun seperti sekarang ini. Paman Darwis mengelola kebunnya sendirian maka paman Darwis sangat senang Iskandar datang berlibur karena itu berarti ada tenaga tambahan.

Iskandar pun sangat gembira di kebun paman. Iskandar gembira bisa membantu paman mengurus kebun, merawat hewan ternak, menyiram tanaman, mengendarai kuda, tidur siang, makan enak setiap harinya, dan kegiatan kebun lainnya. Tapi yang terpenting, Iskandar merasa merdeka, tidak ada tekanan rutinitas dan tugas. Pada hari keempat di kebun, pada suatu sore yang sejuk, Iskandar mengambil jurnalnya yang nyaris sudah berdebu dan pulpen lalu mulai menulis. Ia memulai dengan lambat, seiring waktu ia menemukan laju yang tepat. Bagai terhipnotis, ia terus menulis. Berlembar-lembar kertas kosong kini telah dipenuhi tulisan. Iskandar sang penulis telah terlahir kembali. Iskandar lalu mengangkat pulpennya setelah membubuhkan goresan tinta terakhir. Ia mengangguk-angguk puas memandangi karyanya, cerpen pertama setelah hiatus sekian lama.[]

Gambar: Adobe Stock
Ilustrasi: Kalikuma Studio

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *