“Ahbib habibaka yaumamma, asa an yakuna bagidhaka haunamma. Wabgidh bagidhaka yaumamma, asa an yakuna habibaka yaumamma.”
Makna hakiki dari pernyataan ini adalah sebuah pembelajaran tentang pentingnya keseimbangan dalam hubungan antar sesama, baik itu dalam cinta maupun kebencian. Pesan itu ingin mengingatkan kepada kita bahwa perasaan manusia, baik cinta maupun benci, adalah hal yang sangat dinamis dan bisa berubah seiring waktu. Hal ini mengingatkan kita agar tidak terlalu terbawa perasaan didalam mencintai atau membenci seseorang. Cinta yang berlebihan bisa membuat kita kehilangan objektivitas dan menempatkan orang lain di atas segala-galanya, sementara kebencian yang mendalam bisa membutakan kita terhadap potensi kebaikan dalam diri orang tersebut.
Oleh karena itu, kita perlu menjaga keseimbangan dalam hubungan antara kita dengan orang lain, baik dalam hubungan yang positif maupun negatif.
Orang yang kita cintai hari ini bisa saja melakukan hal yang menyakiti kita di masa depan, atau orang yang kita benci hari ini bisa saja berubah menjadi sahabat atau teman di masa depan. Dengan demikian, janganlah kita terlalu terikat pada perasaan ekstrem yang kita miliki saat pada saat dan masa tertentu, karena keadaan bisa saja berubah.
Janganlah terjebak dalam perasaan yang berlebihan—terlalu cinta atau terlalu benci, karena hal itu bisa mempengaruhi sikap dan pandangan kita. Cinta yang berlebihan bisa menyebabkan kita mengabaikan kekurangan seseorang, sementara kebencian yang berlebihan bisa membuat kita buta terhadap kebaikan yang ada pada orang tersebut.
Tidak ada yang absolut dalam perasaan ini, dan semuanya bisa berubah seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, kita disarankan untuk tidak memberikan perasaan secara ekstrem, baik dalam cinta maupun kebencian, karena hal ini bisa membawa kita pada kekecewaan yang lebih besar jika perasaan tersebut berubah.
Penting untuk berempati dan kemampuan untuk melihat orang lain dari berbagai perspektif. Seseorang yang kita benci mungkin memiliki alasan tertentu atas tindakannya, atau orang yang kita cintai mungkin tidak selalu sempurna. Dalam kedua kasus tersebut, kedamaian hati datang dari kemampuan untuk memandang orang lain dengan penuh pengertian dan tanpa terlalu terikat oleh perasaan sementara.
Secara keseluruhan, statemen Ali bin Abi Thalib di atas mengajarkan kepada kita untuk tidak mendekatkan diri atau menjauhkan diri dari orang lain secara berlebihan, tetapi untuk selalu bersikap bijak, seimbang, dan menerima perubahan dalam hubungan kita dengan orang lain. Dalam hidup, kita harus siap dengan kemungkinan perubahan, baik itu dalam cinta maupun dalam kebencian, dan selalu menjaga hati kita agar tidak terbawa oleh perasaan yang berlebihan.
Cinta bisa membuat kita cenderung memandang orang yang kita cintai dengan pandangan idealis, terkadang tanpa melihat kekurangan atau kelemahan yang ada. Namun, jika kita terlalu mencintai seseorang tanpa batas, kita mungkin akan kecewa atau terluka jika orang tersebut berubah atau melakukan sesuatu yang menyakitkan. Begitu pula dengan kebencian—ketika kita terlalu membenci seseorang, kita sering kali kehilangan kemampuan untuk melihat secara objektif, bahwa jika suatu hari nanti akan berubah menjadi yang sangat baik.
Keseimbangan dalam kedua perasaan ini mengajarkan kita untuk tetap realistis, mengingat bahwa hubungan manusia itu tidak statis. Cinta yang sehat adalah cinta yang tidak mengabaikan kekurangan, dan kebencian yang bijak adalah kebencian yang tidak menghalangi kita untuk melihat kemungkinan perubahan.
Keseimbangan mengajarkan kita untuk tetap menjaga jarak yang sehat dengan perasaan kita sendiri. Ketika kita mampu mencintai tanpa melampaui batas yang wajar, kita memberi ruang bagi hubungan untuk berkembang secara sehat. Begitu pula dengan kebencian—kita dapat membenci tindakan atau perilaku seseorang tanpa harus membenci mereka sebagai individu secara keseluruhan. Ini memungkinkan kita untuk tetap objektif dan tidak terperangkap dalam perasaan yang bisa menghalangi perdamaian dan pemahaman.
Perasaan yang seimbang dalam cinta dan kebencian mencerminkan hidup yang lebih bijaksana dan tidak terperangkap dalam emosi yang berubah-ubah. Dengan menjaga keseimbangan ini, kita dapat menghindari keputusan yang didorong oleh perasaan sesaat. Keputusan yang seimbang tidak dipengaruhi oleh perasaan kebencian yang mendalam atau cinta yang berlebihan, tetapi didasarkan pada pemahaman yang lebih luas dan pertimbangan jangka panjang.
Cinta yang berlebihan dapat menuntun kita pada penyesalan, sementara kebencian yang berlebihan dapat menghalangi kita untuk membuka hati terhadap orang lain. Dalam kehidupan yang seimbang, kita belajar untuk mencintai dan membenci dengan bijak, sesuai dengan keadaan dan konteks, tanpa terjebak dalam perasaan yang bersifat sementara.
Pada tingkat yang lebih luas, pernyataan ini juga mengajarkan kita tentang kewaspadaan dalam berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupan sosial dan politik. Persaingan, konflik, dan perbedaan pendapat sering kali memicu kebencian antar individu atau kelompok. Namun, dunia ini terus berkembang, dan apa yang kita anggap sebagai musuh hari ini bisa saja menjadi sekutu di masa depan, dan sebaliknya, yang kita cintai hari ini bisa berubah menjadi seseorang yang menyakiti kita.
Sebagai catatan pinggir, penting bagi kita untuk senantiasa menjaga keseimbangan terutama dalam mengelola perasaan cinta dan kebencian. Hal ini sejalan dengan prinsip yang terkandung dalam al-Qur’an, yang mendorong kita untuk tidak terjebak dalam perasaan ekstrem dan untuk selalu bersikap bijaksana dalam hubungan antar sesama.
”Yâ ayyuhalladzîna âmanû lâ yaskhar qaumum ming qaumin ‘asâ ay yakûnû khairam min-hum wa lâ nisâ’um min nisâ’in ‘asâ ay yakunna khairam min-hunn”. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengejek kaum yang lain, karena bisa jadi mereka (yang diejek) lebih baik dari mereka (yang mengejek), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). (QS. al Hujurat ayat 11).[]
Ilustrasi: Kalikuma Studio
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram