Kota Bima, Nusa Tenggara Barat – Dalam beberapa tahun terakhir, politik dinasti di Kota Bima semakin mendapat sorotan. Sejumlah keluarga besar telah mendominasi panggung politik lokal, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Fenomena ini mengundang berbagai pendapat di kalangan masyarakat, dari yang mendukung hingga yang menentangnya.
Di Kota Bima, nama-nama seperti H. Muhammad Lutfi, mantan Wali Kota Bima, dan keluarganya, masih memegang kekuasaan yang signifikan dalam perpolitikan daerah. Tidak hanya di eksekutif, namun juga di legislatif, beberapa anggota DPRD Kota Bima berasal dari keluarga yang sama atau memiliki hubungan kekerabatan dengan pemimpin daerah sebelumnya.
Di Kota Bima, nama-nama seperti H. Muhammad Lutfi, mantan Wali Kota Bima, dan keluarganya, masih memegang kekuasaan yang signifikan dalam perpolitikan daerah. Tidak hanya di eksekutif, namun juga di legislatif, beberapa anggota DPRD Kota Bima berasal dari keluarga yang sama atau memiliki hubungan kekerabatan dengan pemimpin daerah sebelumnya.
Dominasi Keluarga dalam Politik Lokal
Banyak pihak menilai bahwa politik dinasti ini memberikan keuntungan dalam hal kesinambungan kebijakan dan stabilitas pemerintahan. Namun, tidak sedikit pula yang mengkritik hal ini sebagai sebuah bentuk ketidakadilan, di mana kesempatan untuk figur-figur baru dan alternatif terhambat oleh kekuatan politik yang terpusat di tangan beberapa keluarga besar.
Beberapa kalangan merasa bahwa dominasi ini dapat mengekang ruang gerak bagi generasi muda yang ingin terlibat dalam politik, serta berpotensi menimbulkan praktik nepotisme.
Masyarakat yang kritis juga menyoroti bahwa kekuasaan yang berulang kali diwariskan dalam satu keluarga dapat mengarah pada korupsi dan penyalahgunaan jabatan.
Tanggapan Para Pihak
Pihak yang mendukung politik dinasti berargumen bahwa pengalaman dan jaringan politik yang sudah terjalin di dalam keluarga dapat mempercepat pembangunan daerah. Mereka menganggap bahwa kesinambungan kepemimpinan dapat lebih mudah dijalankan jika diteruskan oleh anggota keluarga yang sudah paham dengan seluk-beluk pemerintahan.
Di sisi lain, para pengkritik mengingatkan pentingnya prinsip demokrasi yang sehat dan terbuka bagi siapa saja, tanpa harus terjebak dalam kekuasaan yang terus-menerus diwariskan. Aktivis politik lokal dan pengamat menyarankan adanya reformasi dalam sistem pemilihan kepala daerah serta pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik politik dinasti ini.
Saat ini, masyarakat Kota Bima tampaknya berada di persimpangan. Mereka dihadapkan pada pilihan untuk mendukung atau menantang kekuasaan yang diwariskan dalam keluarga. Dengan semakin banyaknya partisipasi politik dari generasi muda, ada harapan agar Kota Bima dapat memiliki pemimpin yang lebih beragam dan merakyat.
Sebagai penutup, politik dinasti di Kota Bima merupakan refleksi dari dinamika politik lokal yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak, terutama dalam hal menciptakan ruang bagi kepemimpinan yang lebih inklusif dan berbasis pada kompetensi, bukan semata-mata pada hubungan keluarga.
Ilustrasi: Kalikuma Studio
Gambar: Rmol.id
Mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Mataram